Oleh : Tarmidinsyah Abubakar (Goodfathers)
Mendengar kata modern tentu banyak dari masyarakat kita yang menilai bahwa kita sedang latah bahkan ada persepsi seakan anda sedang bicara bualan yang penuh tipu daya, apalagi berbicara politik.
Hampir-hampir tidak ada ruang untuk mencari tempat bicara yang pantas karena kuatir menjadi persepsi publik yang nyeleneh. Maka sekarang pada masyarakat kreatif muncul ide untuk membuka ruang public speaking yang eksklusif dan memberi tempat kepada mereka untuk melihat masyarakatnya secara terbuka dalam perspektif ilmunya tersebut.
Misalnya orang mensepelekan atau memandang negatif memunculkan adagium yang biasa disampaikan secara spontan misalnya, "haba lua nanggroe taloe keuing ngom"
Maksudnya dalam kalimat bahasa Indonesia adalah Bicara luar negeri tali pinggang dari ijon. Dalam ilmu politik pernyataan ini juga salah, karena apa? Tentu saja karena yang lebih pantas dipersepsikan kepada orang yang berkonsenstrasi pada bidang ekonomi, karena kalimat itu menegaskan orang politik seyogyanya orang kaya, misalnya tali pinggangnya dari emas.
Tanpa menyadari pandangan terhadap adagium tersebut telah mereduksi pendidikan, pengetahuan dan wawasan kepada suatu dilema gengsi yang dipandang negatif sehingga menyebabkan orang tidak terlalu mengambil kesempatan untuk berbicara kelebihan mendapat pendidikan dan memahami sistem hidup di negeri lain yang berbeda.
Jadi ada semacam gap yang parah antara orang yang berpendidikan di luar dengan masyarakat umum itu sendiri. Karena itu sedikit orang yang bisa memahami kelebihan terhadap pendidikan dan sistem hidup di negeri lain yang masyarakatnya sudah maju akibat negatif thinking tersebut pada masyarakat kita.
Kemandirian dan Kesadaran
Sebenarnya sederhana sekali bahwa secara umum kita pasti dapat melihat bahwa masyarakat yang sudah maju dalam segala hal menyerahkan kepada keputusan pribadi mereka masing-masing terhadap dirinya, karena itu kedewasaan dan kematangan warga negara menjadi sangat penting daripada mengurus prilaku personal orang lain.
Karena itu mereka manusia yang lebih maju tidak cukup waktu untuk mengurus dan mengintervensi warga lain karena mereka berpikir tentang kemandirian hidup mereka masing-masing bukan hanya dalam soal pendapatannya tetapi dalam semua sisi kehidupannya.
Minimalisir Sentimentil
Mereka warga negara yang terdidik dalam  kemandirian cenderung menghindar dari pertikaian sosial terutama dalam budaya dan agama sebagaimana masyarakat kita yang saban hari meluruskan budaya dan agamanya menurut pandangan kelompok masing-masing yang sangat egosentris.
Akibat ruang yang terbuka sementara pemikiran justru tertutup, sehingga terjadilah sentimen dalam bersilat lidah, sepanjang waktu terutama dalam politik, bilapun ada orang sekelas mantan presiden Amerika seperti Barack Obama yang mampu merubah kecenderungan pemikiran bangsa kulit putih terhadap kulit hitam di Amerika, pasti sulit bisa merubah pikiran masyarakat kita yang berpikir dalam kubang sentimental tersebut.
Bila kita kumpulkan pembicaraan sentimental tersebut mungkin saja sudah menumpuk dalam ribuan jumlah gudang yang padat berisi, fitnah, umpat, caci maki, menyindir, mengkafirkan sesama Islam, propaganda dan sebagainya, dimana bidang politik, ekonomi, budaya, agama yang tidak terbahas pada isi. Kenapa? tentu karena terbawa dalam wilayah sentimen yang sarat dengan perdebatan dan konflik lintas kelompok masyarakat.
Perbedaan dimasyarakat maju akan terilustrasi bahwa tidak seorangpun warga negara yang boleh memaksakan kehendak kepada orang lain untuk membuat keputusan terhadap terhadap dirinya maupun pandangannya terhadap sesuatu, melainkan dengan pengetahuannya sendiri dan dengan kesadarannya sendiri kecuali dia membutuhkan bantuan pihak lain.
Pendidikan Rakyat Demokratis
Karena itu sistem pendidikan dalam masyarakat yang sudah memahami hidup secara demokratis pastilah bebas dari pemaksaan kehendak dan mengintervensi hidup orang lain yang dipersepsikan tidak berbeda dengan merampas kemerdekaan pihak lain.
Jadi semakin tinggi kemandirian rata-rata warga masyarakat dan semakin baik tingkat pendidikan serta semakin meningkat kecerdasan masyarakat maka semakin halus dan semakin santun dalam peradaban hidupnya. Mereka tidak akan menyinggung perasaan manusia lainnya, mereka hadir untuk memberi rasa senang kepada orang lain, mereka juga senantiasa berpikir dalam kesetaraan jauh dari sikap feodalistik.
"Peradaban adalah keadaan yang nyata terjadi di masyarakat, sehingga dapat dilihat mengalami kemajuan dari segi perkembangan sosialnya, misalnya dengan melihat kemajuan organisasi hukum, lembaga politik, sosial, dan agama yang kompleks".
Perbedaannya tentu saja begitu tipis dalam pandangan masyarakat umum, kenapa?
Tentu saja masyarakat umum tidak mampu melihat dengan kacamata pendidikan dan pengetahuan, mungkin mereka hanya bisa melihat perbedaan masyarakat di negaranya dengan masyarakat dinegara maju pada perbedaan warna kulit, cara berpakaian, terutama dalam hal fisik yang sulit memahami dalam hal mentalitas dan moralitas mereka.
Bila kita memberi perumpamaan, bahwa masyarakat umum hanya bisa melihat dan memeriksa perangkat keras (hardware) manusia, sementara mereka yang berpendidikan dan berpengetahuan bisa melihat perangkat lunak (software) sumber daya manusia melalui prilaku dan perkataannya.
Karena itu tidak mungkin ada kemampuan pada seorang pemimpin yang bodoh untuk mampu melihat sumber daya manusia pada masyarakatnya karena memang kacamata mereka hanya pada perspektif perangkat keras manusianya.
Akhirnya yang terjadi yaitu kebalikannya dan sangat membahayakan kehidupan suatu masyarakat dalam budaya dan peradabannya.
Karena pemimpin yang bodoh hanya bisa melihat manusia lain termasuk masyarakatnya dalam kacamata yang kasar bahwa seseorang yang dianggap mampu adalah pada kemampuan materi dan masyarakat hanya bisa dihargai dengan kemampuan menyokong politik dalam sisi materi.
Itulah yang menjadi sumber utama yang menyebabkan masyarakat bangkrut dan jatuh miskin. Hal ini dimulai dalam politik terutama dalam kepemimpinan partai politik.
Lihat saja, apa yang menjadi dasar pertimbangan rekruitment caleg, Â rekruitment kepala daerah pada partai politik?
Karena tidak berbasis ilmu politik dan demokrasi bernegara maka pandangan ketua partai sudah pasti terjerumus dalam ruang sempit, yakni besaran bayaran menjadi prioritas dalam menentukan syarat menjadi caleg dan kepala daerah atau pemimpin daerah. Begitupun terhadap pimpinan-pimpinan birokrasi dalam sistem pemerintahan bukan berdasarkan kompetensinya tetapi karena kemampuan uangnya kepada atasan kepala daerah.
Sebenarnya inilah masalah besar yang membawa prilaku masyarakat kembali ke jaman jahiliah yang tidak berbasis ilmu dan pengetahuan dalam peradaban hidupnya.
Karena itu pendidikan, pengetahuan dan wawasan masyarakat menjadi tidak penting pada masyarakat yang terpimpin oleh pemimpin dari kalangan masyarakat yang lemah (tidak berpengetahuan) dalam kepemimpinan politik yang anti demokrasi. Bahkan penulis memandang mereka sebagai pemimpin rakyat yang sama sekali tidak memahami kemana arah kepemimpinan rakyat dalam bernegara.
Meskipun dalam pandangan masyarakat umum mereka dianggap pemimpin yang kuat karena banyak pengikutnya tetapi lihatlah pemeliharaan manajemen mereka dalam politik terjadi pemborosan luar biasa karena mereka hanya mengawal sesuatu yang nonproduktif dalam alat-alat bernegara dan menghabiskan uang negara untuk lembaga-lembaga yang berfungsi seremonial untuk bernegara.
Sebagai salah satu indikator, lihat saja realita kebijakan pemerintahan tradisional di daerah kita masing-masing, betapa banyak lembaga yang menggrogoti uang dan asset negara dengan tujuan memberi pekerjaan tidur kepada pendukung politik pemenangan gubernur atau bupati/walikota. Seharusnya uang tersebut dapat dipergunakan lebih produktif untuk membangun sumber-sumber pendapatan masyarakat yang produktif bagi masyarakatnya.
Lembaga-lembaga sebagaimana perusahaan daerah yang bernuansa omong kosong arahnya sesungguhnya menunjukkan suatu pemerintah yang sangat korup dalam perspektif amanah rakyat untuk manajemen pelayanan pembangunan.
Kunci dari arah dan kebijakan dalam pembangunan rakyat dapat disimpulkan bahwa suatu kepemimpinan rakyat yang tanpa landasan dalam berorganisasi yang demokratis sebagaimana tujuan konstitusi negara untuk arah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam kemandirian warga negara.
Maka pembangunan dalam bidang apa saja tergolong pembangunan yang salah kaprah yang membahayakan masa depan suatu masyarakat dalam jangka menengah dan jangka panjang. Sebut saja otonomi daerah sudah pasti akan berantakan dan masyarakat justru akan kembali pada sistem kepemimpinan sentralistik, padahal itulah harga diri daerah dalam kemandiriannya.
Aneh kalau saya menyampaikan bahwa setiap negara bagian dalam pemerintah Amerika Serikat justru menolak bantuan pemerintah federal (pemerintah pusatnya) karena dianggap sebagai alat intervensi yang melemahkan kemandirian negara bagian atau provinsinya.
Lalu apa yang menjadi perbedaan dalam pendapatan daerah dengan negara bagian? Tanggung jawab dan pengelolaannya yang diserahkan pada masing-masing negara bagian.
Apa jaminannya? Anggaran pembangunan daerah atau negara bagiannya secara mandiri. Apakah ada hak pemerintah federal dalam pendapatan daerah? Tentu juga ada sebagaimana kita.
Namun bedanya apa? Kemampuan pejabat daerah yang bukan sebatas distributor tapi kepada rakyat daerah tetapi mereka adalah pelaku produksi secara langsung.
Begitulah kemandirian rakyat negara bagian atau daerah yang seharusnya, maka mereka bisa menghidupkan lokal government dan local wisdem dengan baik.
Dalam pembangunan warga negaranya juga apakah salah satu yang selalu menjadi prioritas dalam pembangunan negara dan daerahnya? Jawabnya adalah kemandirian dan produktifitas warga negaranya. Sehingga mereka dalam berdemokrasi jauh dari mentalitas masyarakat kita yang menjadikan pemilu, pilpres, pilkada sebagai pesta bagi-bagi uang dan fasilitas musiman yang sering disebut orang politik sebagai pesta demokrasi, padahal esensinya mengarah kepesta pembodohan rakyat.
Sudah terlalu panjang....
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H