Respon oposisi terhadap kebijakan pemerintah Australia yang semakin mendekati Palestina menunjukkan ketegangan signifikan dalam politik domestik negara tersebut. Setelah berita pemungutan suara mengenai dukungan kepada Palestina, Pemimpin Oposisi, Peter Dutton yang beraal dari Partai Liberal, mengkritik perubahan kebijakan pemerintah Albanese. Ia mengklaim bahwa perubahan tersebut diambil untuk "tujuan politik yang kasar," menuduh bahwa kebijakan terbaru mereka telah "mengorbankan" komunitas Yahudi demi meraih suara dari Partai Hijau di wilayah Sydney Barat dan pinggiran kota progresif. Dutton juga menegaskan bahwa ia tidak mendukung perubahan tersebut (Canales, 2024).
Menteri Luar Negeri Australia, Penny Wong, mengkritik kelompok oposisi yang menolak mendukung seruan gencatan senjata yang semakin mendesak untuk Gaza dan Lebanon. Wong menyebut sikap Dutton sebagai 'ekstrem' karena menentang gencatan senjata di Timur Tengah. Ia juga menilai bahwa sikap oposisi bertentangan dengan pandangan komunitas internasional, termasuk Amerika Serikat yang mendesak perdamaian (Octavia, 2024).
Senator Liberal, James Peterson, sebelumnya mengungkapkan bahwa meskipun oposisi menginginkan berakhirnya konflik yang berkepanjangan, mereka menolak mendukung gencatan senjata. Wong menanggapi hal ini dengan menyatakan bahwa kaum Liberal kini menyadari mereka bertentangan dengan komunitas internasional, termasuk Amerika Serikat yang mendesak perdamaian. Namun, mereka masih enggan untuk mendukung genjatan senjata. Wong juga mengkritik Dutton karena terlalu fokus memecah belah warga Australia atas konflik ini tanpa menyadari betapa terisolasinya posisinya (Octavia, 2024).
Sebelumnya, Dutton menuduh pemerintah Australia berusaha "berpihak pada kedua belah pihak" terkait konflik Timur Tengah dengan menegaskan bahwa prioritas utamanya adalah menghentikan Hamas. Dutton juga menyatakan bahwa Australia sebelumnya memiliki posisi bipartisan yang kuat di PBB dan dihormati oleh mitra internasional, namun hal tersebut berubah karena Perdana Menteri Albanese telah menjauhkan diri dari Israel (Octavia, 2024).
Selain itu, Alex Ryvchin, Wakil Kepala Eksekutif Dewan Eksekutif Yahudi Australia, mengkritik perubahan dukungan pemerintah tersebut. Ia menyatakan bahwa perubahan ini merusak posisi pemerintah yang telah konsisten selama bertahun-tahun, dan menambahkan bahwa saat ini Australia tidak lagi memiliki kebijakan nasional yang jelas dan terarah (Canales, 2024).
Kesimpulan: Kebijakan luar negeri Australia terkait konflik Israel-Palestina mengalami perubahan signifikan di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Anthony Albanese. Australia kini menekankan pendekatan yang lebih seimbang dengan memberikan perhatian lebih besar pada hak-hak Palestina, meskipun tetap mempertahankan hubungan baik dengan Israel. Australia telah mengubah beberapa sikap tradisional, seperti mencabut pengakuan Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel dan mendukung resolusi PBB yang menyerukan solusi dua negara. Namun, kebijakan ini mendapat kritik dari oposisi, terutama dari Peter Dutton yang menilai langkah tersebut berisiko mengorbankan komunitas Yahudi dan mengubah posisi Australia secara drastis dalam politik internasional. Meski begitu, Australia terus berupaya mencari keseimbangan antara mendukung Israel dan menghormati hak-hak Palestina dengan tujuan mendorong perdamaian dan solusi yang adil bagi kedua belah pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H