Malam beranjak isya ketika wajah-wajah di rumah kami berubah tegang. Mereka membicarakan sesuatu yang penting entah apa. Lalu kakak lelakiku yang saat itu baru SMP kelas II berlari menuruni tangga rumah panggung kami. Ibu meminta ia melihat apa yang terjadi pada bapak.
Penasaran apa yang mungkin  terjadi, aku berlari mengikuti. Kakak  berjalan cepat  lalu akhirnya berlari ke kantor bapak yang letaknya  tak jauh dari rumah kami. Di halaman kantor polisi, kantor bapak, orang berdiri merapat mengerumuni sesuatu. Aku masih terlalu kecil untuk dapat melihat melampaui bahu orang-orang  yang berdiri dan akhirnya memilih jongkok dan pelan-pelan bergerak maju.
Ketika berhasil melewati barisan kaki yang  tak begitu rapat, aku melihat apa yang terjadi. Di tengah kerumunan itu terdapat ruang  yang longgar. Di sana berdiri berjejer beberapa polisi  seperti barisan eksekutor. Seorang yang lain berdiri di depan barisan itu. Mungkin komandan regu. Seorang lain berjalan hilir mudik sambil berteriak-teriak marah. Lebih jauh dari barisan itu berdiri seorang lagi, tegak tanpa kata. Bapak.
Mereka semua berseragam polisi lengkap. Entah apa yang terjadi. Tetapi kemarahan terasa memenuhi udara. Lalu tiba-tiba keluar perintah untuk menembak bapak. Bapak menatap pasti dan mempersilahkan dirinya ditembak. Aku mungkin masih terlalu kecil untuk panik, atau mungkin sudah sangat terbiasa dengan kejutan dan bahaya hingga hanya diam menatap pistol yang mengarah ke dada bapak.
Mengikuti bapak ke mana pun bertugas adalah mengikuti bapak ke dalam bahaya yang  tak terbayang. Sebelum bertugas di kota Kabupaten yang mengantarnya berhadapan dengan todongan pistol malam itu, bapak bertugas di satu desa terpencil, nyaris di kaki gunung. Hari itu sore mendekati malam ketika sebuah truk berhenti di jalan depan rumah kami. Aku sedang duduk di puncak tertinggi  anak tangga rumah kami yang menghadap ke jalan  --rumah-rumah Bugis di tahun 70-an adalah rumah panggung  yang tinggi dengan deretan anak tangga. Dapat kulihat apa yang ada di atas truk itu. Di sana  membentang sebuah bambu dengan dua sarung yang digantung berhimpit, dan sebuah benda berat di dalamnya. Mirip anyunan bayi dengan ukuran dua kali  lebih besar.
Ibu memintaku masuk. Bapak dan beberapa polisi anak buahnya kelihatan sibuk. Belakangan aku tahu, dalam ayunan besar di truk itu terbaring seorang bapak yang baru saja ditikam oleh anak lelakinya.  Mereka dari desa tetangga dan truk itu  dalam perjalanan ke rumah sakit kabupaten yang untuk saat itu berarti  jarak yang jauh. Kudengar kemudian si bapak menghembuskan nafas terakhirnya di perjalanan.
Beberapa hari setelah itu, seorang lelaki muda yang tak pernah berbicara hadir di rumah kami. Ketika tahu lelaki pendiam itu adalah sang pembunuh, aku ketakutan tak berani mendekat.  Apa boleh buat, kantor polisi di desa kecil itu hanyalah rumah panggung kecil yang sudah dipadati dua pasang kursi dan meja kerja. Tak ada ruang bagi anak muda itu untuk tidur.  Pilihannya adalah rumah Dansek, rumah kami. Maka untuk beberapa waktu ia tinggal bersama kami, tidur di lego-lego (sebutan teras untuk rumah Bugis) hingga masa sidang berjalan dan dia mendapatkan hukumannya.
Itu bukan kejadian pertama dan terakhir dalam masa tugas bapak yang singkat di desa itu. Di satu hari sepulang sekolah, saya dapati seorang perempuan yang  tak lagi muda duduk berdiam diri di ruang  tamu. Ia bukan tamu biasa, karena tak ada seorang pun di rumah kami yang berbicara dengannya. Perempuan itu hanya duduk sendiri, diam dalam sunyi. Bapak tak terlihat, entah sedang berada di mana.
Saya mengintip lagi ke arah ruang tamu tempat perempuan itu berada di sore hari ketika bapak pulang dan tengah berbicara dengan  perempuan itu berdua. Bapak terlihat sangat serius, kadang malah terlihat gusar. Belakangan saya tahu, perempuan itu membuang  bayinya yang baru lahir ke sungai dan ditemukan seseorang, lupa persisnya seorang petani atau pedagang keliling yang sedang memandikan kudanya. Hari itu adalah hari pasar di desa kami. Pedagang dari tempat-tempat lain berkumpul di sana. Tali pusat  bayi itu melilit di kaki kuda yang  dimandikannya.
Sekali lagi, sambil menunggu masa sidang berjalan, kami kembali serumah dengan seorang pembunuh. Tak sampai setahun bapak bertugas di desa itu. Tetapi rasanya itu tahun mengerikan yang harus keluarga kami jalani. Â Karena rupanya kelak bukan hanya dua kejadian itu yang harus kami hadapi sebelum kemudian bapak dipindahkan ke kota kabupaten.
Bertahun kemudian di masa kuliah, saya bertemu seorang kawan yang berasal dari desa kecil itu. Ketika kami bercerita tentang masa kecil lalu berujung pada cerita-cerita suram yang  terjadi  di masa itu,  saya bertanya, apa kamu melihat pemuda dan perempuan itu? Dengan ringan temanku  berkata, saya  dengar dari orang-orang  dewasa  kejadian itu.