Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Mantan Pemimpin Partai Politik

Semua orang terlahir ke dunia dengan tanpa sehelaipun benang, maka yang membedakannya adalah pelayanan kepada sesama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Calon Presiden Indonesia 2024, Adu Apa Sih?

7 Desember 2023   11:45 Diperbarui: 7 Desember 2023   12:27 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar (godfathers)Tiga pasangan Calon presiden Republik Indonesia sudah mendaftar, masing-masing sebagai berikut :

1. Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar
2. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka
3. Ganjar Pronowo dan Mahfud MD

Sesungguhnya sebagai rakyat tidak perlu lagi melihat dari partai apa saja mereka dicalonkan, karena jika melihat partai politik, rakyat akan kehilangan objektifitas dalam menilai mereka.

Kenapa demikian? Jawabnya karena partai politik sekarang hampir sama.

Sama apanya? Ya sama-sama berideology Duit. Atau menjalankan politik transaksional dan alat tukar (beli dan jualnya) dalam politik sama dengan transaksi dalam ekonomi. Nilai-nilai lain menjadi berkurang bahkan nilai-nilai ideal dan negarawan sebagaimana pejuang bangsa ini hampir dapat disebut telah sirna.

Namun tentu saja ada pemikiran sentimentil oleh mereka sebagai pendukung disamping ada sikap politik yang jelas dapat memberikan kontribusi kematangan untuk bangsa ini menjadi bangsa yang benar-benar merdeka.

Yang kita sayangkan, kita tidak paham, apa yang menjadi substansi yang diadu terhadap kontestan pasangan calon presiden dimaksud?

Tentu kalau adu banyak duit dan fasilitas pemerintahan tidak perlu saya sampaikan, karena semua rakyat paham.

Apakah adu tinju, apakah adu lari, apakah adu lompat, apakah adu angkat besi, apakah adu main sepakbola atau apakah mereka diadu aja menyelesaikan bermain game, atau adu menembak atau sekalian aja adu membual karena masyarakat Indonesia masih dapat dibual dalam berbangsa dan bernegara.

Sebenarnya ditengah masyarakat yang belum merdeka, lelucon tersebut bisa saja terjadi. Misalnya untuk menang presiden diadakan aja adu jotos atau adu tinju. Yang menang jadi presiden kenapa repot dengan membual atau menipu rakyat dengan janji-janji politik kebangsaan segala. Lagipula semua yang dibicarakan hanya janji kosong yang hanya berguna untuk menyiasati rakyat semasa kampanye dan menyiasati bahkan merampok suara kompetitornya.

Apakah yang saya katakan ini sebagai lelucon?

Kalau bangsa ini tidak lagi dibangun dengan idealisme, kesantunan, etika, harga diri dengan peradabannya sementara kehidupan diselimuti dengan pembohongan, kamuplase dimana sikap pemimpin hanya menyiasati rakyat atau membodohkan rakyat atau sekedar melalaikan rakyat, bukankah lebih logik kalau calon presiden yang dipilih oleh rakyat diadu dengan pertandingan yang dipahami oleh rakyat Indonesia.

Begitu aneh dan menggelikan, dalam pemilihan presiden Indonesia yang menang justru pasangan yang paling banyak memberikan bantuan sembako atau pasangan yang banyak uang untuk menyogok rakyat, atau pasangan calon presiden yang paling pandai menipu rakyat dengan propaganda politiknya.

Apakah kita paham propaganda politik? Ya itu sisi politik kotor yang dihalalkan akibat rakyat tidak paham kunci permainan yang mencuci otaknya. Biasanya ilmu ini digunakan oleh Intelijen seperti di film barat di trans tv yang fokus pada substansi cerita dan logika keseriusan yang memutar pikiran kita.

Susah juga kita membawa gambaran pada masyarakat level tersebut sementara masyarakat kita sebahagian besar levelnya menonton sinetron pasangan cinta rumah tangga dimana seribu episode tidak akan habis kisahnya yang sentimentil tersebut.

Kenapa begitu perkembangan masyarakat Indonesia? Ya tentu saja karena media dan pemimpin politiknya selalu memberitakan dan hebatnya politik emak-emak yang dibanggakan itu. Padahal tanpa sadar mereka sedang dalam propaganda rakyat yang merusak politik. Itu tidak beda dengan penggunaan kata pesta demokrasi yang disalah artikan oleh masyarakat disama artikan sebagaimana pesta narkoba. Orang sedang mabuk sehingga sah bila melakukan kecurangan, menipu, menyogok dan lain-lain. Namanya juga pesta, tentu yang ikutan lebih banyak mabuk kepayang, hasil kesepakatan rakyat dengan pesta anda tahu sendirilah.

Nah, banyak kita dengar orang bicara status quo dalam kekuasaan politik dan bernegara yang membahayakan, , sesungguhnya yang lebih bahaya justru pengendali status quo sosial. Karena merekalah yang menghambat pengembangan suatu masyarakat. Karena status quo sosiallah maka suatu bangsa dapat dijajah dalam waktu yang lama oleh bangsa dan negara asing.

Kenapa? Tentu saja karena pemimpin negara tidak punya ajaran atau ideology bernegara yang massif, tidak bisa suatu bangsa itu hanya melakukan kerja, kerja dan kerja saja sebagaimana pemerintah sekarang, ujungnya hanya membayar sekedar untuk makan orang miskin dan membunuh lawan-lawan politiknya dan mereka bebas melakukan apapun, apakah mau oligarkhi, mau otoritarian dengan bungkusan simbol serta membangun opini demokrasi.

Karena itu maka pembangunan demokrasi jauh lebih penting sebelum melaksanakan pembangunan lain-lain dalam berbangsa dan bernegara. Untuk apa pembangunan sesuatu kalau rakyat dipaksakan untuk menerimanya. Hal ini tidak beda dengan sistem kepemimpinan otoriter dimasa lalu.

Oleh karena itu maka masyarakat dalam memilih presiden yang paling urgen adalah memperhatikan secara seksama hakikat kepemimpinan yang pernah dipraktekkan oleh calon presiden dalam memimpin pada tingkatan sebelum memimpin lembaga kepresidenannya.

Nah, bila sudah mengetahui karakter calon maka rakyat mudah saja membuat keputusan. Bahwa calon A yang bermental otoriter dan calon B yang terlibat dalam sistem otoriter, sementara calon C yang antitesis dari sistem kekuasaan yang mereka jalani selama ini.

Nah bila kualifikasi sistem kepemimpinannya sudah diketahui maka memilih pemimpin sederhana saja bagi masyarakat.

Yang pertama otoriter dan yang kedua demokratis, bila keduanya penganut sistem demokratis maka baru dibutuhkan kajian lebih dalam setahap lagi yakni siapa yang pemilik kepemimpinan sistem yang demokratis dengan manajemen yang lebih teratur kemudian siapa yang memiliki kepemimpinan sosial yang lebih baik.

Tidak sulitkan? Dalam kepemimpinan Republik Indonesia masih dapat ditemukan secara sederhana kualifikasi calon pemimpin. Maka rakyat tidak terlalu rumit menentukan pemimpinnya. Justru aneh kalau mereka salah memilih.

Kenapa demikian?
Karena terilustrasi bahwa rakyat Indonesia tergolong tidak menggubris kepemimpinan politik dan bernegara bahkan tergolong rakyat tak peduli.

Karena itu jalan keluarnya maka lebih berguna kompetisi calon presiden dengan adu jotos aja daripada presiden yang terpilih karena ahli tipu atau ahli propaganda. Karena rakyat hanya menjadi korban atau objek pemerasan oleh pemimpin negaranya.

Maka jadilah rakyat Indonesia korban politik selamanya, apa bedanya dengan terjajah? Sama sajakan?

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun