Mendengar pengakuannya saya tercekat. Dia mendengar kisah itu? Bapak, ibu, saya dan dua adik saya yang lebih kecil tidur seatap dengan keduanya. Alangkah bedanya. Temanku  bertutur ringan, saya dengan rasa ngeri yang mengganggu. Rumah temanku itu, tak begitu jauh dari rumah tempat  kami tinggal dulu.  Terbayang betapa ketat larangan yang ia terima untuk tidak mendekat ke rumah kami.
Maka ketika melihat pistol yang mengarah ke dada bapak, saya hanya berharap pistol itu tak pernah meletus. Benar saja, tak berapa lama setelah bapak mempersilahkan menembak, todongan pistol itu diturunkan. Atasannya masih berteriek-teriak marah. Tetapi yang kulihat kemudian sebuah kursi disodorkan ke bapak dan bapak duduk di sana menghadapi kemarahan atasannya.
Buat saya dan kakak, itu berarti persoalan telah selesai. Kami meninggalkan tempat itu selagi bapak masih menerima muntahan kemarahan. Besoknya kami membesuk bapak di penjara. Bukan di dalam sel, tetapi di meja tenis ruang terbuka yang dihampari sebuah kasur tipis. Tak apa, kata bapak. Bapak mendapat kesempatan beristirahat.
Saya lupa persisnya berapa hari bapak dipenjara. Tetapi membesuk  bapak adalah kegembiraan tersendiri.  Amat jarang kami mendapat kesempatan bercengkrama dengan bapak sebanyak waktu di penjara itu.  Hampir sepanjang hari kami habiskan waktu bermain di halaman penjara dan baru akan pulang ketika malam tiba dan waktu tidur telah menunggu.
Bapak dibebaskan dari penjara setelah Kapolda sadar sudah beberapa waktu ia tak bertemu bapak. Dari ibu aku tahu, bapak secara rutin meninggalkan kota kecil kami menuju Makassar sekedar bertemu dan berbincang dengan Kapolda. Karena menyadari bapak tak datang di saat seharusnya mereka bertemu, Kapolda akhirnya memerintahkan untuk mencari tahu keberadaan Bapak. Ketika tahu bapak dipenjara, ia datang sendiri lalu membebaskan bapak. Tak lama setelah itu bapak dipindahtugaskan.
Hidup bapak singkat. Beliau meninggal beberapa bulan setelah kejadian malam itu. Serangan jantung. Hanya itu penjelasannya. Betapapun, bapak mendapatkan upacara  pemakaman yang layak mengantar kepergiannya.
***
Tak seharusnya saya bercerita tentang kisah suram ini. Itu berpuluh tahun lewat. Setelah bapak meninggal, kami nyaris tak pernah menyinggung apa-apa yang telah kami lewati. Hampir seperti: tak penting lagi, lupakan!!
Beberapa hari ini saya tiba-tiba ingat apa yang telah kami alami. Mungkin karena penasaran. Mungkin juga karena kebetulan. Hari-hari ini adalah masa menjelang pemilihan presiden. Orang yang saya impikan jadi presiden telah menepi ke pinggir. Tertinggal dua calon, Jokowi dan Prabowo. Yang seorang sudah sangat sering kubaca kisahnya. Seorang lagi penuh kisah miring yang membuat penasaran. Benarkah? Apa dosanya? Karena yang kutahu, sekali  kau menjadi bagian dari barisan serdadu pengabdi bangsa, seumur hidup ruh pengabdian akan mengalir di darahmu. Bahkan di darah anak-anakmu yang bertahun berdiri di sisi pengabdianmu.  Dan jika kamu bertempur dalam tugas bersama sepasukan tentara, maka kamu serta merta adalah bagian dari slogan sehidup semati, tetapi tidak berhenti di ucapan, ia mengalir deras di dalam darah.
Jadi ke mana gerangan hilangnya ruh itu?
Mulai kubaca kisahnya. Aku mungkin keliru, tapi aku tahu point penting apa yang kucari dari kisah-kisah yang kubaca. Apa yang dia pertaruhkan hingga merelakan begitu banyak?