“Lama kelamaan tradisi membuatku muak. Penghambat modernitas. Bagaimana mungkin di tengah kemajuan teknologi seperti saat ini tradisi masih mengontrol kehidupan kita.?” Emosiku memuncak kembali.
Dia memandangku tajam.
“Bagi keluarga keturunan Arab, marwah adalah bagian penting dari tradisi kami. Diatas itu semua, bagi setiap muslim titah ibu adalah segalanya.”
Pekan-pekan selanjutnya kami seolah pesawat yang mengalami turbulensi. Saling mencintai menjadikan kami anomali dari tradisi yang melingkupi dan membesarkan kami. Kami gelisah. Ingin memberontak namun sekaligus tak ingin tercerabut.
Berulangkali Fawwaz melontarkan keinginannya untuk kabur. Lenyap meninggalkan keluarganya. Melepaskan beasiswa sekaligus ikatan dinas yang ia peroleh. Namun tak sekalipun ia memiliki keberanian untuk melakukannya.
Fawwaz tetap pulang ke Jakarta, ke rumahnya. Akarnya. Sesekali kami saling bertelepon. Namun tak ada yang berani mengutarakan kerinduan. Dinding diantara kami memang tinggi namun serapuh porselin cina. Sekali saja kami mengetuknya dengan ucapan rindu maka runtuhlah segala kendali diri yang kami miliki .
“Apakah gadis itu menerima pinanganmu? Apakah keluarg Haddad akhirnya berhasil memilikinya?” tanyaku di telepon suatu malam. Dari seberang, Fawwaz mengiyakan. Perutku terasa mual. Kututup sambungan telepon dengan tergesa. Berlari ke kamar mandi memuntahkan isinya.
Lalu kami kehilangan kontak. Bertahun-tahun kemudian. Hingga kudapatkan emailnya dari salah seorang kenalan kami dahulu. Aku akan pameran di Jakarta, bisakah kita bertemu. Tulisku dalam email. Fawwaz mengiyakan. Jadi, disinilah kami siang ini.
Telepon genggam Fawwaz berbunyi, ia mengangkatnya. Aku menunduk berlagak sibuk berusaha tak mencuri dengar.
“Najma dan anak-anak akan menyusul kemari,”katanya kemudian.
Aku mengangguk.