Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Mantan Pemimpin Partai Politik

Semua orang terlahir ke dunia dengan tanpa sehelaipun benang, maka yang membedakannya adalah pelayanan kepada sesama

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pembantaian Demokrasi di Negara Demokrasi

10 Oktober 2024   21:59 Diperbarui: 23 November 2024   01:14 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Tarmidinsyah


Mendengar seorang teman bercerita tentang sejarah perjalanan politik disuatu negara yang di kisahkan sebagai negara virtual menjadi menarik bagi saya, karena sejarahnya semakin lama saya mendengar ceritanya justru sama dengan Indonesia.

Sambil membuat kerangka kandang ayam dari bambu saya mendengar cerita teman dari negara sebrang itu.

Beberapa hari sebelumnya dia sudah minta waktu untuk menceritakan tentang sebuah negara yang galau dalam berdemokrasi.

Dengan wajah serius dia mulai bercerita dan sayapun menjadi pendengar yang baik, ceritanya begini sebutnya,

Sejak awal menjadi sebuah negara merdeka dalam sistem politiknya negara itu mengalami pasang surut demokrasinya dengan silih berganti pemimpinnya.

Pada awal negara dibentuk para pendiri bangsa tersebut berjuang dengan demokrasi yang kualitasnya sangat baik, karena itu negaranya juga mempunyai konstitusi sebagaimana bunyi konsideran dasar secara tegas bahwa penjajahan dimuka bumi ini harus dihapuskan.

Ditengah jalan rezim awal lahirlah demokrasi yang ditengarai sebagai demokrasi yang dikontrol karena sikap pemimpinnya yang kian absolut, kemudian berakhir hingga pemerintah akhirnya berhasil menumpas sebuah partai Komunis yang melakukan Gerakan kudeta.

Dari masa sebelum kemerdekaan hingga awal kemerdekaan semangat demokrasi tumbuh dengan baik ditengah pergerakan rakyat. Karena kebutuhan demokrasi menjadi alat politik sangat penting bagi para pejuang untuk mengusir penjajahan bangsa asing.

Kemudian setelah memperoleh kemerdekaan budaya demokrasi masih berjalan dimana keputusan-keputusan negara ini masih dalam kesepakatan dan dijalankan sesuai prinsip musyawarah dan mufakat.

Namun pengaruh komunis yang memberikan manfaat sosial yang dipersepsikan lebih berpihak ke rakyat kecil mulai merasuki rakyat hingga pemerintah di negara itu memberi izin pendirian partai dan mengikuti pemilu dalam politik negara tersebut.

Infiltrasi politik yang dilakukan oleh komunis ke tubuh pemerintah telah mempengaruhi pemimpin negara itu untuk memberi angin segar kepada mereka.

Infiltrasi politik merasuki hingga ke pengawal pemimpin yang pada akhirnya menjadi tokoh kunci pergerakan pemberontakan untuk berada digarda terdepan dalam merencanakan perebutan kekuasaan.

Dalam narasi tersebut maka dapat dibaca bahwa alam demokrasi telah ditebar racun dengan kepemimpinan yang berorientasi pada sistem otoritarian yang membahayakan rakyat.

Yang menjadi pertanyaan,  siapa yang merencanakan perubahan sistem politik, yang mana sebelumnya sebagai sistem kepemimpinan dari awal kemerdekaan yang demokratis ke sistem otoritarian?

Jawabannya adalah sudah jelas adalah sebuah partai politik berideology komunis yang  memangkas hak demokrasi rakyat dalam bernegara. Indikator sistem ini sebagai sistem oteriter tentu saja karena menghalalkan segala cara dan menginjak-injak konstitusi negara.

Kejadiannya ya seperti  Gerakan kudeta G30 September di Indonesia yang membunuh putra-putra terbaik bangsanya.

Pertanyaan berikutnya adalah, apakah dengan pembubaran partai politik PKI di Indonesia, kemudian politik komunisme sudah musnah? Jawabannya tidak sama sekali. Karena konsep politik dan konsep hidup (ideology) tetap tumbuh dan berkembang meskipun dalam diam (silent).

Kenapa demikian? karena ajaran politik berkembang dalam pemikiran dan daya pikir manusianya berikutnya mereka tidak harus berpartai politik dengan cara-cara ideology tertulis sebagaimana dalam politik partai komunis.

Mereka terdidik dengan pemikirannya yang sangat kuat apalagi mendapat pendidikan langsung di Rusia dan China sebagai pusatnya politik tersebut.

Sementara kader partai politik yang selama ini dalam ranah politik liberal yang demokratis, meski berjumlah lebih banyak tidak mampu mengubah pemikiran mereka  dan tidak penting merubahnya karena mereka hanya membicarakan konsep politik secara tersembunyi.

Nah hal ini tidak berbeda dengan mencampur adukkan buah durian dan timun dalam satu gerobak lalu anda  bawa dari Jawa Tengah ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta anda periksa, pertanyaannya buah apa yang tinggal secara utuh?

Jawabannya, silakan pikir sendiri. Itulah beda kader politik yang terdidik dalam komunis dengan kader dalam ranah partai politik di ranah demokratis yang lebih terkesan liberal bahkan bebas (No preumen spay).

Singkatnya demokrasinya berubah setelah memasuki rezim kedua, rezim tersebut memenjarakan politik demokrasi dan memusnahkan hak politik rakyat dalam bernegara serta membatasi partai politik hanya Tiga Partai dengan manajemen rakyat dikelompokkan dalam tiga partai tersebut.

Sebagaimana di Indonesia pengelompokan masyarakat dalam beberapa bidang, misalnya Agama diwakili PPP, Demokrasi diwakili PDI, dan Golkar sebagai partai pemerintah. Pada dasarnya yang dilakukan adalah memanage penguatan rakyat untuk mendukung pemerintah sementara kedua partai lain tersebut hanya simbolik untuk adanya kelompok politik sebagai penyeimbang atau oposisi rekayasa.

Dalam kacamata manajemen politik terlihat dari luar begitu indah ibarat melihat gunung dari kejauhan, selama tidak ada keluhan rakyat dalam hal tuntutan hak demokrasi maka tetap terpelihara. Karena itu daya tahannya lama sekali kalau kita lihat di Indonesia mencapai 32 tahun kekuasaan Orde Baru dengan proteksi yang luar biasa dari berbagai sisi kehidupan oleh politik pemerintah.

Lalu muncul kembali politik demokrasi dengan reformasi 1998 dimana hak-hak politik rakyat berkembang secara pesat yang ditandai dengan penguatan status otonomi daerah dan memberi hak ke semua daerah untuk lebih mandiri.

Sebagai akibat lemahnya pemahaman dalam politik bernegara kemudian otonomi daerah menjadi surplus simbolik.

Berikut rakyat memilih kepala daerah serta wakil rakyat secara terbuka dari kelompok mana saja yang kemudian berubah ke politik transaksional yang tidak terkosentrasi pada pendidikan demokrasi sebagai politik rakyat (civil society).

Karena itu dominan melahirkan raja-raja kecil di daerah yang dikuatirkan menjadi residu dalam politik bernegara dengan kebebasan dan demokrasinya.

Infiltrasi

Lalu antara demokrasi dan komunis sudah jelas berbeda sistem kepemimpinannya, lantas sebenarnya diantara kedua sistem tersebut terjadi infiltrasi.

Pertanyaannya siapakah yang melakukan infiltrasi politik tersebut?

Jawabannya adalah mereka kader partai politik yang memahami demokrasi secara kabur dan mereka mengutamakan jabatan dalam politiknya dengan berbagai cara termasuk dengan cara-cara transaksi yang terang-terangan.

Kebiasaan ini kemudian menjadi budaya dalam politik (money piro) yang sebenarnya tabu sebelumnya tapi justru pilihan membanggakan bagi politisi dimaksud.

Lantas dengan apa semangat dan prilaku politik dalam menjalankan dan mendapatkan jabatan pemerintahan? Tentu saja lebih dominan dengan cara-cara preman yang sesungguhnya menafikan etika demokrasi.

Pemerintahpun akhirnya secara terbuka melakukan infiltrasi dari politik kepemimpinan demokrasi ke politik kepemimpinan otoriter, maka Korupsi, Kolusi dan Nepotisme berkembang termaklumkan sebagai kebijakan publik yang mau tidak mau rakyat harus menerimanya.

Pengkhianat Demokrasi

Anda mungkin bertanya dalam hati, siapa sih pengkhianat demokrasi yang sesungguhnya?

Jawabannya sebenarnya tidak sulit, mereka adalah orang-orang yang memimpin partai politik dengan cara otoritarian, tanpa pertimbangan kemampuan ilmu politik pada kader partainya. Mereka mengambil orang dari mana saja asal mereka membayar kepada pemimpin partai politik bersangkutan bisa atau tidak itu urusan belakangan.

Pemimpin partai hanya berpolitik dengan membunuh karakter pimpinan lain yang ada dalam partai, Kenapa demikian?

Karena mereka hanya merebut jabatan misal jabatan menteri yang terbatas kalau hanya diberi peluang satu orang saja oleh presiden maka yang lainnya harus dibunuh karakternya, supaya jangan ada per saingannya. Atau kalau hanya dua kursi menteri maka dilakukan rekayasa agar bukan orang yang mumpuni tersebut atau saingannya yang jadi menteri, bahkan lebih baik dia serahkan pada anak buahnya yang patuh dan mendewakannya.

Lihatlah kecenderungan partai politik di negara anda kata teman pencerita tersebut, yang sebelumnya menerapkan pemilihan kepemimpinan secara terbuka dan memilih pimpinan disetiap tingkatan dengan memberi hak suara kepada kadernya, tapi kemudian di ubah dengan menunjuk pimpinan daerah oleh pimpinan pusat. Sehingga ketergantungan tanggung jawab penuh hanya kepada pimpinan pusat.

Dengan perubahan itu maka terjadilah pembantaian  terhadap kelompok yang berpikir dan berlaku demokratis, tentu mereka adalah orang-orang yang memahami hak politik kader dan mereka adalah warga negara mumpuni.

Sebagai akibat otoriternya sistem yang diterapkan ketua umum pusat maka sebahagian kader partai politik yang memahami harkat dan martabat dirinya harus meninggalkan partai politik, bahkan pendiri partai yang membawa ajaran partai politik harus keluar dari partai politiknya.

Kalau dalam kepemimpinan partai politik sebagai sumber kepemimpinan negara dan daerah maka anda yang bisa berpikir tentang hakikat demokrasi tentu tidak perlu bertanya lagi, bagaimana hak politik rakyat dalam bernegara. Demokrasi apa yang diandalkan dalam politik ? Jawabannya adalah demokrasi pepesan kosong atau trik pembodohan rakyat.

Oleh karena itu, ketika kesadaran sosial, kecerdasan sosial telah tiba dan tidak mampu ditutupi oleh para pelakunya maka sejarah akan berulang sebagaimana reformasi di negeri anda, dimana rakyat akan turun tanpa disuruh atau dikomandokan tetapi dengan moralitasnya akan menuntut hak-haknya bernegara dalam satu bahasa yang kompak.

Tentu setelah semua orang yang menjadi korban politik dalam pembantain demokrasi dalam bernegara yang sesuai dengan konstitusi negara atau kesepakatan masyarakat yang dikhianati oleh beberapa orang tokoh pelaku utama tersebut.

Bila rakyat memahami tentang dampak pembodohan sosial dari pergeseran sistem kepemimpinan maka rakyat bawah juga akan menuntut hak-haknya, tetapi karena mentalitasnya belum pulih mereka hanya menjadi seonggokan warga negara sebagai residu perubahan ke kiri yang ekstrim.

Mengakhiri cerita itu diapun bertanya, apakah anda dan teman-teman anda sebagai  korban kejahatan demokrasi di negara anda?

Memang siapa penjahatnya? Saya balik bertanya. Dia hanya ketawa terbahak sambil menaiki kenderaan jemputannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun