Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Direktur Konsultan Bisnis dan Politik

Menjalankan aktivitas sehari hari dengan berpangku pada Tuhan Yang Maha Esa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Model Kepemimpinan Fir'aun, Demokrasi Kamuflase di Indonesia

6 Februari 2024   09:28 Diperbarui: 6 Februari 2024   11:04 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar Firaun Kompas.com


Oleh : godfathers

Apa yang anda saksikan dengan prilaku bernegara para pimpinan bangsa terutama pimpinan politik dan juga pimpinan partai politik di negeri ini baik di Pusat maupun di daerah?

Sebagai penulis saya ingin memberi penilaian secara objektif tentang hal-hal yang menjadi penghambat pembangunan rakyat Indonesia karena saya adalah bahagian dari rakyat yang merasakan pahit getir hidup kurang adil dalam politik bernegara, terutama sebagai masyarakat berdomisili didaerah atau sebagai warga negara Republik Indonesia versi rakyat daerah yang jauh dari pusat kekuasaan Jakarta.

Saya melihat fenomena yang tidak wajar dalam keseharian bila kita memantau perkembangan politik dalam sepuluh tahun terakhir yang menimbulkan tanda tanya terhadap penyelenggara negara, apakah mereka lelaki atau perempuan jika kita asumsikan sebagai suatu jenis kelaminnya. Dalam arti kata ibarat banci dalam sikap penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas dan fungsi negara, apakah kita rakyat di negara demokrasi atau sebagai negara anti demokrasi (Tirani) yang sering menelurkan kebijakan yang bertentangan dengan harapan rakyatnya sendiri.

Masih banyak pimpinan politik yang ragu membicarakan sistem Demokrasi dalam menjalani keputusan penetapan konstitusi negara ini, dimana mereka tidak secara total terbuka membicarakan sistem demokrasi kepada rakyat Indonesia. Karena itu maka standar demokrasi dalam kehidupan rakyat Indonesia dipersepsikan dalam berbagai pandangan yang keliru serta dimaklumi oleh rakyat.  bahkan mereka tidak paham akibat sikap yang pragmatis justru merekalah yang telah berandil membawa kerusakan implementasi demokrasi itu sendiri.

Terutama mereka yang berada dalam permainan politik kekuasaan bernegara yakni pimpinan partai politik pusat yang telah membungkus partai politik dalam sistem demokrasi kamuplase. Dimana yang sesungguhnya mereka sedang menerapkan kepemimpinan otoritarian atau kembali kemasa lalu dalam kepemimpinan negara.

Padahal sejak reformasi dimana terjadi empat kali amandemen UUD 1945, sudah sangat jelas MPR tentang menetapkan konstitusi negara Republik Indonesia sebagai negara yang menjalankan tatanan hidup dalam sistem demokrasi sebagaimana negara lain yang membawa rakyat menjadi maju dibanyak negara yang menerapkannya secara total.

Salah satu kendala bangsa dan rakyat Indonesia dalam menjalani kehidupan politik demokrasi adalah akibat budaya kehidupan sosial yang sudah mengkristal dimana terlalu lama hidup dalam sistem kerajaan di nusantara dan terlalu lama dijajah pula oleh bangsa asing sebelum Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.

Maka dalam diskusi politik dan debat politik baik lintas partai maupun lintas kontestan politik kita hanya mendengar sayub-sayub mereka mengucapkan kata demokrasi dan terasa kamuplase dimana kita memandang kurang meyakinkan padahal jika standarnya demokrasi justru pasti menjadi kunci penyelesaian segala masalah yang dihadapi rakyat Indonesia dalam politik maupun dalam berbangsa dan bernegara.

Sebagai akibat kurang totalnya dalam berdemokrasi para tokoh-tokoh bangsa terutama dilevel pimpinan pusat menyebabkan bias yang sangat tajam dalam keragu-raguan membuat ukuran (indikator) prilakunya dalam indikator demokrasi yang tegas serta berkualitas.

Lihatlah berbagai macam perspektif pimpinan partai politik dalam menerjemahkan demokrasi dalam prilaku pimpinan negara dan turunannya aparatur negara dalam melayani rakyat. Karena itulah maka etika politik tidak menjadi standar kewajaran dalam prilaku mereka yang menjalani peran dan fungsi penyelenggara negara.

Misalnya terbangun kelompok oligarkhi yang jelas-jelas menentang sistem politik demokrasi, kemudian presiden disebutkan melakukan kebijakan Cawe-cawe dalam politik pemilihan presiden dan banyak ketidakwajaran yang berlaku akhirnya rakyat terpaksa menerima perlakuan dari pemimpin mereka dalam pemerintahan sekedar menurunkan derajatnya sebagai penerima manfaat sebagaimana dalam kehidupan sistem otoritarian yang lama dijalani rakyat Indonesia dimasa Orde Baru.

Lebih aneh lagi setengah dari rakyat Indonesia menganggap wajar dan normatif prilaku anti demokrasi dalam menjalankan pemerintahan terutama dalam sepuluh tahun belakangan ini. Hal ini tentu disebabkan oleh faktor budaya hidup rakyat Indonesia yang masih didominasi oleh prilaku feodalisme meskipun aturan hidupnya sudah berubah dalam sistem demokrasi sejak tahun 1998.

Apakah anda tahu masih banyak dari tokoh politik dan pejabat negara Indonesia yang memegang kuat status quo yang anti demokrasi dan masih senantiasa memuja-muji cara hidupnya dalam kepemimpinan otoritarian dimasa lalu yang masih terasa kepemimpinan tersebut pada kepemimpinan Orde Baru yang telah kita lewati selama Tiga Puluh Dua tahun lamanya. Kelompok demokrasi munafiq tersebut juga masih nyaman tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat.

Sadarkah rakyat Indonesia selama menjalani hidup yang apolitis, tanpa demokrasi, tanpa memikirkan dan melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang sesungguhnya mereka telah menyerahkan kehidupannya bergantung pada orang lain sepenuhnya untuk menentukan nasib hidupnya. Bukankah mereka menyetujui menjalani hidup sebagaimana kepemimpinan Firaun yang dibenci oleh mayoritas Islam.

Bukankah rakyat yang tidak memahami hak dan kewajibannya sebagaimana memahami hak azasinya tidak berbeda dengan kehidupan yang merendahkan harkat dan martabat sebagai manusia yang memenuhi syarat sebagai warga suatu negara. Jika derajatnya dalam politik lebih rendah dari standar tersebut maka kepemimpinan pada manusia selevel ini ibaratnya sejajar dengan kepemimpinan sekawanan binatang sebagaimana diibaratkan domba dalam agama tertentu.

Mari kita gunakan logika berpikir secara normal jika rakyat apolitik dalam suatu negara maka apa yang dilakukan dan dipikirkan dalam aktivitas rakyat dan apa yang dilakukan oleh pemimpin negaranya?

Menurut hemat penulis yang dapat dilakukan oleh rakyat adalah bekerja untuk mempertahankan hidupnya meski tanpa hak mempertanyakan kemana arah mereka melakukan aktivitasnya secara fundamental selain secara tehnis yakni kerja, kerja, kerja sebagaimana slogan yang sering kita dengar dalam sistem demokrasi di negeri kita.

Lantas apa yang terjadi dilevel rakyat pintar yang cukup mengetahui dan memahami hak hidup sebagai warga negara yang mumpuni? Yang terjadi terhadap mereka adalah pembungkaman jika dianggap riskan dan berbahaya terhadap kekuasaan bahkan sampai terjadi penghilangan nyawa mereka dengan dalih demi keamanan negara.

Lantas apa yang terpikir oleh pembaca terhadap kekuaaaan otoriter yang pragmatis  seperti penulis terangkan diatas?

Bukankah atas nama negara dan tergantung siapa yang mengendalikan dan menterjemahkan maka mereka boleh melakukan sesuatu hukuman terhadap warga negara lain sebagaimana kehendaknya. Rakyat hanya diposisikan menjadi objek dalam menegakkan negara.

Sejarah telah berulang kali memberi pelajaran kepada rakyat kita terutama di negara-negara Asia Tenggara, misalnya ketika Ferdinand Marcos berkuasa, calon pemimpin Philipina lainnya Aquino terbunuh yang kemudian rakyat melawan dan menggulingkan presiden Marcos. Lantas rakyat memberi mandat kepada  istrinya Corazon Aquino untuk menjadi presiden Philipina.

Nah, dengan sistem demokrasi maka manusia adalah menjadi subjek pembangunan yang paling utama. Tidak ada alasan yang membenarkan penghilangan nyawa warga negara untuk kepentingan negara karena negara hanya dibutuhkan untuk kepentingan rakyat, maka pemerintah hanya diperlukan untuk melayani rakyat, bukan mengekploitasi rakyat untuk kepentingan hidup mereka yang establish sebagaimana dalam sistem kerajaan dimasa lalu.

Kalau masih menggunakan cara-cara tersebut maka apa gunanya kerajaan-kerajaan di nusantara dibubarkan dan didirikan negara Republik Indonesia yang berbasis wilayah hukum modern dan berbasis sistem demokrasi sejak awal yang kemudian dibelokkan dalam sistem politik otoriter oleh para pemimpin bangsa itu sendiri akibat kelemahannya dalam pengendalian kekuasaan yang demokratis.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun