Mohon tunggu...
Tantrini Andang
Tantrini Andang Mohon Tunggu... Penulis - penulis cerpen dan buku fiksi

menulis itu melepaskan hal-hal yang biasa menjadi luar biasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Selendang Ningratri

26 September 2020   13:23 Diperbarui: 26 September 2020   13:43 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 "Itu hanya katanya lho. Kamu nggak perlu terlalu memikirkannya. Tugasmu hanya memperbaiki bagian lukisan yang rusak. Itu saja." Om Seno mengakhiri ceritanya.

*****

            Sudah lewat dua  jam aku berkutat di kamar untuk memperbaiki lukisan kakek buyutku. Kupoles ulang bagian-bagian lukisan yang rusak. Tidak mudah untuk mengikuti gaya lukis kakek buyutku itu. Tampak sekali bahwa beliau memoles lukisan itu berlapis-lapis. Aku harus berusaha keras agar lukisan itu kembali semirip aslinya.

Hingga menjelang petang, aku memutuskan untuk beristirahat sebentar. Tinggal beberapa bagian lagi yang perlu kubereskan. Kubaringkan tubuhku di lantai yang dingin lalu mulai memejamkan mata. Seluruh tubuhku mulai merasa rileks setelah beberapa saat dalam posisi seperti itu.

Sepertinya baru saja aku tertidur saat tiba-tiba terdengar  suara sesuatu yang jatuh. Aku segera terbangun dari posisi berbaring lalu duduk di lantai. Kupandangi sekeliling. Tak ada benda apa pun yang berubah. Semua masih pada tempatnya semula.

Lalu kuarahkan pandanganku pada lukisan kakek buyut yang kusandarkan di dinding. Aku mengerutkan keningku. Mengapa cahaya bulan di lukisan itu tidak lagi bersinar? Lalu mengapa mata bening Ningratri tidak lagi berkilau? Warna-warna dalam lukisan itu seakan meredup. Tak ada  lagi  aura yang hidup saat memandangnya.

            Perlahan aku berdiri. Kudekati lukisan itu lagi. Wajah Ningratri  memang masih terlihat ayu, namun aku tak lagi merasakan sesuatu yang menarikku pada pesonanya. Lukisan kakek buyutku itu kini terlihat biasa saja. Benar-benar datar. Tak ada yang istimewa. Oh...apakah aku telah melakukan kesalahan saat memoles ulang lukisan ini? Seketika aku dirambati rasa bersalah. Bagaimana kalau Om Seno kecewa dengan hasil kerjaku ini? Untuk beberapa saat  aku masih memandangi lukisan itu sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

            Belum selesai aku terheran-heran, sebuah suara kembali terdengar keras. Itu seperti suara pegangan pintu yang dibuka. Asalnya dari ruang depan. Aku segera melangkah keluar kamar. Sesaat sebelum pintu ruang depan itu  tertutup kembali, sayup-sayup aku mendengar suara gamelan dari arah luar. Siapa yang menyetel gamelan petang hari begini?

Lalu...

Deg!

Dadaku berdetak kencang. Sekelebat kain selendang berwarna hijau sempat berkibar sebelum pintu itu benar-benar tertutup. Aku berlari ke arah pintu itu dan segera membukanya kembali. Tak kulihat apa-apa di luar. Hanya cahaya bulan yang berkilau di langit  serta  suara gamelan  yang  perlahan mulai menjauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun