Lalu dengan formulasi sebagai wilayah khusus seyogyanya tahapan kesejahteraan rakyat lebih mudah dicapai karena dari berbagai sisi kehidupan masyarakat mendapat perlakuan khusus dari negara ini. Baik alokasi anggaran maupun fasilitas pembangunan menjadi khusus oleh pemerintah pusat.
Namunpun begitu yang diterima oleh masyarakat Aceh sungguh miris, kondisi kehidupan rakyatnya tidak lebih baik sebagaimana kehidupan masyarakat rata-rata di Indonesia. Bahkan Aceh justru menjadi provinsi termiskin di Sumatera dan realita kehidupan sosial mengalami pelemahan yang luar biasa dengan angka pengangguran yang tinggi sejak perdamaian.
Apalagi kita bicara tentang pendapatan perkapita masyarakat yang rendah bahkan tidak menjadi suatu issu yang penting bagi masyarakat, justru masyarakat lebih terkonsentrasi pada faktor lain seperti isme kedaerahan berlebihan yang hanya menghasilkan sentimen.
Namun seburuk apapun kondisi hidup masyarakat Aceh, setelah sukses melalui tahapan perdamaian maka politik teror sulit untuk digerakkan meskipun yang melakukannya adalah Tgk. Hasan Tiro pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sebelumnya mampu membuat peran pemerintah lumpuh di Aceh.
Tapi sekarang setelah melalui proses panjang masyarakat Aceh mulai cukup memahami, kenapa? Ya tentu saja karena politik teror menjadi issu politik basi walaupun yang terburuk menggunakan umpan violent terhadap rakyat, tetap saja saat ini dapat digolongkan sebagai tindakan pidana.
Kita tidak perlu melihat hal ini sebagai kesalahan siapa, yang dibutuhkan adalah penegakan hukum harus terus berjalan secara normal dan tentu tidak ada pihak yang perlu dianggap khusus oleh pemerintah karena berakibat fatal dalam perspektif keadilan berbangsa dan bernegara yang berdampak pada mentalitas dan moralitas sosial yang negatif.
Penulis dapat menggaris bawahi bahwa sesungguhnya dalam perdamaian dan melahirkan UU khusus kepada Aceh telah menempatkan Republik Indonesia sebagai negara paling demokratis yang sempat mengundang nama Susilo Bambang Yudoyono (SBY) presiden ke Enam sebagai salah seorang dominasi peraih Nobel dalam konteks perdamaian di Aceh.
Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa kondisi kehidupan masyarakat di Aceh justru tak berdaya baik sebagai warga negara yang mumpuni atau sekedar pengembangan ekonominya yang stagnan.
Bahkan yang dirasakan adalah konspirasi anggaran daerah oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif begitu sempurna.
Alhasil penerapan otonomi khusus dan puluhan Trilyun dana otsus hanya menjadi alasan memperkaya para pemimpin dalam pemerintahan sementara rumah tempat tinggal rakyat masih banyak yang reot, pendapatan masyarakat tetap saja rendah, lapangan pekerjaan begitu sulit dan mereka tidak bisa berharap kepada pejabat dan petinggi partai politiknya untuk membawa soalan ini ke pemerintah mereka sendiri.