Mohon tunggu...
Egi  Adrian
Egi Adrian Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Maafkan Kami Ibu (Pertiwi)

28 April 2017   05:55 Diperbarui: 28 April 2017   17:00 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Gen-2 merasakan susahnya mencari sesuap nasi yang kini barangkali menjadi rimah makan bagi kita selaku Gen-3 atau Gen-5.”

Sebelum masuk ranah yang lebih majemuk, mari menelisik ke ranah individu tiap-tiap orang. Sudah 21 tahun penulis hidup di bumi ini (barangkali efektifnya 4 tahun untuk mulai berpikir kearah sini), menemukan bahwa banyak biografi orang-orang sukses dari berbagai bidang, yang masa kecilnya diawali dengan kehidupan kumuh, hina, melarat, sulit mendapat sesuap nasi, atau bahkan menerima ledekan (bullying) yang mampu membunuh karakter. Butuhkah melarat dulu diawal (baca : masa kecil) untuk menjadi orang yang sukses di dunia yang fana ini saat sudah dewasa kelak? Tentu kita tidak sepakat, terutama bagi yang masa kecilnya bahagia, hehe. Namun pada dasarnya kata “banyak” tidak tepat, karena mereka menjadi terkenal karena menempuh dinamika kehidupan yang menginspirasi dan bukan hal yang biasa terjadi.

Jikalau memang tidak mampu dikuantisasi – penulis belum sempat mengadakan survei- bisa kita tarik sebuah hipotesa dahulu bahwa mayoritas orang berhasil atau sukses tidak punya masa kecil seindah seperti yang sebagian dari generasi kita rasakan. Begitupun orang-orang sukses Indonesia (zaman pasca kemerdekaan), tentunya hidup di masa kelambu jajahan. Pemimpin Indonesia saat itu mayoritas (buktikan sendiri dengan membaca biografi tokoh terdahulu) tidak banyak berasal dari latar belakang bangsawan. Mereka semua melalui tahap penjajakan dari awal bahkan dari minus jikalau diangkakan, dimana tidak ada sumber daya pendukung yang membuat mereka bisa terdidik secara formal dan intensif. Namun pendidikan tetap menjadi keywordyang membawa mereka untuk memiliki kapasitas yang bagus. Kita pastinya percaya sesuatu yang instan seyogyanya tidak seindah dan sebaik kualitas yang melalui penempaan secara bertahap dan waktu relatif lama. Analogikan saja saat ibu kita menggoreng empek-empek, instruksi pertama pasti bukan menyalakan api besar pada kompor agar cepat matang, melainkan api kecil di kompor agar matangnya menyeluruh dan gurih sampai kedalam, meskipun itu membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama. Proses dapat menjadi tolak ukur pertama dalam menentukan kualitas.

Kita tidak akan menjadi seperti Cristiano Ronaldo jika hanya dengan menggunakan kaos bola bernamakan Ronaldo (Syarif.H).

Masa kecil yang tidak dihinggapi kecukupan, secara alamiah akan cenderung menghasilkan generasi yang punya skill lebih mumpuni dalam bertahan hidup. Masa kecil mereka bisa dipastikan dihabiskan sebagian besarnya untuk bekerja, apakah itu membantu orang tuanya di ladang, memasak, menjahit, menjadi pekerja di rumah orang lain dll. Sehingga apabila mereka paham dan punya niat untuk merubah hidup, pandangan mereka pastinya menuju kearah pendidikan. Karena menyejahterakan suatu generasi secara masal dan bertahap, solusi jangka panjangnya adalah pendidikan. Nilai lebih yang mereka punya dibanding anak yang masa kecilnya berkecukupan adalah mental dan skill bertahan hidup mereka saat berada di titik nadir kesejahteraan lebih teruji. Sehingga anak dengan masa kecil tidak berkecukupan memiliki fleksibilitas dalam mengarungi kehidupan apakah mereka stay at the road in the lowest level atau berada di puncak. Mereka tidak butuh energi lebih saat mereka jatuh kembali ke kemelaratan karena masa kecilnya sudah seperti itu.

Disisi lain mereka yang masa kecilnya berkecukupan terbiasa dengan kebutuhan dan permintaannya dikabulkan. Mereka tidak fleksibel apabila jatuh di titik nadir kehidupannya. Mereka tidak punya persiapan mental bahkan skill untuk itu dan mereka akan cenderung putus asa. Itu akibat dari keterkejutan kehidupan yang mereka belum pernah rasakan sebelumnya. Sehingga wajar saja akhir-akhir ini sudah mulai banyak kegiatan yang menyeimbangkan, dimana sang pemuda yang berkecukupan perlu turun ke ranah miskin unutk belajar dan berempati, di sisi lain juga menyadarkan pemuda-pemuda yang tidak berkecukupan untuk sadar akan pentingnya pendidikan yang mampu menaikkan level kesejahteraan mereka kelak.

Hidup manusia hanya berada dikisaran 65 tahunan, Kita beralih ke rentang yang lebih panjang, yakni peradaban atau sebuah Negara. Untuk mencapai sebuah masa kejayaan, Negara butuh sekitar 2-3 abad untuk menjadi Negara jaya atau sebut saja maju lah. Amerika Serikat merdeka di abad 18 dan mampu mendominasi dunia (adi daya) di abad 20. Negara Islam pun butuh sekitar 2 abad semenjak kenaikan Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul hingga Islam mencapai masa jaya (baca: the golden age of  Islam) pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid. Dimana Islam menjadi pusat peradaban dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dan rakyatnya sejahtera. Namun dinamika menuju kejayaan tidak mestinya berupa garis lurus yang mulus hingga mencapai puncak. Namun pastinya naik turun seberti gelombang hingga mencapai puncak tertinggi kejayaannya.

Untuk Indonesia, kita gunakan variabel kesejahteraan masyarakat saja. Mari analogikan kesejahteraan (secara general) tersebut dalam sebuah gelombang (transversal) kesejahteraan. Saat sebelum Indonesia di jajah, kenyamanan mereka belum pernah terusik dalam kehidupan masa kerajaan, kecuali adanya penyerangan dari kerajaan lain. Namun kemudian Indonesia secara masal diusik kenyamanannya oleh penjajah yang semena-mena. Ini menjadi kondisi titik nadir Indonesia saat pribumi diberlakukan tidak selayaknya manusia. Anak-anak pada masa ini, selanjutnya disebut Gen-1 (generasi 1) merasakan pedihnya kehidupan dan melihat secara langsung penderitaan orang tuanya. Mereka berada dikondisi terbawah atau lembah dari gelombang.

gelombang-semi-pulsa-5902761f197b61995d369f1f.jpg
gelombang-semi-pulsa-5902761f197b61995d369f1f.jpg
Kenyamanan yang terusik paling tidak menimbulkan sebuah kegelisahan oleh sebagian masyarakat yang cerdas namun tidak berpendidikan (barangkali) saat itu. Gen-1 yang merasakan melaratnya hidup tadi seiring bertambahnya waktu tumbuh besar hingga menjadi pemuda. Kita akan mengenal mereka adalah yang hidup di masa sekitar kemerdekaan (Bung Karno, Bung Hatta, M.Yamin dll). Puncak perjuangan mereka adalah memerdekakan Indonesia terwujud, namun masyarakat belum sejahtera sepenuhnya. Tetapi sudah lebih baik dari masa mereka kecil dulu. Disini di mulai tahapbangkitpada skema gelombang tersebut. Sehingaa otomatis putera – puteri mereka, sebut saja Gen-2, lahir di saat menjelang kemerdekaan atau setelah kemerdekaan. Gen-2 tidak merasakan kehinaan dan penderitaan seperti yang dialami orang tua mereka. Namun mereka merasakan susahnya perekonomian dan kesejahteraan Negara yang baru merdeka. Pemasukan Indonesia saat itu sangat minim untuk menjadi sebuah negara. Gen-2 merasakan susahnya mencari sesuap nasi yang kini barangkali menjadi rimah makan bagi kita selaku Gen-3 atau Gen-5.

Kesejahteraan hidup Indonesia mulai bangkit dan mencapai puncaknya ketika Gen-2 ini memegang tampuk estafet (kekuasaan pemerintah) yang diberikan dari Gen-1, yaitu pada masa Orde Baru, dengan mengabaikan sisi kebebasan berpendapat yang terbatas, dll. Kita coba saja berkeliaran pada saat ini di pasar yang pedagangnya sudah sepuh, tanyakan pada mereka lebih senang mana berdagang dan lebih sejahtera mana di masa reformasi sekarang atau Orde Baru? Kita sudah bisa menebak jawabannya (atau silahkan buktikan sendiri). Sehingga bisa kita tarik benang merah bahwa puncak gelombang pertama Indonesia terjadi pada masa Orde Baru dengan pengabaian di beberapa aspek.

Namun Gen-3 secara general merasakan kehidupan berkecukupan yang akan menjadi titik tolak kelalaian mereka. Kita bisa bawa perbandingannya saat Gen-2 cenderung memiliki masa kecil yang tidak berkecukupan dan Gen-3 cenderung memiliki masa kecil yang berkecukupan, karena indeks kesejahteraan masyarakat Indonesia sudah jauh meningkat. Sebut saja Gen-3 merupakan masyarakat yang lahir di rentang tahun 1980-1999. Perbedaan efek masa kecil mereka di masa mendatang sudah dijelaskan diatas. Sehingga Gen-3 akan menjadi inisiator yang membawa bumi pertiwi ini kembali menuju lembah nadir itu nanti. Kini itu belum sampai, namun tanda-tandanya sudah mulai terlihat. Kitakah Gen-3 itu? Bisa kita prediksi bahwa Indonesia kelak akan kembali ke titik nadirnya di saat pemegang kebijakan strategis ada di tangan Gen-3. Namun pastinya dengan warna yang lebih berbeda. Ini akibat pengaruh perubahan orientasi mereka akibat masa kecil yang terlena. Sedalam apa lembah itu kita yang tentukan. Lebih dalam dari masa penjajahan dulu atau tidak cukup dalam. Sesimpel itu.

Hal ini juga bisa mendapat percepatan menuju titik nadir dengan nilai-nilai sosial yang makin sirna akibat akulturasi budaya sebagai efek dari arus globalisasi. Nilai-nilai kekeluargaan mulai hilang seperti dengan merusak peran ibu, sehingga banyak manusia yang sudah tidak ingin berkeluarga lagi, karena mengejar karir. Begitupun dengan berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, melunturkan nilai-nilai pokok yang mampu merusak derajat kemanusiaan seseorang. Jauh sebelum berkembangnya ilmu kedokteran, angka kematian ibu melahirkan sangat tinggi, akibat perih yang dideritanya saat melahirkan. Hal ini paling tidak menjadi salah satu mula tersadarnya seorang anak perempuan bahwa begitu berat pengorbanan sang ibu saat melahirkannya. Dengan operasi Caesar membuat berkurangnya perempuan-perempuan sadar beratnya pengorbanan sang ibu. Mereka tidak lagi merasakan sakit yang luar biasa seperih apa yang dirasakan ibunya. Indeks kepatuhan seorang anak pada ibunya juga cenderung berkurang.  Meski dengan teknologi ini mampu mengurangi angka kematian perempuan. Namun ini hanya secuil pandangan, banyak pertimbangan lain mestinya.

Tinggal pilihan kita sebagai Gen-X (dimana X>=3) yang menentukan apakah siklus dalam bentuk gelombang itu berlaku. Kita juga yang memilih apakah akan menjadi pemain atau penonton di dinamika kesejahteraan ini. Saat trendini benar-benar terjadi, penonton hanya akan bertepuk tangan (sindiran) dan menggunjing di tengah kegagalan para pemain. Sebaliknya , saat trend ini dipatahkan, yang merasa paling puas dan merasakan indahnya kemenangan adalah para pemain di garda terdapan. Penonton memang tetap bertepuk tangan, hanya porsi kesenangan mereka berbeda, jelas lebih kecil.

sumber gambar : http://keluargakokoh.com/file/content/2016/08/160815080536_keluargakokoh.jpg 

http://narasomanotebook.blogspot.co.id/2011/07/prinsip-ketidakpastian-via-gelombang.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun