Saya ingat ketika papasan dengan seorang psikolog senior. Beliau pernah menulis soal status kontroversial tentang perempuan yang meraih gelar S3 sebelum menikah.
By default, kata beliau, para perempuan S3 ini juga secara sadar maupun tak sadar punya standar tertentu. Ini yang bikin sulit, kata beliau.
Dan, secara fakta, perempuan-perempuan S3 ini datang pada beliau. Menyesal karena proses pencarian suami menjadi lebih sulit. Ada semacam gap atau minder dari si lelaki.
Di hari yang sama, kemudian saya bertemu dengan calon suami. Kami memutuskan untuk menikah dua bulan kemudian. Saya, saat itu tengah menyelesaikan studi S2. Suami saya sedang sibuk berkiprah menjadi pekerja sosial, dengan titel S1.
Kemudian beberapa bulan kemudian saya meraih gelar master. Suami saya belum berkuliah lagi.
Kemudian saya berkeinginan ambil S3. Respon suami saya? Mendukung! Bahkan ia lebih senang saya S3 kemudian jadi dosen ketimbang tok jadi wirausaha.
Mengapa?
Sepanjang perjalanan rumah tangga kami, saya tidak pernah merasa titel pendidikan saya yang secara permukaan lebih tinggi — menjadi legitimasi kalau saya lebih wow ketimbang suami saya.
Suami saya juga sadar betul akan hal itu. Di matanya, mungkin saya pintar, tapi saya juga rapuh, dan memang saya menyediakan kerapuhan saya untuk ia lengkapi. Seperti ia rela berbagi kerapuhannya untuk saya lengkapi. Saling berbagi kerapuhan untuk diisi, justru akan saling menguatkan bukan?
Dalam konteks hubungan pertemanan, senior-junior, ataupun rumah tangga — saya lebih suka memperlakukan rekan saya sebagai rekan setara. Kendati ia tukang cilok sekalipun. Atau adik saya sendiri. Mindset yang saya selalu camkan pada diri: Mereka pasti punya apa yang saya tak punya, seperti saya punya apa yang mereka tidak punya.
Saya memang bergelar S2. Beliau S1, tapi beliau sangat familiar dengan realita masyarakat (saya kurang begitu terjun). Saya perasa. Ia taktis dan logis. Saya pintar bikin nasi goreng. Ia pintar bikin steak. Rank Mobile Legendnya sudah sampai Mytic. Saya mentok di Grandmaster (itu juga dijokiin suami). Hahaa.
Saya jadi ingat, ketika Ustman bin Affan menikahi Nailah binti al-Farafishah yang dikenal cerdas. Ustman tidak malu dan minder. Justru senang memiliki istri yang dapat memberikan sumbangsih terhadap cara pandangnya.
Hal ini membuat saya berpikir, bahwa benar bahwa perempuan berpotensi sebagai ‘fitnah’ (ujian) bagi laki-laki. Ya, adakalanya ‘fitnah’ tersebut bersumber dari perempuannya (pakaiannya, gerak-geriknya, aksinya).
Tapi bisa jadi, ‘fitnah’ tersebut ialah sempitnya perspektif laki-laki terhadap perempuan, sehingga mereka memandang dan memperlakukan perempuan secara salah.
Beruntung suami saya, dan Ustman bin Affan — dapat lolos dari ‘fitnah’ perspektif terhadap perempuan. Semoga banyak lelaki di luaran sana yang dapat berpikiran holistik mengenai kiprah perempuan dalam bingkai keimanan, ya!***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H