Mohon tunggu...
Tyasworo Prasetyowati
Tyasworo Prasetyowati Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

proud being a part of sastra instan :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rahasia Kecil

21 April 2012   07:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:19 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku menatap wajah dihadapanku dengan seksama. Sudah belasan tahun kami tidak bertemu. Semua tentang raut wajahnya masih melekat erat di ingatanku. Bahkan setiap detil dari lekuk tubuhnya. Tentu saja aku merindukannya. Orang bilang, waktu memiliki ramuan rahasia yang mampu menyembuhkan perih yang timbul karena perpisahan. Namun untukku, waktu tak memiliki kuasa apapun. Jangankan untuk menyembuhkan menjadikannya lupa pun tak  mampu. Waktu telah kalah oleh keras kepalaku. Bersikeras terus mengingat semua yang semestinya telah lewat.

“Apakah kamu baik-baik saja?” tanyaku memecah keheningan setelah pelukan canggung pertemuan kami.

Alis di wajahnya terangkat sebelah. Kebiasaan lama yang sama. Dia hanya mengangguk-angguk dan entah kenapa tak mengeluarkan suara. Mungkin karena pertanyaanku tak cukup penting. Sosok tubuhnya yang lebih berisi, penampilan yang masih tetap rapi dan wangi juga garis senyum yang bertambah di sudut bibirnya. Menandai kehidupannya yang nyaman dan tenang. Ada secubit  perih di sudut hatiku yang tak rela.

“Aku tidak menyangka masih bisa bertemu kembali denganmu,” ujarnya meneguk botol air mineral yang isinya tinggal setengah. Tidak lagi secangkir kopi. Kebiasaan baru. Batinku begitu saja mencatat.

“Sudah setengah tua. Terlalu banyak kafein bisa membunuhku perlahan-lahan.” Tawanya berirama seolah bisa membaca pikiranku. “Anakku masih kecil-kecil aku harus hati-hati menjaga kesehatan.”

Ah, anak. Tentu saja. Sudah 11 tahun sejak kami bertangisan di apartemenku malam itu. Menangisi takdir yang memasangkan kami dengan begitu serasi lalu menceraikannya begitu saja. Kami tak seharusnya saling menyukai apalagi mencintai. Seolah pertemuan kami terjadi tanpa campur-tangan takdir. Pada perpisahan kami, ia seperti gadis muda yang berlagak pilon membiarkan kami berdua saling menyalahkan diri sendiri.

Aku melihatnya di pembukaan pameran lukisan. Matanya jeli mengamati setiap lukisanku yang terpajang. Berdiri bermenit-menit hingga setengah jam. Sesekali ia menoleh jika ada pengunjung lain yang mengajaknya bicara. Sekali dua aku hanya memandangnya di kejauhan. Pada pameran yang ketiga aku mendatanginya.

Dia cerdas. Jauh lebih cerdas dari kebanyakan pengunjung pameranku yang rela mengeluarkan ribuan dollar untuk membeli lukisanku. Ia mengenali lukisan-lukisanku dengan sangat baik. Tarikan kuas bahkan pulasan warna yang kupilih. Mudah ditebak, kami menjadi rekan diskusi yang hangat.

“Berapa jumlah anakmu sekarang?” tanyaku mengalihkan pikiran yang mulai berkelana menembus lorong-lorong waktu.

“Dua. Perempuan dan laki-laki.” Senyumnya merekah. Rona bangga terpancar dari raut wajahnya. Kebanggaan khas seorang Ayah.

“Anakmu yang laki-laki apakah juga menjalani Brit Milah?” tanyaku ngeri. Dia tergelak. Mungkin teringat peristiwa konyol  yang memalukan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun