Aku pertama melihatnya di sebuah desa perbatasan TNLL, disuatu hari pada bulan Juni tahun 2002, sekitar pukul 14 lewat banyak menit, terlihat tangguh dengan pandangan tajam dan awas.
Aku langsung jatuh cinta.
Perhatianku tidak bisa teralih dari sosoknya, hebat sekali kalo aku bisa memilikinya.
Untuk diriku sendiri. Egois memang...
Aku mengagumi elang sulawesi (Spizaetus lanceolatus) sejak duduk dbangku SD, mengagumi sosoknya dari gambar-gambar dibuku perpustakaan sekolah. Bekerja di kawasan konservasi, baru kali ini aku melihat langsung dari dekat sosok elang sulawesi ini. Biasanya paling dari kejauhan saat sang elang soaring. Hanya titik hitam di angkasa di sertai lengkingan khas yang tidak aku mengerti.
Sosok pemburu ini dibandingkan dengan Kakaktua Jambul Kuning hadiah Pap’ sewaktu kecil (yang kemudian terbang bebas karena tidak di ikat kakinya, kami, adikku dan aku- tangisi sampai mogok makan, mogok mandi, mogok semua-muanya)...waaa....si Jambul Kuning gak ada apa-apanya...
Pikirku, elang ini tidak pantas berada di situ, mestinya dia terbang bebas, menjelajah langit...aaahhh...benar, laporan yang aku baca beberapa waktu sebelumnya menyebutkan nasib elang sulawesi setali tiga uang dengan elang jawa yang sudah kehilangan sebagian besar wilayah jelajahnya karena hutan habis ditebangi.
Sepanjang pertemuan aku tak mampu mengalihkan mataku pada elang itu.
Baahhh...lama sekali pertemuan ini!
Elang itu sepertinya masih kecil, tampaknya sedikit lunglai, dan tidak sigap bergerak, mungkin karena kakinya di ikat tali rafia dan terpancang di pagar tanaman.
Brrrr...akhirnya selesai juga. Kembali pada elang itu. Ohhh....kotorannya berkapur, dia pasti sakit,
sakit apa aku gak ngerti. Yang jelas dia terlihat sakit dan lunglai.
Ya amplopppp! Kecil, sakit, dan terikat! Aku ingin membebaskannya dari tali rafia itu.
(aku jadi ingat jaman SD, anak kompleks seberang mengikat dan menyeret seekor burung gereja...kami meminta burung itu dia lepaskan tapi dia gak mau...adikku malah di dorong-dorong sampai terjatuh oleh nya, dan burung gereja kecil itu dibantingnya, mati terikat benang)
Aku ingin membawanya pulang. Adu argumentasi sudah pasti jadi menu kali ini bila aku mengajukan ide itu. Apalagi bila ide itu diajukan pada seseorang yang dengan keras kepala mengaplikasikan kode etik pencinta alam: tidak mengambil apapun selain gambar, tidak membunuh apapun selain waktu, tidak meninggalkan apapun selain jejak!
Tapi, aku juga punya batu di kepalaku. Aku menginginkan elang itu bebas dari rafia itu dan harus aku dapatkan. Harus! Adu argumentasi aku rasa membosankan, akhirnya ku menangkan dengan perjanjian aku boleh merawat elang itu sampai suatu saat dimana elang itu harus kembali ke habitatnya. Whatsoever, pokoknya sekarang bebaskan elang itu.
Masalah datang kemudian...
Pemilik elang itu (atau seseorang yang mengaku memilikinya) tidak mau melepaskan. Negosiasi berjalan alot. Menurutnya elang itu diambilnya dihutan tnll, jatuh dari pohon. Jatuh dari pohon???...artinya elang ini masih bayi dong ya, blum bisa terbang....terlalu!
Deretan alasan pembenar membuat aku semakin keras kepala mendapatkan elang itu.
Alhasil, ujung-ujungnya duit! Orang itu minta dibayar, ya sudah....ambil!
Perjanjiannya adalah aku akan merawatnya sampai dia cukup kuat untuk kembali ke habitatnya. Membebaskannya terbang tinggi di langit tnll....(padahal aku sendiri tidak yakin dengan statement yang terakhir itu...apa bener neh, aku akan rela bila saatnya nanti?).
EGP, yang penting sekarang bebas dulu...
Aku dengan riang membebaskan elang kecil itu dari tali rafia dikakinya, membawanya pulang.
Untuk aku, kumiliki sendiri - walaupun cuma beberapa saat....hehehee....
akhirnya...aku "punya" elang sulawesi sendiri....
Raka, Anak Baik dan Tidak Bandel
Aku tidak pernah memelihara ayam, kakaktua jambul kuning itu dulu juga tak sampai sehari udah terbang...ya karena emang ikatannya kami lepas...setelah dia terbang, baru nangis-nangis...
Nah, sekarang aku kudu merawat elang sulawesi.
Bila sampai elang ini koit ditanganku...waahhh...alamat perang dunia ketiga akan dimulai!
Sewaktu berkeras membawanya pulang, tak terlintas di kepalaku bagaimana mengurusnya.
Kemaren itu, pokoknya bebas saja dulu dari tali rafia itu!
Nah...sekarang gimana?
Bantuan kemudian datang dari seorang kawan yang bergabung dengan para penjaga unggas
(Bird Life)...hahahaaa...Namanya Piton ...nama yang cukup garang untuk para unggas ;-))
(Piss, bro...)
Menurutnya, Raka masih sangat muda, bahkan mungkin masih bayi, belum bisa terbang, bahkan untuk makan pun masih butuh pertolongan induknya....Woaaalllaaahhh, jadi gimana neh...cara memberinya makan?...begini katanya: daging ayam mati diiris kecil-kecil sekitar 2-3 cm, lalu disuapkan ke Raka.
Ada lagi masalah dengan kotorannya yang berwarna putih, aku pikir itu juga yang membuatnya menjadi begitu lunglai (sok tau...). Benar, katanya. Itu namanya Berak Kapur (Pullorum), ada obatnya berbentuk tablet (aku lupa bagaimana caranya sampai obat itu ada di tanganku) yang jelas obat itu di larutkan ke dalam air minum Raka.
Begitulah, raka makan dengan cara disuapi disaat dia bertengger diatas pangkuanku dan rajin minum obat. Raka belum bisa terbang, dia senang melompat lompat dan bertengger di pohon depan kompleks kos kami. Kadang-kadang aku bawa ke kantor dan membiarkannya bertengger di pohon depan kantor. Sekali-kali kami berjalan-jalan naik motor – Raka bertengger di stir sambil terangguk angguk dan menatap tajam ke jalanan. Raka juga suka kubawa berjalan-jalan sekeliling kompleks. Dia bertengger di bahu atau lenganku, kadang-kadang sambil mematuk telingaku.
Raka tidak rewel. Bila bertengger di bahu atau lenganku, dia suka mematuk-matuk kepala dan telingaku. Hanya suara kucing dan suara sepeda motor yang meraung keterlaluan yang akan membuatnya panik. Bila panik, cakarnya akan mencengkeram lengan atau bahuku, bulu di lehernya akan mengembang, dan sayapnya di kembangkan...seolah-olah dia siap bertarung.
Lengan panjang, topi dan kaca mata hitam menjadi atribut bila hendak mengajak Raka berjalan-jalan. Lengan panjang dan topi untuk melindungi kulit dan kulit kepala. Kaca mata hitam melindungi bola mataku dari patukan Raka. Raka akan beraksi cepat terhadap sesuatu yang bergerak tiba-tiba, termasuk bola mata!
Tempo-tempo, dia bermain di teras. Melompat kesana kemari. Induk-induk ayam yang berkeliaran di halaman menjerit-jerit dan pontang panting, sementara Raka tenang-tenang saja. Mungkin juga dia bingung, mengapa ayam-ayam goblok itu rese dan ribut sekali. Raka anak baik dan manis ...hehehee....
Hampir 8 minggu kondisi ini berlangsung. Tiba-tiba, Raka ngambek lagi gak mau makan. Kepalanya kutepuk halus, aku suapin...dia malah memalingkan kepala...cueekkkk boooo....
Waaaa...masalah lagi neh...Aku diomelin-omelin lagi sama si bos. Itu!!! katanya...binatang endemik yang mestinya hidup di alam dibawa-bawa pulang! Memangnya itu kelinci! Awas kalo sampai mati....
Baaahhh...bisanya ngomel mulu!
Tapi, sebenarnya tidak cuma ngomel juga....katanya, sudah saatnya Raka makan makanan yang hidup, sudah saatnya di diajari berburu dan membunuh. Maksudnya?...anak ayam hidup untuk diburu dan dibunuh oleh Raka....ckckcckk....
Mengajari Raka Berburu dan Membunuh
Seorang kawan yang baik hati memberiku beberapa ekor anak ayam. Belum lama menetas dan gemuk-gemuk. Aku bawa pulang untuk Raka. Anak-anak ayam itu kudekatkan di hadapan Raka. Raka memiringkan kepala ke kanan dan melompat ke arah lain. Anak-anak ayam itu juga cuek aja, tidak merasa takut, mungkin belum diajarin sama induknya bahwa Raka adalah (atau akan menjadi) predator mereka.
So?....gak jadi makan neh?....
Jadi dong!! kata para sahabatku...biarkan saja anak-anak ayam itu berada di sekitar Raka. Nanti, bila Raka sudah lapar, dia dengan nalurinya akan memburu dan menyantap ayam-ayam kecil itu.
Ooooo....jadi anak-anak ayam itu dibiarkan ”menjalin persabahatan” dengan Raka, dan suatu ketika mereka akan dimangsa. Hmmm...strategy ini sepertinya tidak asing kedengarannya ;-((
2 hari anak-anak ayam itu berada di sekitar Raka. Entah mereka sudah menjalin persahabatan atau belum, yang jelas sepulang kantor aku mendapati tulang belulang kecil dan bulu-bulu kuning bertebaran di kamar dan sunyi tak ada suara cicit-cicit anak ayam. Yang ada hanya Raka bertengger di atas partisi. Hmmm...rupanya sesi perburuan pertama Raka sudah selesai.
Sekarang Raka sudah bisa berburu. Bila dia bermain di halaman, maka buruannya adalah para tikus-tikus yang suka seenaknya melenggang di atas tembok pagar. Sekarang kita aman dari tikus, begitu kata Ibu Kos. Yang mengkhawatirkan adalah ayam-ayam milik tetangga. Aku memang sengaja menyediakan ayam hidup untuk diburu Raka, tapi Raka mana tahu ayam mana yang boleh di buru dan yang mana yang tidak boleh di buru.
Dia hanya makan 2 atau 3 hari sekali. Dan, saat anak-anak ayam tidak lagi memenuhi standard menunya, ayam-ayam dewasa yang berkeliaran dihalaman kompleks kos menjadi incarannya. Mengganti ayam tetangga yang di mangsa Raka bukan soal baru lagi.
Tapi, Raka juga tidak maruk. Sejak dia mulai suka berburu ayam dewasa, waktu makannya berubah menjadi sekitar 5 sampai 7 hari berselang. Jelas koq tanda-tandanya bila dia sudah kenyang karena berhasil memangsa ayam tetangga (atau tikus), anak-anak ayam yang berkeliaran di sekelilingnya akan dibiarkan...dicuekin...coolllll......
Hari libur weekend biasanya adalah hari menonton Raka berolahraga. Raka masih belum bisa terbang, namun sudah bisa melompat dari pohon ke tembok pagar. Berburu merupakan saat yang menyenangkan buat Raka, dia akan menukik dari pagar atau pohon. Aku menyebut itu sesi olahraga buat Raka. Lepas sesi olahraga, sesi makan bagi Raka pun di mulai.
Suatu petang Raka menghilang. Aku panik. Bagaimana bila dia memangsa ayam tetangga lagi dan ditembak?...waduuuhhh....masalah besar neh...
Belum habis panikku, pintu digedor lantang. Di depan ada anak laki-laki kecil usia 9 tahunan, anak tetangga, menggendong Raka.
”Mama Raka, ini Raka tadi terbang dan tabrak tembok rumahku. Bapa’ bilang kase kembali Raka sama mama Raka dan suruh periksa sayapnya”
”Oh...bilang terima kasih sama Bapa’ ya...sbentar sayapnya di periksa...terimakasih ya”
Waaaaa.....Raka tabrak tembok tetangga! Sayap patah! Masalah besar....
Kalo sayapnya patah bagaimana bisa belajar terbang?
Kalo tidak bisa terbang bagaimana bisa kembali ke TNLL?
Waaaa....S.O.S ke beberapa kawan.....please, bro...kesini dulu lihat ini Raka.
Tadi tabrak tembok tetangga dan mungkin sayapnya luka.
Sayapnya tidak patah, kata kawanku, tapi sekarang sudah masuk saatnya untuk mengajari Raka terbang.
Waaaahhh.....apalagi neh....mengajari Raka terbang....
.....masa bersenang-senang sudah akan berakhir pikirku.
------------------------------------------------------------------------------------------
(catatan ini adalah catatan selama hampir 9 bulan bersama Raka sebelum terbang tinggi di langit TNLL)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H