Kalau bangsa ini tidak lagi dibangun dengan idealisme, kesantunan, etika, harga diri dengan peradabannya sementara kehidupan diselimuti dengan pembohongan, kamuplase dimana sikap pemimpin hanya menyiasati rakyat atau membodohkan rakyat atau sekedar melalaikan rakyat, bukankah lebih logik kalau calon presiden yang dipilih oleh rakyat diadu dengan pertandingan yang dipahami oleh rakyat Indonesia.
Begitu aneh dan menggelikan, dalam pemilihan presiden Indonesia yang menang justru pasangan yang paling banyak memberikan bantuan sembako atau pasangan yang banyak uang untuk menyogok rakyat, atau pasangan calon presiden yang paling pandai menipu rakyat dengan propaganda politiknya.
Apakah kita paham propaganda politik? Ya itu sisi politik kotor yang dihalalkan akibat rakyat tidak paham kunci permainan yang mencuci otaknya. Biasanya ilmu ini digunakan oleh Intelijen seperti di film barat di trans tv yang fokus pada substansi cerita dan logika keseriusan yang memutar pikiran kita.
Susah juga kita membawa gambaran pada masyarakat level tersebut sementara masyarakat kita sebahagian besar levelnya menonton sinetron pasangan cinta rumah tangga dimana seribu episode tidak akan habis kisahnya yang sentimentil tersebut.
Kenapa begitu perkembangan masyarakat Indonesia? Ya tentu saja karena media dan pemimpin politiknya selalu memberitakan dan hebatnya politik emak-emak yang dibanggakan itu. Padahal tanpa sadar mereka sedang dalam propaganda rakyat yang merusak politik. Itu tidak beda dengan penggunaan kata pesta demokrasi yang disalah artikan oleh masyarakat disama artikan sebagaimana pesta narkoba. Orang sedang mabuk sehingga sah bila melakukan kecurangan, menipu, menyogok dan lain-lain. Namanya juga pesta, tentu yang ikutan lebih banyak mabuk kepayang, hasil kesepakatan rakyat dengan pesta anda tahu sendirilah.
Nah, banyak kita dengar orang bicara status quo dalam kekuasaan politik dan bernegara yang membahayakan, , sesungguhnya yang lebih bahaya justru pengendali status quo sosial. Karena merekalah yang menghambat pengembangan suatu masyarakat. Karena status quo sosiallah maka suatu bangsa dapat dijajah dalam waktu yang lama oleh bangsa dan negara asing.
Kenapa? Tentu saja karena pemimpin negara tidak punya ajaran atau ideology bernegara yang massif, tidak bisa suatu bangsa itu hanya melakukan kerja, kerja dan kerja saja sebagaimana pemerintah sekarang, ujungnya hanya membayar sekedar untuk makan orang miskin dan membunuh lawan-lawan politiknya dan mereka bebas melakukan apapun, apakah mau oligarkhi, mau otoritarian dengan bungkusan simbol serta membangun opini demokrasi.
Karena itu maka pembangunan demokrasi jauh lebih penting sebelum melaksanakan pembangunan lain-lain dalam berbangsa dan bernegara. Untuk apa pembangunan sesuatu kalau rakyat dipaksakan untuk menerimanya. Hal ini tidak beda dengan sistem kepemimpinan otoriter dimasa lalu.
Oleh karena itu maka masyarakat dalam memilih presiden yang paling urgen adalah memperhatikan secara seksama hakikat kepemimpinan yang pernah dipraktekkan oleh calon presiden dalam memimpin pada tingkatan sebelum memimpin lembaga kepresidenannya.
Nah, bila sudah mengetahui karakter calon maka rakyat mudah saja membuat keputusan. Bahwa calon A yang bermental otoriter dan calon B yang terlibat dalam sistem otoriter, sementara calon C yang antitesis dari sistem kekuasaan yang mereka jalani selama ini.
Nah bila kualifikasi sistem kepemimpinannya sudah diketahui maka memilih pemimpin sederhana saja bagi masyarakat.