Mohon tunggu...
Tantrini Andang
Tantrini Andang Mohon Tunggu... Penulis - penulis cerpen dan buku fiksi

menulis itu melepaskan hal-hal yang biasa menjadi luar biasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan itu Bernama Erika

18 April 2017   18:06 Diperbarui: 19 April 2017   17:45 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang merangkak menuju senja. Setelah membuat tanda salib penutup doa untuk arwah ayah yang baru saja dimakamkan dua minggu lalu, aku melangkah meninggalkan pemakaman menuju mobilku. Kususuri jalanan menuju sebuah desa. Di jok kursi sebelahku tergeletak sebuah novel. Pada bagian sampulnya tertulis nama ayah sebagai penulisnya. Buku itu baru saja terbit satu bulan sebelum ayah meninggal. Dalam keadaan lemah ayah berpesan padaku untuk memberikan satu buku novel itu kepada seseorang.

Aku tak tahu banyak tentang masa lalu ayah dan ibu. Yang jelas selama ini keluarga kami baik-baik saja. Ayah dan ibu jarang bertengkar. Menurutku mereka adalah pasangan yang harmonis. Ayah tampan dan gagah, sementara ibu adalah perempuan lembut yang cantik. Aku bangga pada mereka.

Lalu siapakah seseorang yang menghiasi halaman persembahan novel ayah ini? Mengapa ia begitu istimewa bagi ayah? Seorang perempuan bernama Erika itu juga lah yang menjadi penyebab dinginnya hubungan ayah dan ibu dua tahun terakhir ini. Sesuatu yang tak pernah kubayangkan bisa terjadi pada keluargaku yang semula baik-baik saja.

Semua berawal dari PHK besar-besaran yang dialami ayah di tempat kerjanya. Ayah putus asa  karena kesulitan mencari pekerjaan baru. Meskipun bisnis katering yang dijalani ibu cukup untuk membiayai kebutuhan hidup kami bertiga, namun ayah tetap merasa bahwa semestinya tanggung jawab keluarga ada di pundaknya.

Malam itu entah setan dari mana yang membuat ayah pulang dalam keadaan mabuk. Saat dalam keadaan hilang kesadaraan itulah terungkap semua isi hati ayah. Tentang perasaannya yang lama tersimpan untuk seseorang. Dari ocehan ayah malam itu aku mulai mengerti bahwa ayah dan ibu menikah bukan dilandasi cinta. Meskipun dalam perjalanan perkawinan akhirnya ibu berhasil mencintai ayah, namun ternyata tidak demikian dengan ayah. Ayah masih tetap mencintai perempuan yang bernama Erika, nama  yang disebutnya saat dalam keadaan tidak  sadar.

Malam itu aku melihat ibu menangis di kamar. Kekecewaan menggores begitu dalam di hati perempuan itu. Pengabdiannya selama puluhan tahun kepada ayah ternyata tak membuat lelaki itu tulus mencintainya. Semua perhatian dan kebaikan yang ayah lakukan adalah karena tanggung jawabnya sebagai suami dan kepala keluarga. Cintanya hanya untuk seorang perempuan bernama Erika.

Lalu perkawinan ayah dan ibu semakin mendingin. Ibu  hanya melakukan kewajibannya seperti robot. Sementara ayah yang merasa bersalah semakin canggung berhadapan dengan ibu. Mereka pun saling mendiamkan. Aku yang sedih tak mampu berbuat apa-apa.

Lalu ayah mengisi waktunya dengan menulis. Beberapa tulisannya menembus media lokal maupun nasional. Yang terakhir adalah sebuah novel yang diselesaikannya dalam waktu setahun. Saat penulisan novel ini, aku sering  melihat ayah menangis. Belakangan aku tahu bahwa novel itu adalah kisah pribadi ayah sendiri.

Hingga suatu saat ayah jatuh sakit, ada secercah sinar di mata ayah saat novel pertamanya terbit.

“Berikan satu novel ini padanya.” Ayah menyerahkan sebuah buku novel karyanya. “Aku ingin dia tidak lagi terbebani dengan rasa bersalah. Katakan bahwa ayah tetap bangga padanya,”  Selembar kertas kecil bertuliskan alamat di sebuah desa menjadi bekalku untuk mencari perempuan itu.

Dan senja ini aku memacu mobilku menyusuri jalan panjang di  sebuah desa kecil tempat alamat itu berada. Kuharap sebelum malam aku sudah sampai kesana.

Aku berhenti  di sebuah bangunan sederhana  di ujung desa. Sebuah papan nama bertuliskan nama panti asuhan terpasang di bagian depan  halaman yang luas. Beberapa remaja  sedang membersihkan halaman depan bangunan itu. Segera aku turun dari mobil dan menganggukkan kepalaku pada mereka. Aku pun menanyakan tentang keberadaan perempuan bernama Erika itu pada salah satu dari remaja itu.

"Maksud mbak, Suster Erika? Mari saya antar.” jawab remaja itu. Lalu menunjuk pada bangunan sederhana itu. Aku tercekat. Suster? Erika adalah seorang suster?

Aku mengikutinya menuju bangunan  yang dimaksud. Langkahku terhenti pada sebuah ruang yang bertuliskan “Kepala Panti” Remaja itu mempersilakan  aku duduk di sebuah kursi di beranda. Aku mulai mengerti bahwa suster Erika ternyata adalah kepala panti asuhan ini.

“Selamat sore..” Seorang perempuan berjubah putih dan berkerudung putih menyapaku. Ia tidak cantik, namun senyumnya sangat menawan. Selain itu, kaca mata yang menghiasi wajah tirusnya itu tidak menyembunyikan sepasang mata yang menatap lembut namun penuh dengan kharisma.  Sejenak aku terpaku menatap suster  yang terlihat anggun itu. Kuanggukkan kepalaku dan menyalaminya sambil menyebut namaku.

Setelah tahu siapa aku dan maksud kedatanganku, Suster Erika hampir tidak mampu menyembunyikan rasa harunya. Dengan tangan gemetar ia menerima buku novel yang kubawa khusus untuknya. Sesaat Suster Erika memejamkan matanya. Sepertinya ia mengucap doa, sekaligus berusaha menenangkan dirinya. Lalu dari bibirnya mengalirlah cerita tentang hubungannya dengan ayah di masa lalu.

"Kami bersahabat sejak kecil.  Tak ada satu hari pun yang kulewati tanpa ayahmu. Hingga kami beranjak remaja aku tak tahu bahwa ada perasaan lain yang tumbuh di hati ayahmu terhadapku, perasaan sayang lebih dari pada sekedar sahabat.” Suster Erika  berhenti sebentar, menghela nafas untuk melanjutkan lagi ceritanya.

“Semuanya terbuka saat aku mengatakan keinginanku untuk menjadi pelayan Tuhan pada ayahmu. Dia kaget dan menyatakan ketidak setujuannya. Saat itu ia tidak mengatakan alasannya mengapa. Namun aku sangat marah karena kupikir sebagai sahabat semestinya ia mendorong keinginan baikku. Kami sempat bertengkar hebat tentang itu. Beberapa bulan kami tidak bertegur sapa karena keinginanku tidak lagi mampu kubendung. Aku nekad meninggalkan dia untuk mengikuti pendidikan novisiat di kota lain. Saat itu aku baru tahu kalau ayahmu begitu kecewa dan patah hati. Aku menyesal telah melukainya begitu dalam. Ayahmu sudah seperti saudara bagiku. Ia sudah lama menjadi bagian dari hidupku, meskipun  aku tak mampu memenuhi harapannya. Aku merasa sangat bersalah. Namun aku tak mampu berbuat apa-apa.” Suster Erika berhenti lagi, melepas kaca matanya, lalu mengusap air bening yang menggulir dari sana. Aku menghela nafas, serasa ikut merasakan sesak di dada perempuan berkerudung itu.

“Terakhir kudengar kabar ayahmu telah menikah. Aku bersyukur dengan itu. Aku selalu berharap ayahmu berbahagia bersama keluarganya,  meskipun dalam hati aku tidak bisa menyingkirkan rasa bersalah padanya.”

“Ayah telah memahami semuanya Suster. Jangan lagi rasa bersalah menjadi beban Suster. Ayah sangat bangga pada Suster. Demikian pesan ayah sebelum meninggal.” ucapku, Kulihat mata Suster Erika semakin membasah. Ia menganggukkan kepalanya mengucap terima kasih. Dielusnya novel karya ayah yang ada di pangkuannya.

“Antar aku ke makam ayahmu ya.” katanya kemudian. Aku menganggukkan kepalaku sambil tersenyum.

“Tentu Suster”.

Langit terlihat semakin abu-abu menuju gelap. Namun aku yakin hati Suster Erika tak segelap langit itu. Seperti harapan setiap insan bahwa esok akan ada mentari yang akan membuat langit membiru kembali.

(cerpen ini dimuat di majalah Hidup edisi 13/2017)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun