Mohon tunggu...
Tyasworo Prasetyowati
Tyasworo Prasetyowati Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

proud being a part of sastra instan :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rahasia Kecil

21 April 2012   07:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:19 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Lama kelamaan tradisi membuatku muak. Penghambat modernitas. Bagaimana mungkin di tengah kemajuan teknologi seperti saat ini tradisi masih mengontrol kehidupan kita.?” Emosiku memuncak kembali.

Dia memandangku tajam.

“Bagi keluarga keturunan Arab, marwah adalah bagian penting dari tradisi kami. Diatas itu semua, bagi setiap muslim titah ibu adalah segalanya.”

Pekan-pekan selanjutnya kami seolah pesawat yang mengalami turbulensi. Saling mencintai menjadikan kami anomali dari tradisi yang melingkupi dan membesarkan kami. Kami gelisah. Ingin memberontak namun sekaligus tak ingin tercerabut.

Berulangkali Fawwaz melontarkan keinginannya untuk kabur. Lenyap meninggalkan keluarganya. Melepaskan beasiswa sekaligus ikatan dinas yang ia peroleh. Namun tak sekalipun ia memiliki keberanian untuk melakukannya.

Fawwaz tetap pulang ke Jakarta, ke rumahnya. Akarnya. Sesekali kami saling bertelepon. Namun tak ada yang berani mengutarakan kerinduan. Dinding diantara kami memang tinggi namun serapuh porselin cina. Sekali saja kami mengetuknya dengan ucapan rindu maka runtuhlah segala kendali diri yang kami miliki .

“Apakah gadis itu menerima pinanganmu? Apakah keluarg Haddad akhirnya berhasil memilikinya?” tanyaku di telepon suatu malam. Dari seberang, Fawwaz mengiyakan. Perutku terasa mual. Kututup sambungan telepon dengan tergesa. Berlari ke kamar mandi memuntahkan isinya.

Lalu kami kehilangan kontak. Bertahun-tahun kemudian. Hingga kudapatkan emailnya dari salah seorang kenalan kami dahulu. Aku akan pameran di Jakarta, bisakah kita bertemu. Tulisku dalam email. Fawwaz mengiyakan. Jadi, disinilah kami siang ini.

Telepon genggam Fawwaz berbunyi, ia mengangkatnya. Aku menunduk berlagak sibuk berusaha tak mencuri dengar.

“Najma dan anak-anak akan menyusul kemari,”katanya kemudian.

Aku mengangguk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun