Abstrak: Kebangkitan kembali konflik Israel-Palestina tidak diragukan lagi berdampak signifikan pada lanskap global, memengaruhi dinamika politik, ekonomi, dan hubungan internasional. Konflik ini telah memicu perdebatan sengit di berbagai negara mengenai posisi dan tanggapan mereka terhadap situasi yang terus memburuk. Negara seperti Australia, misalnya, merasa terdorong untuk menilai kembali posisi mereka dalam menanggapi kekacauan ini.
Secara historis, Australia dikenal sebagai pendukung setia Israel dengan hubungan diplomatik yang erat sejak berdirinya negara tersebut pada tahun 1948. Namun, di bawah kepemimpinan Anthony Albanese dari Partai Buruh, terlihat adanya pergeseran dalam kebijakan luar negeri Australia. Hal ini tercermin dalam keputusan pemerintah yang secara diam-diam mencabut pengakuan pemerintahan koalisi sebelumnya terhadap Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel pada Oktober 2022. Hal ini dilakukan dengan menghapus pernyataan tersebut dari situs web resmi Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (Purba, 2024). Salah satu indikasi yang paling mencolok adalah keputusan Australia untuk mengambil langkah yang berbeda dari aliansi tradisionalnya, Amerika Serikat dengan mendukung 156 negara lain dalam pemungutan suara di PBB yang menyerukan penghentian "kehadiran ilegal" Israel di Wilayah Pendudukan Palestina sesegera mungkin. Langkah ini dianggap sebagai momen penting dalam refleksi kebijakan luar negeri negara tersebut (Canales, 2024).
Selain itu, Australia secara resmi mengadopsi istilah "Wilayah Pendudukan Palestina" untuk Tepi Barat dan Gaza, serta menuduh Israel melakukan "penindasan sistemik" terhadap komunitas Palestina dan berjanji untuk memperkuat penolakan mereka terhadap permukiman ilegal Israel (Purba, 2024). Australia mendukung upaya internasional untuk mencapai gencatan senjata berkelanjutan di Jalur Gaza. Mereka menekankan pentingnya menghancurkan Hamas tanpa menambah penderitaan warga Palestina, menyerukan pembebasan sandera oleh Hamas, dan menghentikan penggunaan warga sipil sebagai tameng manusia. Australia juga mendukung resolusi Majelis Umum PBB untuk gencatan senjata kemanusiaan segera, perlindungan warga sipil, dan akses bantuan kemanusiaan di Gaza (Christiastuti, 2023). Pemerintah Australia terus memberikan dukungan kepada wilayah Palestina dengan perkiraan AU$17,1 juta (US$11,0 juta) pada tahun 2022-2023 melalui bantuan bilateral, AU$20,0 juta (US$12,9 juta) yang ditujukan untuk Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA), serta AU$28,7 juta (US$18,5 juta) dalam bentuk bantuan pembangunan resmi (ODA) (CSIS, n.d.).
Di bawah pemerintahan Albanese, Australia memilih untuk abstain dalam pemungutan suara Majelis Umum PBB terkait konflik Israel-Palestina, sebuah langkah yang berbeda dengan sikap cepat Australia pada pemerintahan sebelumnya dalam mendukung Israel. Penny Wong, Menteri Luar Negeri Australia, menyatakan bahwa Australia sedang "menyeimbangkan kembali" pendekatannya terhadap Israel dan Palestina. Wong mengakui bahwa ada pergeseran dalam praktik kebijakan luar negeri Australia terkait situasi Israel-Palestina. Australia juga mendukung pemungutan suara PBB mengenai keanggotaan Palestina di Majelis Umum (Purba, 2024). Wong menjelaskan bahwa pemungutan suara tersebut bertujuan memberikan "hak tambahan yang sederhana untuk berpartisipasi dalam forum-forum PBB," dan Australia hanya akan mengakui Palestina "ketika kami merasa waktu yang tepat telah datang." (Canales, 2024).
Meskipun terdapat beberapa penyesuaian, Australia tetap mempertahankan hubungan persahabatan yang kuat dengan Israel. Albanese juga menegaskan bahwa pemerintahannya akan terus mendukung Israel (Purba, 2024). Pendekatan Australia di bawah pemerintahan Albanese menunjukkan upaya untuk mencapai keseimbangan dalam konflik Israel-Palestina. Dengan melonggarkan dukungan mutlak untuk Israel dan menunjukkan sensitivitas terhadap hak-hak Palestina, Australia berusaha mengambil posisi yang lebih adil dan responsif terhadap dinamika global. Namun, upaya ini tetap dibatasi oleh kebutuhan untuk mempertahankan hubungan strategis dengan Israel dan sekutunya, terutama Amerika Serikat.
Majelis Umum PBB menyatakan dukungan yang tegas dan tidak tergoyahkan, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional untuk solusi dua negara yang adil dan berkelanjutan bagi Israel dan Palestina. Majelis menekankan bahwa kedua negara harus hidup berdampingan secara damai dan aman dalam batas-batas yang diakui secara internasional, berdasarkan perbatasan yang berlaku sebelum tahun 1967. Penekanan ini diharapkan mampu mendorong kedua belah pihak untuk dapat mencapai kesepakatan yang mengakhiri konflik dan membawa perdamaian abadi di kawasan tersebut (ToI Staff & AFP, 2024).
Duta Besar Australia untuk PBB, James Larsen, menyambut baik resolusi PBB yang mendukung solusi dua negara, menandai kembalinya Australia ke kebijakan luar negeri sebelum 2001. Ia menggarisbawahi bahwa periode tersebut adalah "masa ketika masyarakat internasional dan para pihak terkait bersatu untuk memetakan jalan menuju solusi dua negara." Larsen menyoroti pentingnya kerja sama internasional untuk membangun momentum menuju perdamaian yang berkelanjutan dengan solusi dua negara dianggap sebagai harapan terbaik untuk menghentikan siklus kekerasan dan menciptakan masa depan aman bagi Israel dan Palestina. Resolusi yang didukung Australia ini juga mencakup rencana konferensi internasional pada tahun 202, guna menerapkan solusi secara konkret (Miller & Ryan, 2024).
Pernyataan Larsen mengenai dukungan Australia untuk solusi dua negara diperkuat oleh juru bicara Mentri Luar Negeri Australia, Penny Wong yang menegaskan Australia ingin menggunakan hak suaranya untuk "berkontribusi pada perdamaian dan solusi dua negara." Terakhir kali Australia memberikan suara untuk resolusi tersebut adalah pada tahun 2001 (ToI Staff & AFP, 2024). "Sebagai kekuatan menengah yang konstruktif, Australia mendekati resolusi PBB dengan tujuan mencapai hasil optimal yang dapat diraih. Australia sendiri tidak punya banyak cara untuk mengubah keadaan di Timur Tengah. Satu-satunya harapan kami adalah bekerja sama dengan komunitas internasional untuk mendorong diakhirinya siklus kekerasan dan mengupayakan solusi dua negara," ujar juru bicara tersebut (SBS News, 2024). Pernyataan-pernyataa ini memperlihatkan pemerintahan Perdana Menteri Anthony Albanese secara bertahap telah menyesuaikan pendekatan Australia terhadap isu-isu Timur Tengah (Rosdalina & Rosdalina, 2024).
Respon oposisi terhadap kebijakan pemerintah Australia yang semakin mendekati Palestina menunjukkan ketegangan signifikan dalam politik domestik negara tersebut. Setelah berita pemungutan suara mengenai dukungan kepada Palestina, Pemimpin Oposisi, Peter Dutton yang beraal dari Partai Liberal, mengkritik perubahan kebijakan pemerintah Albanese. Ia mengklaim bahwa perubahan tersebut diambil untuk "tujuan politik yang kasar," menuduh bahwa kebijakan terbaru mereka telah "mengorbankan" komunitas Yahudi demi meraih suara dari Partai Hijau di wilayah Sydney Barat dan pinggiran kota progresif. Dutton juga menegaskan bahwa ia tidak mendukung perubahan tersebut (Canales, 2024).
Menteri Luar Negeri Australia, Penny Wong, mengkritik kelompok oposisi yang menolak mendukung seruan gencatan senjata yang semakin mendesak untuk Gaza dan Lebanon. Wong menyebut sikap Dutton sebagai 'ekstrem' karena menentang gencatan senjata di Timur Tengah. Ia juga menilai bahwa sikap oposisi bertentangan dengan pandangan komunitas internasional, termasuk Amerika Serikat yang mendesak perdamaian (Octavia, 2024).
Senator Liberal, James Peterson, sebelumnya mengungkapkan bahwa meskipun oposisi menginginkan berakhirnya konflik yang berkepanjangan, mereka menolak mendukung gencatan senjata. Wong menanggapi hal ini dengan menyatakan bahwa kaum Liberal kini menyadari mereka bertentangan dengan komunitas internasional, termasuk Amerika Serikat yang mendesak perdamaian. Namun, mereka masih enggan untuk mendukung genjatan senjata. Wong juga mengkritik Dutton karena terlalu fokus memecah belah warga Australia atas konflik ini tanpa menyadari betapa terisolasinya posisinya (Octavia, 2024).
Sebelumnya, Dutton menuduh pemerintah Australia berusaha "berpihak pada kedua belah pihak" terkait konflik Timur Tengah dengan menegaskan bahwa prioritas utamanya adalah menghentikan Hamas. Dutton juga menyatakan bahwa Australia sebelumnya memiliki posisi bipartisan yang kuat di PBB dan dihormati oleh mitra internasional, namun hal tersebut berubah karena Perdana Menteri Albanese telah menjauhkan diri dari Israel (Octavia, 2024).
Selain itu, Alex Ryvchin, Wakil Kepala Eksekutif Dewan Eksekutif Yahudi Australia, mengkritik perubahan dukungan pemerintah tersebut. Ia menyatakan bahwa perubahan ini merusak posisi pemerintah yang telah konsisten selama bertahun-tahun, dan menambahkan bahwa saat ini Australia tidak lagi memiliki kebijakan nasional yang jelas dan terarah (Canales, 2024).
Kesimpulan: Kebijakan luar negeri Australia terkait konflik Israel-Palestina mengalami perubahan signifikan di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Anthony Albanese. Australia kini menekankan pendekatan yang lebih seimbang dengan memberikan perhatian lebih besar pada hak-hak Palestina, meskipun tetap mempertahankan hubungan baik dengan Israel. Australia telah mengubah beberapa sikap tradisional, seperti mencabut pengakuan Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel dan mendukung resolusi PBB yang menyerukan solusi dua negara. Namun, kebijakan ini mendapat kritik dari oposisi, terutama dari Peter Dutton yang menilai langkah tersebut berisiko mengorbankan komunitas Yahudi dan mengubah posisi Australia secara drastis dalam politik internasional. Meski begitu, Australia terus berupaya mencari keseimbangan antara mendukung Israel dan menghormati hak-hak Palestina dengan tujuan mendorong perdamaian dan solusi yang adil bagi kedua belah pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H