"Kenapa?" tanya Ario kemudian. Aku juga menanyakan hal yang sama pada Resti bersamaan dengan suamiku.
"Aku juga nggak akan berangkat misa jumat pertama." Kali ini suara Resti semakin keras bercampur marah. Hey, kenapa dengan putriku itu? Tidak biasanya ia berkeras untuk  tidak ikut misa. Sejak kecil kami sudah membiasakan dia untuk mengikuti setiap misa. Dan ia terlihat nyaman dengan kegiatan kami itu. Namun kenapa kini...?
"Jangan gitu Res. Kamu kenapa sih? Nanti ibumu marah lho. Kamu kan tahu ibumu nggak pernah absen misa jumat pertama. Nanti dia..."
"Ayah! Hentikan!" Resti  mulai menangis. Ia lalu bangkit berdiri. Buku  yang tadi didekapnya ke dadanya dilemparnya ke lantai. Wajahnya memerah. Air matanya mulai menggenang. Aku semakin cemas. Kulihat Ario juga terlihat heran.  Raut wajahnya penuh tanya namun juga bercampur kesal.
"Resti? Kenapa kamu...?
"Sampai kapan ayah mau seperti ini terus?" jerit Resti memotong kata-kata ayahnya. Aku berusaha meraih bahu putriku itu untuk menenangkannya. Tapi ia sama sekali tak terpengaruh dengan sentuhanku.
"Resti, jaga nada bicaramu pada ayahmu!" Aku mengingatkan. Sungguh aku tidak suka sikapnya yang kurang sopan pada ayahnya sendiri. Namun Resti sama sekali tidak mempedulikan ucapanku. Ia masih menatap ayahnya dengan pandangan sedih dan marah bercampur jadi satu.
"Kamu ini kenapa Res? Ayah hanya suruh kamu siap-siap. Kita akan misa jumat pertama. Ibumu bisa marah kalau melihatmu seperti ini." Suara Ario semakin meninggi. "Ayo cepat bersiap. Kamu makin menghabiskan waktu kita..."
"Kita sudah lama tidak misa jumat pertama lagi, Ayah!" jerit Resti lagi disambung dengan isakan tangisnya. Ario menatapnya tajam.
"Kamu ini gimana sih Res. Bukankah misa jumat pertama minggu lalu kita berangkat?"
"Tidak ayah. Terakhir kali kita misa jumat pertama tahun lalu!" Resti makin mengeraskan suaranya. Ario mengerutkan keningnya tak percaya.