“Jika Kita Tidak Menyibukkan Diri Dengan Kebenaran, Maka Kita Akan Disibukkan Oleh Kebatilan.” -Imam Syafii-
Demokrasi di Indonesia kini memasuki orde reformasi yang ditandai dengan format yang jauh berbeda dibandingkan dengan demokrasi pada dua orde sebelumnya. Era reformasi tidak bisa dihindari melahirkan sebuah era demokrasi baru yang ditandai dengan perubahan substansial.
Dalam satu era bernama reformasi ini kerangka berdemokrasi mengalami berbagai penyesuaian. Reformasi yang telah berjalan lebih kurang 22 tahun telah memunculkan berbagai perubahan format berpolitik dengan varian metodologisnya di sektor ekonomi dan politik.
Kemudian di tengah pandemi COVID-19 ini secara substansi demokrasi memang tidak banyak perubahan dan tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah mengalami penurunan. Ini terkonfirmasi dari bagaimana sikap DPR yang tampak tidak terlalu terusik dengan kelambanan respon pemerintah pusat sejak virus mulai merebak.
Begitu pula saat munculnya beberapa kali inkonsistensi kebijakan yang membingungkan masyarakat. Bahkan hingga ketika tidak lancarnya pemberian bantuan sosial yang dikorupsi Menteri sosial dan munculnya pencitraan bagi-bagi sembako, DPR tampak tak bergeming. Meski mulai ada suara-suara kritis, secara umum nuansa over-protective parlemen kepada pemerintah masih terasa.
Kondisi ini telah menimbulkan saling silang pendapat di jajaran pemerintahan sendiri. Dengan situasi ekosistem politik pada masa pandemi seperti ini, tentu mudah terlihat bahwa esensi politik kita belum mengarah pada penguatan demokrasi, melainkan lebih pada sebuah sikap anti-kritik, birokratisasi, sentralisasi, restriksi, dan peluang oligarchy reinforcement.
Di kabupaten Alor sendiri, konflik kepentingan antara para stakeholder menjadikan birokrasi yang notabene sebagai organisasi publik yang melayani masyarakat menjadi birokrasi yang statis dan menjadikan birokrasi itu sendiri sebagai kekuatan anti demokrasi.
Fenomena akhir-akhir ini yang mencuat adalah soal kisruh DPRD dan Pemerintah Daerah dalam hal mutasi Setwan. Yang tak kalah fenomenal adalah kericuhan sidang DPRD dalam pembahasan Pokok-Pokok Pikiran Anggota DPRD kepada Pemerintah Daerah yang berlangsung di ruang sidang kantor DPRD.
Kemudian juga di tengah krisis akibat pandemi covid-19 ini pemerintah kabupaten Alor malah berencana untuk membangun kantor baru DPRD Alor dengan anggaran sebesar Rp. 25.000.000.000 entah apa urgensinya. Dari segelintir persoalan itu, sebenarnya menjadi pertanyaan besar bagi kita sebagai rakyat yang katanya diayomi untuk menggugat kinerja para stakeholder itu.
Pertanyaan sederhana yang muncul ialah sebenarnya bekerja untuk siapa para pejabat dan wakil rakyat itu? Apakah untuk kita masyarakat ataukah kelompok politk mereka? Wallahu a'lam