"Aku masih mau lanjutin baca ini, Ayah. Lagian ngapain ke gereja...?"
"Kok kamu jadi bandel gini sih, Res? Baca bukunya nanti setelah pulang dari gereja kan bisa. Ayo cepat! Kamu menghabiskan waktu dengan malas-malasan gini." Ario mulai mengomel.
"Tapi Ayah..."
 "Res, menurutmu kemeja biru ayah ini masih cocok kan?  Ayah ingin kembaran sama ibumu. Kamu ingat kan gaun biru yang biasa dipakai ibumu yang sepasang dengan kemeja ini? Ibumu cantik sekali kalau mengenakan gaun itu."  Ario tak menanggapi protes Resti. Aku tersenyum. Teringat ekspresinya dulu waktu melihatku mengenakan gaun yang sepasang dengan kemejanya itu. Katanya aku sangat cantik dan terlihat muda. Aku melempar pandanganku ke kamar. Gaun biru mudaku masih kusimpan di sana.
"Ayah, ngapain sih ngomongin gituan lagi!" protes Resti lagi. Ia tak mau menanggapi pembicaraan tentang kemeja biru ayahnya itu.
"Lho emang kenapa nggak boleh ngomongin itu?"
"Bosen!" tukas Resti sebal. Kini gantian Ario yang mengerucutkan mulutnya. Namun tiba-tiba ia lalu ingat sesuatu.
"Oya, Nanti kamu saja yang setir mobil. Ibumu lebih suka kalau kamu yang nyetir. Katanya ayahmu ini kalau nyetir ugal-ugalan...haha." Ario  tertawa sambil mengulurkan kunci mobil ke arah Resti. Putriku itu hanya memandangi kunci mobil itu sekilas lalu kembali menatap ayahnya. Wajahnya terlihat kesal karena pembicaraan ayahnya yang melompat-lompat. Tadi memintanya cepat bersiap, lalu menanyakan tentang kemeja, kini memintanya untuk menyetir...
"Ayah ini..."
"Oh iya ayah lupa Kamu belum mandi ya. Udah sana mandi dulu. Ibumu juga tidak suka kalau kita terlambat misa," potong Ario lalu tertawa lagi.
 "Ayah! Aku nggak  mau menyetir!" Tiba-tiba Resti menyela suara tawa ayahnya. Nada suara Resti terdengar tercekik.  Sepertinya ia sedang menahan tangis. Aku memandang wajah putriku itu dengan khawatir. Sepertinya ada yang meresahkannya.  Kudekati dia dan kucoba untuk mengelus kepalanya.