Mohon tunggu...
Abdul Halim Rimamba
Abdul Halim Rimamba Mohon Tunggu... wiraswasta -

Mendambakan Perdamaian sejati

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bukan “Gurita Cikeas”

10 Desember 2010   10:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:51 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="250" caption="Gurita Selayar"][/caption]

Masih terngiang dalam benak kita ketika media cetak dan media elektronik marak memperbincangkan sebuah buku George Ady Condro seorang pakar ilmu korupsi di lingkup istana yang berjudul “Gurita Cikeas”. Kemunculan seorang George Ady Condro selalu mengundang kontroversi dan simpati publik, betapa tidak dengan kepiawaiannya menulis dan mengumpul sejumlah tulisan dan analisis tajam, bagaimana keluarga dilingkungan presiden SBY menggeliat membangun kerajaan bisnis baru, disokong oleh sejumlah pengusaha dan “konglomerat hitam”. Tak pelak lagi perhatian publik tertuju kepada sang pakar korupsi lingkungan istana kepresidenan tersebut. Belum surut pemberitaan tentang buku Gurita Cikeas, tiba-tiba di alun-alun rumah jabatan Bupati Kepulauan Selayar muncul Gurita besar dalam wujud patung Gurita bercat hitam. Ini tentu tidak ada hubungannya dengan Gurita Cikeasnya George Ady Condro, namun tentu ornamen dan hiasan istana ‘Gedung Putih’ Rumah Jabatan Bupati Selayar ini mengingatkan kita, betapa simbol Gurita versi George ini adalah mahluk yang memiliki tabiat predatorism terhadap semua jenis mahluk disekitarnya.

Kemungkinan patung Gurita yang dicat hitam oleh pembuatnya ingin menyuguhkan berita bahwa laut Selayar yang begitu kaya dengan berbagai mahluk hidup untuk kesejahteraan sekaligus menawarkan keindahan seekor gurita yang tidak selamanya bengis dan predator terhadap sesama penghuni bawah laut. Dalam mitos masyarakat Selayar, gurita dilambangkan sebagai simbol mahluk buas yang acap kali menenggelamkan kapal-kapal nelayan diperairan Selayar. Kalau gurita sebagai simbol politik dalam bingkai kekuasan pemerintahan Selayar, secara psikologis tentu amat mengerikan; betapa tidak, “tabiat” seekor gurita dalam legenda orang Selayar adalah mahluk berbahaya yang menakutkan, meski dalam realitasnya gurita-gurita kecil mendiami sela-sela karang dangkal di laut Selayar adalah tidak berbahaya, sebagaimana bahaya Gurita Cikeas yang siap ‘mengangkangi’ Indonesia.

Fenomena gurita dalam filosofi kontemporer para politisi akan selalu ada meski tidak dimonumenkan dalam bentuk patung seperti apa yang ada di halaman rumah jabatan bupati Selayar.

Tidak ada hubungannya Gurita Cikeas dengan Patung Gurita ‘hitam’ di depan rumah jabatan bupati, karena memang “bukan Gurita Cikeas”.

Tidak ada politik “menghabisi” lawan politik! Karena Selayar hanya wilayah kecil yang masih berbenah dari kemelaratan dan ketertinggalan segala bidang. Meski kesadisan politik dalam terminologi bahasa tak lebih dari kata ‘resiko kecil’ alias implikasi sebuah proses politik.

Mari menilik kebelakang, sekilas Proses Pemilukada 2010 di Selayar: Para kompetitor “kekuasaan” saling mencengkeram laksana “Gurita” sang predator,

Syahrir Wahab pamong senior di pentas Politik Selayar dikenal lugu tanpa basa-basi dan tedeng aling-aling selalu diragukan kemampuannya untuk memenangkan pertarungan politik di Selayar. Bahkan ketika maju sebagai calon Bupati Periode pertamanya tahun 2005 yang lalu ia nyaris tidak diperhitungkan, namun tiba-tiba tampil sebagai pemenang. Begitupun menjelang akhir periode kepemimpinannya; Seorang Syahrir Wahab sibuk bergerilya politik, mencari kendaraan politik untuk tampil kembali sebagai ‘calon’. Banyak pihak meragukan; beliau bakal tidak mendapatkan kendaraan politik, kalaupun ada yang bisa hanya partai ‘gurem’ yang tercecer-cecer diluar parlemen. Semua partai besar ‘menjauh’, karena nakhoda partai-partai besar tersebut adalah rival dan lawan politiknya seorang Syahrir Wahab. Tapi diakhir perebutan kendaraan Politik pada proses awal pemilukada 2010 ini, si pamong yang lugu ini kembali membuktikan keberuntungannya dengan nyaris menyapu bersih seluruh partai besar (Golkar, PAN, PKB, Gerindra, Barnas, PKS) ditambah partai-partai non parlemen yang menjadi pembuka dukungan.

Satu persatu pesaing Syahrir Wahab datang ‘membawa diri’, mempersembahkan dukungan politik; mempertontonkan makna politik yang tidak lagi dilandasi idealisme politik, tapi tak lebih dari prilaku politik transaksional yang bisa ‘dibeli dengan sejumlah rupiah’.

Setelah kemenangan Pemilukada yang diraih lewat proses yang panjang sampai berperkara di Mahkamah Konstitusi. Ternyata implikasi politik dari kepiawaian seorang Syahrir Wahab sang pamong yang beruntung ini, tidak hanya sebuah kemenangan tetapi sejumlah pembangkang dan lawan-lawan politiknya mesti siap-siap menerima resiko politik;

Sebutlah Ince Langke dan Syamsu Alam Ibrahim yang merupakan rival lama yang bersatu ‘melawan’ Syahrir Wahab, harus ‘terhempas’ kalah, bahkan Ince harus dipecat dari Partai Golkar, partai yang pernah dibesarkannya sendiri. Padahal publik paham! Kehadiran Syahrir Wahab di Golkar sebagai Ketua Dewan Pembina di masa kepemimpinan Ince Langke adalah harga sebuah deal-deal politik (dimanfaatkan dan memanfaatkan) untuk sebuah stabilitas pemerintahan;

Lalu bagaimana dengan Hulubalang dan prajuritnya politik? Merekalah yang mendapat resiko terbesar, terburuk atau terbaik. Mati berkalang tanah secara sia-sia, terinjak-injak dan terbelit ‘Gurita’ atau menepuk dada memperebutkan tanda jasa kemenangan yang dibeli secara haram.

Itulah politik sang “Gurita”. Gurita bukan personifikasi seseorang, tapi Gurita adalah personifikasi dari kata ‘politik’ itu sendiri; mencengkram, membelit dan mengangkangi kita, mengangkangi Rakyat Selayar, mengangkangi Rakyat Indonesia dan merampas hak rakyat lewat sebuah proses demokrasi; Bukankah rakyat memang telah menyerahkan kedaulatannya dibilik suara? Nah! Pantas saja kedaulatan rakyat hanya keniscayaan yang absur, adanya hanya pada saat proses dan pesta demokrasi. Setelah itu terserah! Wassalam.

*) Pendiri dan Direktur Yayasan Lembaga Study dan Pemberdayaan Masyarakat (LESDAM) Sulawesi Selatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun