Aku berhenti di sebuah bangunan sederhana di ujung desa. Sebuah papan nama bertuliskan nama panti asuhan terpasang di bagian depan halaman yang luas. Beberapa remaja sedang membersihkan halaman depan bangunan itu. Segera aku turun dari mobil dan menganggukkan kepalaku pada mereka. Aku pun menanyakan tentang keberadaan perempuan bernama Erika itu pada salah satu dari remaja itu.
"Maksud mbak, Suster Erika? Mari saya antar.” jawab remaja itu. Lalu menunjuk pada bangunan sederhana itu. Aku tercekat. Suster? Erika adalah seorang suster?
Aku mengikutinya menuju bangunan yang dimaksud. Langkahku terhenti pada sebuah ruang yang bertuliskan “Kepala Panti” Remaja itu mempersilakan aku duduk di sebuah kursi di beranda. Aku mulai mengerti bahwa suster Erika ternyata adalah kepala panti asuhan ini.
“Selamat sore..” Seorang perempuan berjubah putih dan berkerudung putih menyapaku. Ia tidak cantik, namun senyumnya sangat menawan. Selain itu, kaca mata yang menghiasi wajah tirusnya itu tidak menyembunyikan sepasang mata yang menatap lembut namun penuh dengan kharisma. Sejenak aku terpaku menatap suster yang terlihat anggun itu. Kuanggukkan kepalaku dan menyalaminya sambil menyebut namaku.
Setelah tahu siapa aku dan maksud kedatanganku, Suster Erika hampir tidak mampu menyembunyikan rasa harunya. Dengan tangan gemetar ia menerima buku novel yang kubawa khusus untuknya. Sesaat Suster Erika memejamkan matanya. Sepertinya ia mengucap doa, sekaligus berusaha menenangkan dirinya. Lalu dari bibirnya mengalirlah cerita tentang hubungannya dengan ayah di masa lalu.
"Kami bersahabat sejak kecil. Tak ada satu hari pun yang kulewati tanpa ayahmu. Hingga kami beranjak remaja aku tak tahu bahwa ada perasaan lain yang tumbuh di hati ayahmu terhadapku, perasaan sayang lebih dari pada sekedar sahabat.” Suster Erika berhenti sebentar, menghela nafas untuk melanjutkan lagi ceritanya.
“Semuanya terbuka saat aku mengatakan keinginanku untuk menjadi pelayan Tuhan pada ayahmu. Dia kaget dan menyatakan ketidak setujuannya. Saat itu ia tidak mengatakan alasannya mengapa. Namun aku sangat marah karena kupikir sebagai sahabat semestinya ia mendorong keinginan baikku. Kami sempat bertengkar hebat tentang itu. Beberapa bulan kami tidak bertegur sapa karena keinginanku tidak lagi mampu kubendung. Aku nekad meninggalkan dia untuk mengikuti pendidikan novisiat di kota lain. Saat itu aku baru tahu kalau ayahmu begitu kecewa dan patah hati. Aku menyesal telah melukainya begitu dalam. Ayahmu sudah seperti saudara bagiku. Ia sudah lama menjadi bagian dari hidupku, meskipun aku tak mampu memenuhi harapannya. Aku merasa sangat bersalah. Namun aku tak mampu berbuat apa-apa.” Suster Erika berhenti lagi, melepas kaca matanya, lalu mengusap air bening yang menggulir dari sana. Aku menghela nafas, serasa ikut merasakan sesak di dada perempuan berkerudung itu.
“Terakhir kudengar kabar ayahmu telah menikah. Aku bersyukur dengan itu. Aku selalu berharap ayahmu berbahagia bersama keluarganya, meskipun dalam hati aku tidak bisa menyingkirkan rasa bersalah padanya.”
“Ayah telah memahami semuanya Suster. Jangan lagi rasa bersalah menjadi beban Suster. Ayah sangat bangga pada Suster. Demikian pesan ayah sebelum meninggal.” ucapku, Kulihat mata Suster Erika semakin membasah. Ia menganggukkan kepalanya mengucap terima kasih. Dielusnya novel karya ayah yang ada di pangkuannya.
“Antar aku ke makam ayahmu ya.” katanya kemudian. Aku menganggukkan kepalaku sambil tersenyum.
“Tentu Suster”.