Mulutnya seakan ingin meneriakkan itu. Namun ia ingat Sonia. Ia tak akan rela membebani perempuan yang dicintainya itu dengan berbagai perkara.
Perasaannya bergolak hebat. Ia sangat mencintai perempuan itu. Bahkan ia tak pernah melupakannya sehari pun selama sepuluh tahun di dalam penjara. Mengapa hanya seperti ini akhirnya? Mengapa hanya penghinaan dan kekecewaan yang didapatnya?
"Pergi kamu! Ataua kulaporkan polisi agar kamu kenali ke penjara lagi?" Suami Sonia kembali mengancam.
Baskara menunduk lesu. Ia pun berbalik arah, melangkah gontai sambil membawa hati remuk berkeping-keping. Lelaki itu berusaha tegar untuk menahan perih dari luka di dadanya.Â
Lelaki yang sedang hancur itu tak tahu, tak akan pernah tahu bahwa dari balik korden pintu rumah nomor sebelas itu, Sonia mendesiskan namanya dengan hati tak kalah terlukanya,
"Baskara, maafkan aku. Aku terpaksa berpura-pura melupakanmu meskipun sesungguhnya aku tak pernah mampu. Aku harus belajar untuk sungguh-sungguh melupakanmu. Aku tak mungkin menyakiti hati suamiku.Â
Ia yang membuatku bangkit dari keterpurukanku. Ia juga yang telah mencintaiku dan mengikatku dalam sakramen suci. Kuharap kamu menemukan seseorang lain yang melebihi segalanya dariku. Biarlah kamu tetap tinggal dalam hatiku, namun tidak di hidupku."
Cerpen ini dimuat di Majalah Hidup no 33/ 16 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H