Oleh : Godfathers
Tulisan ini penting untuk rakyat dalam memahami demokrasi yang sangat vital bagi kesetaraan hidup warga negara, karena itu sebaiknya saling disebarkan untuk mendorong rakyat Indonesia agar mampu berdemokrasi secara benar.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pasangan calon presiden Indonesia pada Pilpres tahun 2024 berjumlah tiga pasangan.
Yang dipilih untuk menjadi presiden dan wakil presiden adalah satu kontestan yang mendapatkan suara terbanyak atau 50 persen plus Satu.
Maka dua kontestan yang belum menang tentu perlu mengambil sikap yang bisa menjelaskan pada rakyat bahwa mereka adalah pemimpin rakyat bukan justru berposisi mencari aman sebagai pembantu presiden.
Bila menunggu rangkulan oleh presiden terpilih tentunya bukan sesuatu yang mustahil dalam politik. Namun dampaknya sungguh sesuatu yang buruk dan rendah bila dilihat dalam kualitas demokrasi.
Sebagai ukuran standar normal prilaku kebijakan politik yang dipilih adalah menolak bergabung dalam pemerintahan, harkat dan martabat mereka juga tergolong sebagai pemimpin yang cukup mumpuni dalam memandang pembangunan rakyat Indonesia dalam jangka panjang.
Kenapa saya menyampaikan skenario pilihan kebijakan yang paling benar adalah memilih sebagai oposisi? Mungkin berbeda dengan kebanyakan rakyat berpikir dimana lebih baik pemerintah merangkul para calon presiden yang dikalahkan oleh  presiden yang dipilih rakyat.
Sehingga tidak menimbulkan pertentangan dengan kelompok politik kontestan yang belum menang dengan pemegang kekuasaan sebagai kelompok politik kontestan yang menang pemilihan. Kemudian rakyat juga memandang bahwa keriuhan dan pertentangan pemerintahan dengan oposisi adalah sesuatu yang tidak baik bagi pembangunan Indonesia.
Perlu digaris bawahi bahwa pertentangan pendapat, pertentangan ide dan gagasan dalam politik demokrasi adalah suatu rahmad yang harus disyukuri oleh rakyat. Karena politisi yang bertentangan lintas kelompok politik dalam politik  demokrasi bukan merupakan musuh dalam politik. Tetapi mereka adalah sebagai lawan yang memberikan kontribusi berharga untuk balancing dalam pembangunan rakyat dalam politik sistem demokrasi.
Perdebatan lintas kelompok politik juga merupakan sebagai lawan yang merupakan mitra berpikir dan diperlukan untuk pembangunan demokrasi yang berkualitas. Hal ini juga pernah disampaikan oleh calon presiden Anies Baswedan dan di sepakati oleh dua calon presiden lain yakni Prabowo dan Ganjar Pranowo dalam debat pilpres tersebut.
Karena itu butuh pemahaman yang baik oleh rakyat dan politisi untuk melihat perbedaan sebagai bentuk kontibusi pembangunan yang tidak mengurangi kontribusi membangun rakyat sebagaimana pengabdian dalam fungsi dan tugas pemerintah. Saat inilah dibutuhkan kesadaran pemimpin dan politisi untuk memegang prinsipnya sebagaimana etika demokrasi yang sesungguhnya.
Bagi rakyat juga perlu diberi pemahaman yang baik dalam etika demokrasi bahwa tidak semua pimpinan partai politik dan politisi untuk sebatas manggut-manggut dan menjilat pemerintah dalam berpolitik, bahwa mereka hanya ada fungsi dan perannya ketika menjadi bahagian dari pemerintahan atau penguasa. Kalau begitu cara pikir rakyat dan politisi serta pimpinan politik maka rakyat sudah pasti menjadi korban eksploitasi bahkan menjadi musuh pemerintah, karena elemen penting bernegara hanya tersisa pemerintah dan rakyat. Jangan heran bila rakyat hanya menjadi kelompok penerima sedekah atau bantuan langsung pemerintah yang diperuntukkan untuk rakyat yang rentan.
Kenapa? Ya karena tidak mungkin ada pikiran-pikiran politik yang menyuarakan aspirasi rakyat, kelompok politik akan terbungkam mengingat kekuasaan pemerintah sudah pasti absolut. Hal inilah yang menjadi rumus dalam sistem politik negara demokrasi yang seharusnya perlu terus dibangun untuk memperkuat keseimbangan antara pemerintah dan oposisi secara sempurna, dimana kedua elemen tersebut hanya membangun dan bekerja, berpikir, melayani kepentingan membangun rakyat Indonesia yang lebih maju.
Saya merasa heran melihat politisi yang belum menang dalam pilpres baru mendapat kabar mereka tidak menang justru mengumbar dalam media sosial bahwa partainya akan segera bernegosiasi dengan presiden terpilih.
Perlu dikatahui oleh seluruh rakyat Indonesia bahwa prilaku tersebut adalah prilaku abnormal yang tidak punya etika dalam berdemokrasi, kalau prilaku semacam itu terjadi di negara demokrasi yang baik maka kelompok politik seperti ini digolongkan kelompok amoral dalam politik demokrasi.
Jadi jangan berpikir bahwa prilaku tersebut sebagai prilaku yang membela kepentingan rakyat, bahwa kelompok partai politik tersebut baik dan tidak ingin ribut-ribut mereka akan tunduk dan patuh pada siapa presiden yang menang dalam pemilihan.
Karena itulah maka rakyat tidak seharusnya berpikir demokrasi dengan sekedar perasaan secara meraba-raba hanya berkisar sikap baik buruk dalam itikad politik. Kalau mereka tidak paham arah pengembangan demokrasi tentu saja mereka hanya mengisi ruang tersebut siapa berpolitik yang baik dengan merapat dalam kekuasaan siapa yang buruk tentu saja kelompok politik yang menentang kekuasaan dengan ide-ide pembangunan yang berpihak kepada kepentingan rakyat.
Nah, saya berpikir justru kebiasaan politik yang menjilat bagi kontastan politik yang kalah adalah memalukan dan menjatuhkan harga dirinya sebagai pemimpin politik bahkan dalam demokrasi yang normal mereka dapat digolongkan pelacur dalam dunia politik. Itulah yang sebenarnya logika dan etika demokrasi berkualitas baik bagi pembangunan rakyat rakyat.
Oleh sebab itu rakyat tidak dapat dibiarkan oleh partai politik tumbuh dan berkembang secara alamiah sebagaimana pikirannya sekedar bisa mempersepsikan baik dan buruk partai politik atau politik secara umum tanpa paham rumus dan konsep fundamental dalam sistem demokrasi yang bertujuan menempatkan rakyat sebagai Tuan dalam negara yang menganut sistem demokrasi. Maka rakyat punya wakilnya di gedung parlemen dan punya pelayannya ya pemerintah itu sendiri.
Jika tidak paham apa yang ingin dicapai dalam demokrasi yakni rakyat berdaulat maka selamanya rakyat hanya dihargai sebagai pelengkap penderita dalam negara. Maka jangan heran rakyat menjadi lemah, wakil rakyat juga terdiam diparlemen ketika terjadi penetapan UU yang bertangan dengan harapan rakyat.
Bagaimana mungkin pemerintah menghargai rakyat kalau oposisi dan pemimpin politik serta politisi tidak memahami rumus demokrasi untuk kepentingan rakyat.
Nah, bagi rakyat kenapa perlu di didik dan di advokasi oleh partai politik dalam memahami sistem demokrasi sebagaimana diperintahkan UU partai politik? Tentu saja karena semua pembangunan rakyat ada ditangan rakyat sendiri dengan kewenangan mereka memilih legislatif dan eksekutif yang tergabung dalam pemerintahan.
Karena itu sudah saatnya rakyat memberi penghargaan yang lebih terhormat kepada mereka yang sudah dan akan konsisten memilih oposisi karena merekalah yang akan membangun keseimbangan politik rakyat dengan pemerintahan. Jika tidak memberi tempat kepada oposisi maka rakyat Indonesia sudah pasti menjadi rakyat lemah sebatas penerima bantuan tanpa bargaining dalam pertimbangan politik pemerintah.
Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H