Mohon tunggu...
Tanziila
Tanziila Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Mahabharata

Tak lebih dari pria bertampang biasa saja pun, tunakarya, tak bisa jadi asa, namun syukurnya tak ada jeda.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Orang Miskin Dilarang Sarjana? Kemendikbud Berikan Penjelasan Kontroversial

6 Juni 2024   23:35 Diperbarui: 6 Juni 2024   23:46 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang Miskin Dilarang Sarjana?

 Akhir akhir ini muncul sebuah pernyataan yang menggemparkan di dunia Pendidikan. Undang undang dasar Indonesia yang didalamnya berisi nilai bahwa kecerdasan ialah hak segala bangsa seakan tercemar oleh sebuah pernyataan yang berbunyi "Orang miskin dilarang sarjana". Bahkan pernyataan tersebut sudah banyak menghiasi platform media sosial seperti tiktok, instagram dan twitter. Namun, fenomena yang terjadi memancing banyak komentar yang tertuju pada slogan tersebut. 

Ungkapan tersebut sejatinya dilontarkan oleh para mahasiswa Universitas Jendral Soedirman sebagai usaha dalam memberikan kritik kepada realita tentang tingginya biaya Pendidikan di perguruan tinggi khususnya di universitas tersebut. Sejatinya, kuliah bukan hanya bisa dijangkau oleh orang orang dengan finansial yang tinggi, melainkan dapat dijangkau oleh para pejuang dengan ekonomi kelas bawah. Hal tersebut yang menjadikan mahasiswa Universitas Jendral Soedirman membumikan aspirasinya dengan membuat slogan "Orang miskin dilarang sarjana" (Kholis, 2024.) Dapat diartikan, slogan tersebut merupakan bentuk sindiran kerasa mahasiswa kepada pimpinan UNSOED dengan keputusan kontrovesialnya. Mahasiswa juga menaruh harapan cerah kepada Kemendikbud untuk memberikan keputusan yang mapan untuk masa depan pendidikan Indonesia.

 Gemparnya berita tersebut ternyata tidak semua berbuah damai, banyak komentar yang menunjukkan kesalahpahaman pembaca akan diksi dari slogan tersebut. Seakan akan slogan tersebut ditujukan kepada Masyarakat miskin yang memang tidak pantas untuk menempuh Pendidikan tinggi (Roziqi, 2024). Orang orang yang paham akan konteks ini, tentu memberikan tanggapan postif untuk mendukung aspirasi yang membela pejuang Pendidikan tersebut. Salah satunya Danang Giri Sadewa seorang konten creator yang berkecimpung dalam dunia pendidikan menyatakan keberpihakannya terhadap aksi mahasiswa Unsoed tersebut. Bahkan di lain sisi, di platform tiktok Danang, dia mengkritik kondisi masyarakat yang selalu menelan berita secara mentah mentah. Menurutnya, literasi akan sesuatu harus mejadi hal yang diutamakan dalam setiap berita yag datang. 

Respon Kemendikbud tentang tingginya uang kuliah tunggal (UKT)

Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie, memberikan tanggapan terhadap gelombang kritik yang semakin meningkat mengenai uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi yang terus naik. Tjitjik menyoroti kekhawatiran publik yang merasa terbebani oleh biaya pendidikan yang semakin mahal dan berusaha untuk menjelaskan langkah-langkah yang diambil oleh pihaknya dalam menangani isu ini. Mengenai banyaknya protes terkait UKT, Tjitjik menjelaskan bahwa pendidikan tinggi adalah pendidikan tersier atau pilihan, yang tidak termasuk dalam program wajib belajar 12 tahun. Program wajib belajar di Indonesia saat ini hanya mencakup pendidikan dasar dan menengah, yaitu dari SD, SMP sampai SMA. "Dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan," kata Tjitjik di Kantor Kemendikbud, Rabu (16/5). "Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib," sambungnya.

  Tjitjik menjelaskan bahwa pemerintah memusatkan perhatian pada pendanaan untuk pendidikan wajib 12 tahun. Pendidikan tinggi tidak menjadi sebuah prioritas karena masih dianggap sebagai pendidikan tersier. Namun, Tjitjik menegaskan bahwa pemerintah tetap berperan dengan memberikan pendanaan melalui BOPTN. Meskipun begitu, jumlah dana tersebut tidak cukup untuk menutupi seluruh Biaya Kuliah Tunggal (BKT), sehingga kekurangannya harus ditanggung oleh mahasiswa melalui UKT. "Tentunya pemerintah memberikan tetep bertanggung jawab tapi dalam bentuk bantuan operasional perguruan tinggi (BOPTN)," ujarnya.

Dalam skema UKT, Tjitjik menjelaskan bahwa mahasiswa dikenakan biaya kuliah berdasarkan kemampuan ekonomi mereka. Dalam aturan Permendikbudristek Nomor 2 tahun 2024, berbunyi yaitu, UKT kelompok 1 ditetapkan sebesar Rp500 ribu dan kelompok 2 sebesar Rp1 juta sebagai standar minimal yang harus dipenuhi oleh PTN. Selebihnya, besaran UKT ditentukan oleh masing-masing perguruan tinggi. Tjitjik membantah adanya kenaikan UKT saat ini. Menurutnya, yang bertambah adalah jumlah kelompok UKT, bukan besaran UKT itu sendiri. "Ini sebenarnya secara prinsip bukan kenaikan UKT. Tetapi penambahan kelompok UKT," ujar Tjitjik.

Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas

 Habermas dalam teori hermeneutika kritisnya mengatakan bahwa hermeneutika tidak hanya sekadar memahami teks atau fenomena secara interpretatif, tetapi juga harus dilakukan secara kritis. Artinya, pemahaman hermeneutik harus diarahkan untuk mengungkap struktur-struktur sosial yang tersembunyi dan membebaskan manusia dari berbagai bentuk dominasi dan penindasan.

Beberapa pokok pemikiran Habermas dalam hermeneutika kritisnya:

 Pertama, menolak hermeneutika tradisional yang hanya berfokus pada pemahaman teks atau makna subjektif. Habermas ingin mengembangkan hermeneutika untuk memahami realitas sosial secara kritis.

 Kedua, memadukan aspek subjektif (pemahaman individu) dan objektif (struktur sosial) dalam proses penafsiran. Habermas ingin menciptakan jembatan antara idealitas dan realitas.

 Ketiga, menekankan pentingnya kesadaran kritis untuk mengungkap distorsi komunikasi dan dominasi yang terjadi dalam masyarakat.

 Keempat, melihat hermeneutika sebagai proses komunikasi intersubjektif yang bertujuan untuk mencapai konsensus dan emansipasi manusia.

 Jadi inti pemikiran Habermas adalah mengembangkan hermeneutika agar tidak hanya berhenti pada pemahaman, tapi juga mampu mengkritisi struktur sosial yang menindas. Hermeneutika harus diarahkan untuk pembebasan manusia dari segala bentuk dominasi.

Lalu, Bagaimana Habermas dalam Memandang Tragedi Ini?

 Parah, orang luar sampai ikut andil membahas trend ini. Bukan-bukan, Jurgen habermas memiliki sebuah teori yang cocok untuk mengkaji masalah ini, ya di atas tadi. Apakah benar maksud dari kalimat "Orang Miskin Dilaran Sarjana", seperti yang telah diungkap oleh Danang Giri Sadewa?

 Pertama-tama, dengan menggunakan teori hermeneutika kritis Habermas, Kami sependapat dengan Danang Giri Sadewa bahwa literasi dalam memahami suatu berita sangatlah penting. Dalam kasus ini, tampaknya terdapat kesalahpahaman di kalangan masyarakat terkait maksud sebenarnya dari slogan "Orang miskin dilarang sarjana" yang disuarakan oleh mahasiswa Unsoed.

 Jika kita menggunakan perspektif teori kritis Habermas, maka slogan tersebut dapat dipandang sebagai sebuah upaya untuk membangun kesadaran kritis critical consciousness di kalangan masyarakat. Para mahasiswa Unsoed tampaknya ingin menggugah kesadaran publik akan ketimpangan akses pendidikan tinggi yang semakin terbatas bagi kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi.

 Slogan tersebut dapat dilihat sebagai bentuk kritik terhadap realitas pendidikan Indonesia yang masih belum memenuhi cita-cita konstitusional mengenai keadilan dan pemerataan akses pendidikan. Dengan mempertanyakan "Apakah orang miskin dilarang sarjana?", mahasiswa Unsoed ingin mendorong refleksi kritis publik terhadap praktik-praktik yang menghalangi kelompok marjinal untuk memperoleh pendidikan tinggi.

 Dalam perspektif Habermas, proses komunikasi kritis semacam ini berperan penting dalam upaya emansipasi dan pembebasan masyarakat dari segala bentuk dominasi dan distorsi sistemik. Melalui pembangunan kesadaran kritis, diharapkan dapat muncul gerakan sosial yang menuntut transformasi struktural dalam sistem pendidikan, sehingga kemiskinan tidak lagi menjadi hambatan bagi setiap warga negara untuk mengakses pendidikan tinggi.

 Oleh karena itu, saya berpandangan bahwa slogan "Orang miskin dilarang sarjana" harus dipahami dalam konteks kritik sosial yang konstruktif, bukan sebagai sebuah pernyataan yang literal dan diskriminatif. Kemendikbud diharapkan dapat menangkap esensi pesan tersebut dan merumuskan kebijakan yang lebih berorientasi pada keadilan dan pemerataan akses pendidikan di Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun