"Aku sudah tahu kepada siapa warisanku akan kuserahkan." Hans menoleh pada Asri sambil tersenyum. "Asri yang akan menerimanya," lanjutnya. Asri terperanjat. Lelaki berjas hitam itu pun terbelalak heran.
 "Apakah Anda sudah memikirkannya baik-baik? Ingat, Anda punya tiga orang putra yang lebih berhak atas warisan Anda Pak." Lelaki berjas hitam itu mengingatkan.
"Aku tahu  siapa yang lebih pantas," jawab Hans mantap.  Akhirnya lelaki berjas hitam itu pun menuruti seluruh permintaan lelaki tua itu. Seluruh harta milik Hans  akan menjadi milik Asri, perawat setia yang peduli pada lelaki itu.
Lalu setelah semua dokumen selesai ditandatangani, Hans menoleh pada lelaki muda yang berdiri di sebelahnya, sosok lelaki muda berwajah bersih yang tak terlihat siapapun selain dirinya.
"Lakukan sekarang," kata Hans pasrah.
"Baik Pak Tua. Kita pergi sekarang." Lelaki muda tampan itu mengulurkan tangannya. Hans menyambutnya. Lalu mereka pun berjalan beriringan meninggalkan kamar itu.
Beberapa menit kemudian Asri  terisak sedih. Hans terkulai  di atas kursi rodanya. Matanya tertutup, dadanya berhenti berdetak, namun wajahnya terlihat bahagia.  Tiga hari setelah purnama ke delapan belas, lelaki muda berwajah bersih, sang malaikat penjemput nyawa itu  akhirnya selesai menjalankan tugasnya.
*dimuat dalam Antologi Cerpen Dari Mijil ke Kali Progo, Digna Pustaka Jogya, 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H