Mungkin saja yang dianggap orang pintar adalah orang yang menempuh pendidikan tinggi dengan titel S1, S2, S3 dan juga seorang professor yang diam tentang kondisi daerahnya yang centang perenang. Padahal mereka juga tidak semua memahami sistem kehidupan yang demokratis dalam berbangsa dan bernegara jika mereka tidak bekerja atau fokus dalam sistem hidup tersebut.
Mereka justru banyak yang bersikap egois karena pendidikan tingginya dan sedikit dari mereka yang serius nemberi perhatian pada sistem kehidupan masyarakat dan sistem kepemimpinan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Maka mereka diam dan mungkin saja mereka tidak memahami kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kepemimpinan demokratis sebagaimana konstitusi negara Republik Indonesia.
Lantas, bagaimana dengan harapan dan perjuangan rakyat Aceh untuk kemerdekaannya?
Bila rakyat Aceh berpikir tentang rebutan kekuasaan wilayah tanpa memenuhi kehidupan dan kepemimpinan yang demokratis serta mengandalkan semangat perjuangan hanya atas kekuasaan atas tanahnya maka syarat kehidupan bernegara tidak pernah terpenuhi.
Minat berkuasa tanpa rakyat memahami semangat kesetaraan (demokratis) apalagi pada mentalitas pemimpinnya maka sama dengan talk nonsense alias omong kosong untuk membawa rakyat pada hidup merdeka secara benar.
Nah,,,untuk membawa rakyat yang merdeka maka butuh pendidikan dalam pemahaman sistem kehidupan demokrasi dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tanpa pemahaman sosial pada suatu wilayah maka memilih pemimpin juga mereka akan kesulitan dan selamanya rahim rakyatnya tidak akan pernah melahirkan pemimpin yang benar. Karena rakyat yang pintar akan melahirkan pemimpin pintar, sementara rakyat yang bodoh hanya dapat melahirkan pemimpin sebagaimana tingkat kecerdasannya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H