Di lain waktu, saya bertemu ibu dengan dua orang anak. Satu yang besar agak pendiam, satunya aktif berceloteh riang. Si anak aktif ternyata keponakannya, yang baru pertama kali naik kereta. Pantas saja rautnya gembira tak terkira. “Selama ini cuma lihat dari jauh saja di perlintasan kereta,” tutur bibinya.
“Yang besar ini anak saya. Maunya tiap naik kereta pakai baju ini, dibelikan ayahnya,” ujarnya. Baju kuning bergambar bus lucu yang digemari anak-anak, tak secerah raut mukanya. “Nggak lama, ayahnya meninggal, Mbak.” Ah! Senyumku langsung memudar. Hatiku mencelos. Pantas saja ia begitu. Suasana kereta yang nyaman dan tenang memang melenakan untuk melihat rona lingkungan di luar jendela, atau itu sebuah pengalihan saja. Bocah itu sebenarnya sedang mengenang momen-momen bersama ayahnya. Commuter baginya tak sekedar alat berpindah. KAI Commuter adalah alat pembasuh rindu.
Penumpang KAI Commuter memang bervariasi. KAI Commuter mengantar penuntut ilmu dan pendulang nafkah yang berjubel di pagi dan sore hari. Di kala senggang, KAI Commuter tetap menjadi pilihan berbagai kalangan: pedagang yang kulak di pasar besar, orang-orang yang bertemu janji, atau keluarga yang hendak silaturahmi.
Sebuah bukti bahwa saya sering kehabisan tiket menunjukkan KAI Commuter adalah moda pilihan. Ular besi tak bisa ugal, tak ada kemacetan, menawarkan kenyamanan dan keamanan daripada berjibaku dengan asap kotor di jalanan. Lebih dari itu, KAI Commuter menawarkan berbagai kisah-kisah kemanusiaan yang mengasah empati, yang tidak didapat dari kereta jenis lain.
Ada kebaikan-kebaikan kecil yang tersirat. Seorang bapak yang menawarkan duduknya untuk ibu hamil, seorang gadis asing bercanda dengan bocah sementara ibunya sedang salat, atau anak kecil tak saling kenal yang berbagi makanan. Di dalam kereta yang murah, mudah, aman, dan nyaman, tersimpan segudang kisah yang melintasi waktu dan ruang. Semoga KAI Commuter tetap lestari melayani berbagai penumpang lintas generasi serta menjadi solusi transportasi publik, demi bumi dan untuk negeri.
Sumber:
Notosusanto, Nugroho. 1985. "Pertempuran Surabaya". Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
"Station Soerabaja Goebeng van de Staatsspoorwegen". 1935. KITLV, University Leiden.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H