Apalagi mereka yang sebelumnya terlibat dalam kekuasaan yang kemudian mereka bertahan dengan budaya hidupnya dalam arus perubahan.
Karena itu maka momentum pemilih
an kepala daerah dalam suatu pemerintahan dapat menjadi cerminan nyata dan indikator keseriusan pemerintah.
Keseriusan mereka memilih sistem kepemimpinan yang sesuai dengan konstitusi negara yang demokratis atau menerapkan sistem kepemimpinan negara yang kontra dengan itu.
Teori politik merumuskan bahwa kecenderungan rakyat cenderung diam pada saat sistem kekuasaan yang dapat diterapkan secara baik, apakah sistem demokratis maupun otoriter.
Secara logika hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pertama, sistem kekuasaan yang demokratis bila diterapkan secara kualitatif maka sudah pasti akan menimbulkan etika hidup dalam berbagai bidang termasuk dalam politik dan bernegara. Dimana kecenderungan rakyat akan mengedepankan etika yang bermuara pada kebaikan dan sopan santun dalam bertindak yang mementingkan kepentingan umum diatas kepentingan kelompok dan pribadi.
Kita akan dengan mudah dapat memahami ranah demokratis dalam kekuasaan, misalnya seseorang yang memimpin mengutamakan keluarganya maka pemimpin tersebut berjiwa dan bersikap otoriter.
Begitu juga mereka yang menempatkan kepentingan kekuasaan kelompok seperti kelompok politiknya, mereka juga tergolong secara realita adalah pelaku sistem kekuasaan otoriter.
Bila kita mengingat kembali terhadap apa yang ditentang oleh rakyat dalam sistem kekuasaan Orde Baru ketika Reformasi adalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Bila pemerintah sudah berlaku yang sama dengan masa lalu dalam membudayakan KKN maka negara dapat dipastikan telah kembali pada sistem kepemimpinan otoriter atau kembali pada titik Nol.
Lalu, kalau ada yang mengatakan demokrasi semakin baik maka hal itu sebagai "pembodohan sosial".