Mohon tunggu...
Tapa Shidiq
Tapa Shidiq Mohon Tunggu... Guru - Belajar mentuturkan gagasan lewat tulisan.

Seorang guru matematika di Kabupaten Serang Banten. Meski bakat menulis masih belum mumpuni tapi ingin menjadi bagian dari pejuang-pejuang literasi,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Berawal dan Berakhir di Banten

17 Agustus 2024   09:11 Diperbarui: 17 Agustus 2024   09:14 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

*Berawal dan Berakhir di Banten*

_Sebuah refleksi Kemerdekaan dan catatan sejarah_

By *Papah Langit*

Bule Arogan itu bernama Cornelis de Houtman, ialah bule Belanda yang pertama kali menginjakan kaki di Nusantara. Tahun 1596 ia bersama pasukannya yang tinggal separuh tiba di Banten. Perjalanannya memang tidak mulus, Wabah penyakit, hantaman badai dan bajak laut memporak porandakan rombongannya.

Awalnya mereka disambut hangat oleh Kesultanan Banten. Kesultanan yang saat itu meraih masa keemasannya, sebagai penguasa jalur maritim dengan pelabuhan terbesarnya bernama Karang Antu.

Namun, sikap ramah para pribumi itu disikapi dengan jumawa oleh De Houtman, ia malah menginginkan hak monopoli untuk perdagangan rempah-rempah. Beberapa kali mereka tak segan mengintimidasi bahkan merampas barang dagangan para pedagang lokal maupun mancanegara.

Mendengar hal tersebut Mangkubumi Jayanegara sebagai PLT Sultan Maulana Muhamad yang gugur Syahid dalam pertempuran di Palembang, mengutus pasukan untuk mengusir De Houtman. Pasukan Kesultanan Banten dibantu pelaut Portugis berhasil mengusir De Houtman. De Houtman bersama rombongannya kabur ke Aceh.

Namun Naas, bagi penjelajah Belanda tersebut Nyawanya melayang. Ujung rencong Cut Kemala Hayati mengakhiri petualangannya. Pasukan Inong Balee pimpinan laksamana wanita Cut Kemalahayati menghancurkan mimpi dan arogansi De Houtman. Meskipun sisa-sisa pasukannya berhasil pulang ke Belanda bersama beberapa rempah-rempah hasil curian.

Meski menuai kegagalan, upaya Cornelis De Houtman tersebut, di Negrinya disanjung sebagai pembuka jalan bagi Imprealisme Belanda di negeri kaya raya yang mereka beri nama Hindia Belanda.

Tak heran mengapa bule arogan tersebut dikenang sebagai martir, karena upaya gagalnya kemudian hari adalah pembuka jalan untuk negeri kincir air itu mengeruk kekayaan Nusantara beratus-ratus tahun lamanya.

Itulah catatan sejarah bagaimana Belanda membuka lembaran hitam penjajahannya. Namun, Hal menarik dalam penutup lembaran hitam penjajahan tersebut dimulai juga dari Tanah Jawara ini.

Perang jawa yang dikobarkan pangeran Diponegoro tahun 1825 -1830 mengakibatkan kerugian yang teramat besar bagi pemerintahan VOC. Kerugian yang membuat perusahaan dagang tersebut bangkrut. Untuk mengurangi devisit anggaran yang cukup besar Kerajaan Belanda membuat kebijakan yang sangat mencekik rakyat jelata. Cultuurstelsel atau tanam paksa adalah solusi bagi defisit keuangan tersebut. Rakyat dipaksa menanam tanaman yang menjadi komoditas utama dalam perdagangan dan perindustrian saat itu. Mereka dipaksa meninggalkan pertanian yang menjadi sumber pangan, beralih ke tanaman yang tidak bisa untuk dikonsumsi melainkan hanya sebagai sumber pemasukan kas negara. Akibatnya kelaparan dan kemiskinan terjadi dimana-mana.

Penderitaan dan kisah pilu rakyat jelata tersebut diabadikan dalam novel Max Havelaar karya Multatuli. Multatuli adalah nama pena dari seorang berkebangsaan belanda yang bernama Edward Dawos Dekker. Ia menulis novel tersebut sebagai bentuk keprihatinan terhadap penindasan yang dilakukan terhadap rakyat Lebak Banten.

Max Havelaar menjadi perbincangan para cendikiawan dan para elit di negeri Belanda. Mereka yang memiliki moral dan keprihatinan yang lebih terhadap kaum pribumi bersatu dan memunculkan sebuah wacana politik yang cukup besar. Munculnya politik Etis atau politik balas budi memunculkan peluang yang besar untuk kaum bumi putera.

Kesempatan dalam pendidikan dibuka luas, demikian juga terhadap akses kepada pekerjaan.

Demikian hebatnya daya gedor dari narasi buku Max Havelaar ini sehingga memunculkan kaum terpelajar pribumi.

Tak terbilang tokoh-tokoh fauding father seperti soekarno, Hatta, Syahrir, Agus Salim,dll. Merupakan hasil dari kontribusi politik etis.  

Para Founding Father yang kelak mendobrak Imprealisme, menyatukan bangsa indonesia dalam satu idealisme.

Dimulai dari jejak kaki Cornelis De Houtman di pelabuhan Karang Antu dan diakhiri oleh rintihan rakyat kecil di pelosok lebak. Banten menjadi saksi timbul dan tenggelamnya Imprealisme Belanda di Nusantara.

Kini setelah 79 tahun Indonesia merdeka, Banten tetap menjadi pusat keprihatinan. Suvei dari lembaga Goodstate menyebutkan bahwa provinsi Banten merupakan porvinsi nomor 1 paling tidak bahagia di Indonesia.

Survey kepuasan yang mengambil indikator kesejahteraan subjektif warganya. Yaitu dimensi kepuasan hidup baik secara personal maupun sosial.

79 Tahun berlalu, Banten jangan sampai menjadi keprihatianan yang terus berlanjut. Saatnya menutup kisah kelam Max Havelaar.

_Lapangan Kecamata Cinangka, 17 Agustus 2024_

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun