Mohon tunggu...
Tanus Korbaffo
Tanus Korbaffo Mohon Tunggu... Guru - guru

saya adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bergurulah pada yang Mengalami Bukan yang Mengatakan

22 Maret 2024   17:17 Diperbarui: 22 Maret 2024   19:18 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh : Kayetanus Kolo, S.Ag ( Guru Pada SMPK Sta.Theresia Kupang)

Kalau ingin berguru arti sebuah penantian, tanyakan pada ibu Tiwi yang menanti dengan cemas kelahiran putra pertamanya. Kalau ingin belajar soal sakit hati, belajarlah pada Risti yang diputus pacarnya setelah 3 tahun berpacaran. Kalau ingin belajar apa itu kesabaran, belajarlah pada ibu Lia yang suaminya pergi sore pulang pagi. Kalau ingin belajar apa itu terlambat, belajarlah pada penumpang pesawat yang tiba di bandara dan pesawat itu baru terbang 1 menit.

Kalau mau belajar apa itu pengorbanan, belajarlah pada Yesus Sang Guru Ilahi yang mencintai sampai terluka bahkan mencintai sampai tetesan darah terakhir di palang penghinaan. Lewat Yesus yang saya Imani sebagai Tuhan dan Guru, saya belajar memberi diri meski pemberian saya itu tak sebanding dengan pengorbanan-Nya.

Memang ! kalau ingin padi segudang, jalan satu- satunya adalah menguburkan 100 KG padi ke tanah. Kalau menginginkan lezatnya buah advokad, maka satu buah advokad ditanganmu harus ditanam. Yesus menyadari pentingnya pengosongan diri, pentingnya merelekan diri dalam makam untuk menghasilkan buah melimpah.

Buah lezat nan menggiurkan yang diambil si Adam mestinya dikembalikan ke posisinya. Dinamika pengembalian ke posisi awal tidak semudah membalikan telapak tangan.

Perjalanan menghantar kembali buah yang dipetik tanpa sepengetahuan sang Empunya melalui perjalanan berliku nan terjal disertai tetesan darah dan taruhannya adalah nyawa.

Sekali lagi, bergurulah pada yang mengalami, jangan berguru pada yang mengatakan. Yesus yang kita Imani bukan hanya mengatakan tapi merasakan pedihnya arti sebuah pengorbanan.

Memaknai Jumat, Agung !

Mencintai Sampai Terluka (Makan Bersama)

Kami 10 bersaudara, 6 perempuan dan 4 laki-laki. Keluarga saya sangat sederhana, bersama kedua orangtua kami tumbuh dan berkembang dalam satu gubuk sederhana (Rumah bulat beratapkan ilalang). Justru dari dari rumah bulat sederhana itu kami tumbuh dan berkembang dalam cinta. Karena rumah kami sangat sederhana tidak ada meja makan.

Saya masih ingat ! Saat makan bersama kakak sulung atau mama membagi dipiring kami masing-masing, maka dipastikan adil. Saat ada daging, buah-buah, dirumah oleh mama disediakan piring 

yang terbuat dari tempurung kelapa atau anyaman lontar, dilarang ambil sebelum pembagian selesai. Biasanya kalau danging sedikit atau buahan tidak cukup untuk kami semua, maka yang kecil atau bungsu paling berhak untuk itu.

Dusun kecil di kaki bukit, Oetfo namanya di huni oleh 11 KK wakttu itu, yang masih memiliki hubungan keluarga. Tamu yang datang ke dusun kecil itu, menjadi tamu bersama dan dipastikan diterima dengan baik.

Ketika ada orang dari dusun kecil itu yang hendak ke Kefa, maka yang lain akan titip, entah mau beli sabun, gula atau barang lainnya. Kalau ada kk yang sebut saja menyembelih seekor ayam atau babi kecil, dagingnya akan dibagi untuk 11 KK yang ada di dusun itu.

Sumber air untuk kami minum hanya ada satu, itupun digunakan oleh semua orang desa, debit airnya tidak besar namun menghidupkan ratusan jiwa.

Kebiasaan yang tidak pernah akan saya lupakan, adalah makan bersama. Ada balai, yang oleh orang Timor-Dawan disebut lopo. Lopo inilah yang menjadi tempat pertemuan atau untuk makan bersama. Setiap kk membawa yang dimasak dirumah lalu dinikmati bersama di lopo itu dengan sukacita.

Saat makan bersama itulah orang tua memberi nasehat-nasehat sederhana yang harus kami ikuti atau saat makan bersama itulah persoalan yang dihadapi didusun kami itu diselesaikan. Orang tua selalu mengingatkan kami yang masih kecil untuk menghormati makanan, karena makanan itu diperoleh dengan susah payah.

Mencintai sampai terluka, kalimat sederhana yang kaya makna. Cinta sesuatu yang mudah diucapkan tapi penerapannya lebih berat dari batu kali. Cinta antara mulut dan tindakan mestinya senada. Cinta tidak butuh wejangan -- wejangan menakjukan tapi butuh tindakan nyata. Orang tua saya di dusun kami saat itu rata-rata tidak bersekolah namun teladan hidup mereka jauh lebih hebat dari seorang professor.

Yesus Sang Juru selamat benar-benar mencintai sampai terluka. Apa yang dikatakan itulah yang dilakukan, yang dilakukan itulah yang Ia katakan.

Di Meja makan Sang Guru meninggalkan/mewariskan sesuatu yang luar biasa yaitu cinta. Yesus mencintai yang dicintai sampai terluka. Kakek saya di dusun kecil kami 40 tahun silam bilang, cinta sejati terukur ketika yang dicintai/pasangan berada pada posisi tak beruntung, bukan sebaliknya mencintai dengan kalkulasi untung rugi.

Bello, 1 April 2021

Catatan kecil dalam memaknai Kamis Putih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun