“Mie pangsit satu, Pak.” Terdengar suara dari arah belakangku. Suara itu sangat kukenal. Jantungku berdebur keras. Hampir saja mangkok yang sedang kupegang terlepas. Kulihat sosok tubuh tegap itu duduk di kursi favoritnya, di dekat meja racik bapak.
Twing!
Ternyata pemilik suara itu juga sedang melirikku. Ia melempar senyum padaku. Manis banget! Wajahku langsung memanas.
Kucluk!
Aku mengumpat-umpat dalam hati. Lalu kulanjutkan lagi pekerjaanku melap mangkok sambil mengatur suara dag dug di dadaku. Duh noraknya! Kenapa sih dia selalu membuatku jadi blingsatan kayak monyet kena sumpit gini?
Cowok berbadan tegap itu memang akhir-akhir ini rajin datang ke warung mie pangsit bapak. Penampilannya selalu keren dan wangi. Wajahnya yang bersih dan senyumnya yang manis mengingatkanku pada Ello, vokalis idolaku yang ganteng itu.
“Baik mas, minumnya apa ya?” jawab bapak pada si ganteng.
“Teh manis hangat ya Pak,” jawab cowok itu lagi. Bapak menganggukkan kepala dan segera menyiapkan mie pesanannya. Perlahan kutolehkan lagi kepalaku ke arah cowok itu. Yap! Si ganteng itu tersenyum lagi, makin manis. Duh malunya aku! Pipiku pun terbakar lagi. Kata bapak kalau sedang tersipu seperti itu, pipiku akan berubah warna menjadi merah jambu. Wah, pasti si Ello KW1 itu melihatnya!
Buru-buru kubereskan mangkok-mangkok mie yang sedang kulap dengan serbet. Masih dengan tangan gemetar, aku mengangkat tumpukan mangkok ke meja racik bapak. Untunglah tak ada yang merosot jatuh dan pecah gara-gara aku tak bisa menghentikan getaran tanganku ini.
“Siapkan teh buat mas yang itu Sri,” kata bapak sambil menunjuk pada si ganteng. Waduh? Nyiapin teh buat dia? Wah, bapak mau menyiksaku rupanya!
“Eh…tapi masih ada cucian mangkok yang belum selesai, Pak.” Aku berusaha membuat alasan.