Mohon tunggu...
Egi  Adrian
Egi Adrian Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selaras Namun Tak Baik, Apalah Guna

4 April 2017   16:03 Diperbarui: 5 April 2017   05:00 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Ku sengaja mencontek, melakukan tindakan tidak integritas selama berkuliah, demi mempersiapkan diri ku di kehidupan kelak yang nyata dan sebenarnya, pasca kampus. Kehidupan yang begitu licik dan cenderung mengerikan. Agar diri ku tidak menjadi korban dari kelicikan dan keserakahan mereka.”

Sebuah kewajaran jika pernyataan ini keluar dari sosok yang berada dalam kondisi yang tidak begitu kondusif, baik itu lingkungan hidup kebernegaraan, kemasyarakatan dll. Seberapa burukkah dunia luar? Saya bukan orang yang tepat untuk menjawabnya. Namun dari pernyataan tersebut sangat disayangkan begitu bertumpuk tindakan-tindakan yang akan dilakukannya dan membawa pada kecondongan diri pada hal yang tidak baik, bahkan sampai mendefinisikannya itulah yang baik. Jangan sampai hal buruk menjadi baik, meski untuk sementara, akibat kondisi yang menyebabkannya menjadi baik.

Biar tidak berburu-buru, mari kita buka pikiran dahulu sebelum ke permasalahan dari pernyataan tersebut.

Sekarang, di dunia ini, terdapat sekelompok orang yang percaya akan adanya kehidupan setelah kematian, apapun latar belakang kepercayaannya, dan sekelompok lain ada yang hanya percaya kehidupan akan berakhir di dunia ini. Sehingga ini berpengaruh pada seberapa cemas seseorang terhadap kematian yang akan dialaminya.

Becker (1973) mengemukakan bahwa ketakutan kematian adalah motivator yang utama dari semua perilaku. Ketika ketakutan kematian disalurkan dengan benar, dapat menjadi kekuatan motivasi untuk mendorong individu menjadi prestasi fenomenal dengan tujuan bahwa mereka akan melampaui prestasi kematian fisiknya. Kastenbaum menyampaikan bahwa kecemasan kematian dengan level rendah pada sebagian besar orang mungkin meningkat secara dramatis ketika seseorang mengalamai sebuah periode stress atau ancaman, seperti masalah kesehatan, penyakit, atau kematian dari seseorang yang dekat.

Duff dan Hong (1995) menemukan bahwa kecemasan kematian secara bermakna dikaitkan dengan frekuensi menghadiri layanan keagamaan. Faktor ini terutama berkaitan dengan kepercayaan dalam kehidupan setelah kematian. Sebagai contoh, Alvarado, Templer, Bresler, dan Thomson-Dobson (1995) menemukan korelasi negatif yang kuat antara kecemasan dan keyakinan kematian di akhirat. Yaitu, jika tingkat kepercayaan pada kehidupan setelah kematian meningkat, tingkat kecemasan kematian berkurang. Kepercayaan pada akhirat dieksplorasi lebih ekstensif oleh Parsuram dan Sharma (1992) yang membandingkan orang-orang dari tiga agama yang berbeda di India: Hindu, Muslim, dan Kristen. Mereka menemukan bahwa orang-orang Hindu (yang memiliki keyakinan terbesar pada hidup sesudah mati) memiliki kecemasan kematian terendah, diikuti oleh kaum Muslim, sementara orang-orang Kristen menunjukkan kecemasan kematian tertinggi. Dalam studi yang lebih baru, Roshdieh, Templer, Cannon, dan Canfield (1999) mempelajari kecemasan kematian dan depresi kematian di antara 1.176 umat Islam Iran yang terkait dengan perang eksposur selama perang Iran-Irak. Mereka menemukan bahwa orang-orang yang menunjukkan kecemasan kematian yang lebih tinggi adalah mereka yang memiliki keyakinan agama yang lemah, tidak yakin pada hidup sesudah mati, dan tidak menyatakan bahwa aspek terpenting dari agama adalah kehidupan setelah kematian.

Selengkapnya : https://afbluesea89.wordpress.com/2010/11/01/death-anxiety/

Bagaimana kita menyikapi kematian adalah bagaimana kita berpola dan berorientasi dalam kehidupan. Manusia terbagi dua, ada yang berorientasi pada ketuhanan dan ada yang berorientasi pada kehidupan (dunia). Pada studi terakhir di paragraf sebelumnya, dijelaskan bahwa kecemasan akan kematian relatif lebih tinggi pada sosok yang meskipun dia beragama, namun lemah, atau setengah-setengah, atau tidak menyempurnakannya. Karena manusia hidup tidak hanya dengan rasional(akal) namun juga ada nafsu yang punya andil disini. Kalo hanya ingin dirasionalkan, kenapa harus begitu sibuk dengan urusan dunia sampai-sampai meninggakan kepentingan untuk mempersiapkan segala sesuatu yang justru kekal nantinya (ethernal). Karena nafsu sangat tidak begitu dealdengan koridor-koridor yang telah ditetapkan untuk menuju masa kekal (afterlife) yang sukses, justru lebih dealdengan hal-hal yang condong pada kenikmatan yang melenakan  seperti pergaulan bebas, Napza, diskotik, bahkan bullying (siapa bilang bullying bukan bagian dari kenikmatan, lihat saja fenomena terdekat, di sekolah, media dll. Bahkan menyakiti satu pihak yang bersalah atau bahkan belum tentu bersalah).

Saat semua ambisi keduniaan kita susun dan diusahakan keberhasilannya, itu selayaknya sederatan angka yang kita terus jumlahkan dengan besar nilainya sesuai bobot usaha yang kita lakukan serta banyaknya (frekuensi) sesuai dengan seberapa banyak ambisi tersebut.

“ 38 + 7 + 5 + 12 +3 “
 pada contoh diatas terdapat 5 ambisi yg dilakukan dan ambisi pertamalah yang paling menghabiskan banyak tenaga, diimplementasikan dengan nilai nominal yang besar. Hasil akhirnya akan sangat besar jika terus ditambahkan, dengan kata lain melakukan ambisi-ambisi dunia lainnya.

Namun satu hal penting yang sering terlupa, tentang bagaimana efek akhir dari setiap ambisi yang telah kita susun sedari awal tersebut. Semua penjumlahan akan dikurung dan dikalikan dengan nol, sehingga hasil akhir yang kita dapatkan ialah kesia-siaan,

“ (38 + 7 + 5 + 12 +3 ) x 0 = 0“

kapan? Saat ajal menjemput. Karena semua yang kita lakukan tak satupun diniatkan untuk persiapan menuju hari yang kekal itu. Setiap ambisi. targetan, seperti belajar Bahasa Inggris, menamatkan buku setiap pekannya, kuliah tiap hari, berorganisasi dll. hanya untuk capaian pribadi dan duniawi semata. Bagaimana diri ini nantinya  full of skill  kelak di pasca kampus, agar jadi sosok yang sukses di mata dunia dengan skillyang telah kita persiapkan sedari awal. Membuat orang sekeliling senang dengan sosok kita, basicallysama halnya seperti yang kita kenal dengan self endorsement. 

Kenapa tidak sedari awal kita sadari sebelum melakukannya, mengubah perkalian akhir tadi bukan dengan 0 namun 1, sehingga semuanya tak sia-sia. Bagaimana jika kita katakan “ ku tamatkan membaca buku tiap pekannya agar menjadi sosok yang berkapasitas bagus dan berwawasan luas, sehingga mempermudah jalan untuk mengajak orang pada kebenaran dan jalan itulah yang diridhai Allah swt.” . Begitupun untuk belajar Bahasa Inggris, terlalu sempit untuk meniatkannya agar memuluskan jalan memperoleh pekerjaan. Kenapa tidak niatkan jalan mencari ridha-Nya karena sekarang dakwah menggunakan Bahasa Inggris begitu penting ternyata, melintasi dunia mendapat kepahaman yang sama atas satu Bahasa, skilldapat, jalan mendapat pekerjaan juga mulus. Sehingga  lengkap sudah persiapan menuju kehidupan kekal tersebut. Angka 0 tadi akan berubah menjadi 1.

“ (38 + 7 + 5 + 12 +3 ) x 1 = 62“

Selengkapnya : https://www.youtube.com/watch?v=sBJIHUOl-DE

Jadi? Apa seharusnya masih terpengaruh untuk tidak berintegritas meskipun kehidupan pada masa kampus dijanjikan begitu licik? Sejauh mana licik itupun kita belum bisa memastikan pembiasaan buruk yang kita lakukan sekarang akan menjamin kita tidak jadi korban kelicikan sebenarnya kelak. Kalo diminta pilih, kenapa tidak yang pasti-pasti saja toh? Silahkan definisikan posisimu apa manusia dengan orientasi ketuhanan atau kehidupan.

Pembiasaan sedari awal berintegritas dan perbuatan baik lainnya akan memoles nurani sebening embun sehingga nurani akan otomatis menolak dan risih saat pilihan tindakan tidak baik atau tidak berintegritas dihadapkan pada kita. Apapun dan dimanapun kondisinya, saat sudah membentur tembok pemisah antara yang haq (benar) dan bathil (salah), pastikan diri ini keluar jalur , dan pindah ke jalur yang memastikan kita masih bisa merambat maju dengan pedoman dan ideologi yang benar tersebut. Toh, rezeki sudah ada garisnya dan tidak akan berpindah tangan. Kenapa harus panik tidak dapat lagi.

Takut gagal ? atau gaji turun jika memilih keluar? Itu bukti orientasi kita masih pada kehidupan, dimana semua seolah-olah akan berakhir di dunia. Tidak salah sosok dengan pemahaman seperti ini sangat terusik dengan bahaya dan ancaman yang mampu meniadakan hidupnya di dunia ini. Bisa kita cari statistik kejadian bunuh diri di dunia paling sering terjadi  nyatanya ada di negara yang cenderung maju atau yang memang penduduknya memahami dengan mengakhiri kehidupan semua masalah terselesaikan.

Jadi, hidup nyatanya tidak baik setengah-setengah. Totalitas jadi nilai yang perlu dipegang. Definisi pribadi sendiri, tidak ada yang netral, kalo tidak haq ya bathil, tinggal mendefinisikan posisi kita dimana. Kalo tahu bahkan paham ada yang jelas-jelas baik, kenapa tidak tekuni saja. Semuanya pasti akan meyakini dan sadar tentang hal yang benar tersebut, hanya tergantung waktu saja yang menentukan kapan sadarnya. Lenih awal, atau nanti tunggu bukti saat raga tidak bisa berbuat apa-apa lagi (baca: ketika ajal menjemput dan sesudahnya).

sumber gambar : http://hasberryshub.weebly.com/assessments.html 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun