"Saya yakin mereka akan datang Pak. Dan tolong jangan bicara tentang  kematian.  Selamat istirahat Pak Hans." Asri menepuk tangan lelaki tua itu dengan sabar. Sebelum keluar kamar, gadis itu menarik korden hingga menutup bulan bundar di luar jendela. Hans melemparkan pandangannya ke sudut kamar. Lelaki muda yang menjengkelkan itu sudah menghilang.  Lalu perlahan ia mengatupkan matanya.
Pagi berikutnya, Hans kembali memandang keluar jendela. Ia berharap ketiga anaknya  yang lama dirindukannya itu muncul dari jalan depan gedung panti ini.  Lalu ia akan mendengarkan mereka bercerita tentang keseharian masing-masing, tentang karir yang bagus, kehidupan yang layak, dan hal-hal lain yang menyenangkan. Ia tahu mereka telah bahagia dan sukses. Seulas senyum pun mengembang di bibir lelaki tua itu.
Semasa mudanya,  uang menjadi hal yang mudah ia berikan pada ketiga anaknya. Bahkan ia juga mengira uang bisa membeli kebersamaan mereka. Ia  sangat sibuk mengumpulkan uang hingga lupa bahwa ketiga anaknya membutuhkan keberadaannya. Ia terlambat menyadari itu saat  ketiga anaknya mulai menjauh. Tembok tinggi pun terbangun menjadi sekat yang sulit ditembus. Ketiga buah hatinya kehilangan rasa rindu padanya. Saat tiba mereka dewasa dan sukses, mereka mulai asyik dengan dunia mereka masing-masing. Sama persis seperti yang ia lakukan di masa muda dulu.
Ada rasa perih yang menyayat saat mengingat  kesendiriannya kini. Istrinya  telah lebih dulu berpamit untuk pulang kepada Penciptanya. Sementara ia masih harus menjalani sisa waktunya untuk mengenang segalanya sendirian. Saat ini ia hanya bisa  berharap  ketiga anaknya datang menjenguknya. Delapan belas purnama telah berlalu sejak mereka mengantarnya ke panti ini. Tak ada satu pun dari ketiga anaknya mengunjunginya kembali.
"Waktumu dua hari lagi." Tiba-tiba lelaki muda tampan itu muncul. Wajah tampannya jadi terlihat menyebalkan.
"Aku tahu," sahut Hans dengan kesal.
"Kamu masih belum percaya dengan ucapanku? Jangan terlalu tolol. Mereka sudah tak punya waktu mengurusi lelaki jompo sepertimu."
"Pergilah! Biarkan kuhabiskan waktuku sendirian!" teriak Hans lagi. Lelaki muda berwajah bersih itu mencibir.
"Perawatmu itu justru lebih setia padamu daripada anak-anakmu sendiri", katanya.
 "Pergilah! Kalau kau tak segera pergi, aku akan minta perpanjangan waktu lagi. Dan kau tak akan segera menyelesaikan tugasmu." Hans berseru lagi.
"Kau mengancamku Pak Tua? Kau pikir kau ini siapa?. Tidakkah kau paham bahwa selama ini aku hanya kasihan padamu?" Lelaki muda itu meninggikan nada suaranya lagi.