Di depan pintu rumah bernomor sebelas itu, Baskara berdiri mematung. Tatapannya tak lepas dari daun pintu yang tertutup itu.Â
Dihirupnya napas dalam-dalam, seolah kemaruk dengan udara yang kini berlimpah ruah di sekelilingnya. Setelah sepuluh tahun hidup dalam tembok tinggi yang terpisah dari dunia luar, kebebasan ini adalah sesuatu yang mahal baginya.
Pintu bernomor sebelas itu adalah tujuan pertamanya setelah sipir penjara membuka gerbang tinggi yang mengurungnya selama sepuluh tahun terakhir.Â
Seraut wajah lembut bermata telaga yang tak pernah berhenti menghiasi malam-malamnya saat di penjara kini semakin jelas terbayang di pelupuk matanya.Â
Adakah pemilik mata telaga itu masih mengingatnya? Hari-hari lampau yang mereka lalui bersama? Serta semua pengorbanannya?
***
Sepuluh tahun lalu...
"Kemarikan pisau itu! Cepat berikan padaku!" seru Baskara pada Sonia, perempuan yang sangat dikasihinya itu.Â
Sonia mengkerut ketakutan dan gemetaran. Matanya membelalak dengan air mata yang mengalir deras. Bibirnya bergetar, rambutnya kusut masai dan pakaiannya berantakan serta robek di beberapa bagian, menampakkan sebagian tubuhnya yang paling rahasia.Â
Perempuan itu menggenggam sebilah pisau yang bahkan kilaunya tak lagi nampak karena telah berlumuran darah.
Di depan Sonia, sesosok lelaki dengan mulut berbau alkohol mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya yang terluka parah. Baskara tak kalah gemetarnya dengan Sonia. Ia sangat mengenal lelaki yang terluka parah itu. Lelaki itu yang seharusnya melindungi Sonia.Â