Di sudut kota kecil, sebuah pemikiran timbul dari seorang anak sekolah menengah atas. Perbincangan hangat diantara dua insan itu menyudut kearah ranah yang sebenarnya mereka masih ingusandalam hal tersebut. Siklus Kesejahteraan Indonesia, ya, kebebasan berpendapat di Indonesia hadir membuat pemikiran-pemikiran yang mencolok dan nyelenehpunya kemungkinan untuk muncul, bahkan sekelas dua insan tadi sudah berani menilai bumi pertiwi ini hanya berdasarkan ceriteraguru sepuh di depan kelas mereka dan asumsi-asumsi yang barangkali bagi sebagian oang dianggap jenaka.
Sebelum masuk ranah lebih majemuk, mari menelisik ke ranah individu tiap-tiap orang. selama sudah 20 tahun penulis hidup di bumi ini (barangkali efektifnya 4 tahun untuk mulai berpikir kearah sini), banyak biografi orang-orang sukses, di berbagai bidang, yang masa kecilnya diawali dengan kehidupan kumuh, hina, kemelaratan yang membentang, sulitnya mendapat sesuap nasi, atau ledekan yang membunuh karakter.Â
Butuhkah melarat dulu diawal (read : masa kecil) untuk menjadi orang sukses di dunia yang fana ini kedepannya? Penulis dan pembaca tentu tidak sepakat dengan berbagai pembenaran yang sudah dipersiapkan sewaktu membaca tulisan ini yang sengaja penulis buat panjang.
Jikalau memang tidak mampu dikuantisasi – penulis belum sempat mengadakan survei- bisa kita tarik kesimpulan mayoritas orang berhasil tidak punya masa kecil yang mungkin seindah seperti yang sebagian dari generasi kita rasakan. Boleh Indonesia kita kesampingkan dulu karena secuil kesejahteraan baru kita rasakan beberapa dekade kebelakang, sehingga bisa kita asumsikan orang-orang sukses Indonesia (zaman pasca kemerdekaan) hidup di masa kelambu jajahan.Â
Sukses disini belum masuk ke ranah hiburan,ekonomi, atau aspek lainnya, melainkan aspek politik dan pendidikan (intelektual). Â Pemimpin Indonesia saat itu mayoritas (buktikan sendiri dengan membaca biografi tokoh terdahulu) tidak berasal dari latar belakang bangsawan. Mereka semua melalui tahap penjajakan dari awal bahkan dari minus jika diangkakan, dimana tidak ada sumber daya pendukung yang membuat mereka bisa terdidik secara formal dengan intensif. Kita pastinya percaya sesuatu yang instan tidak seindah dan sebaik kualitas yang melalui penempaan yang bertahap dan lama.Â
Analogikan saja saat ibu kita menggoreng empek-empek, instruksi pertama pasti bukan api besar agar cepat matang, melainkan api kecil di kompor agar matangnya menyeluruh dan gurih sampai kedalam, meskipun itu membutuhkan waktu yang sedikit lama. Proses dapat menjadi tolak ukur pertama dalam menentukan kualitas. tetapi penulis belum berani meyakinkan pengusaha sukses Indonesia juga berasal dari keluarga tidak mampu, karena ini lebih tinggi diversifikasinya. Indonesia rada aneh di bidang ini karena kategori pengusha yang sangat berhasil lebih banyak yang meneruskan usaha pendahulunya atau paling tidak berlatar belakang keluarga berkecukupan. Sebut saja Harry Tanoe, Sampoerna, Bob Sadino dll.
Bertandang ke negeri luar. Orang sukses dibidang manapun memang diduduki mayoritas memiliki latar belakang keluarga yang tidak berkecukupan. Amerika Serikat sudah berabad-abad menjadi Negara adi daya. Namun yang namanya gap kaya dan miskin tetap ada. Kehidupan jatuh bangun, gagal, kemelaratan menjadi salah satu faktor pendorong yang kuat menghidupkan kembali semangat berjuang memperbaiki hidup. Meski di sisi lain kehidupan dengan kegagalan dan kemelaratan juga menjadi alasan kemalasan mereka.
Masa kecil yang tidak dihinggapi kecukupan secara alamiah akan menghasilkan generasi yang punya skill lebih dalam bertahan hidup. Masa kecil mereka bisa dipastikan dihabiskan sebagian besarnya untuk bekerja, apakah itu membantu orang tuanya di ladang, memasak, menjahit, menjadi pekerja di rumah orang lain dll. sehingga apabila mereka paham dan punya niat untuk merubah hidup, pandangan mereka pastinya menuju arah pendidikan.Â
Karena menyejahterakan suatu generasi dengan massif dan bertahap, solusi jangka panjangnya adalah pendidikan. Nilai lebih yang mereka dapatkan dibanding anak yang masa kecilnya berkecukupan adalah mental dan skill bertahan hidup saat di titik nadir kesejahteraan lebih teruji. Sehingga anak dengan masa kecil tidak berkecukupan memiliki fleksibelitas dalam mengarungi kehidupan apakah mereka stay at the road in the lowest level atau berada di puncak. Mereka tidak butuh energy lebih saat mereka jatuh kembali ke kemelaratan karena masa kecilnya sudah seperti itu. Disisi lain mereka yang berkecukupan terbiasa kebutuhan bahkan permintaannya dikabulkan.Â
Mereka tidak fleksibel apabila jatuh di titik nadir kehidupnnya. Mereka tidak punya persiapan mental bahkan skill dan  mereka akan cenderung putus asa. Itu akibat dari keterkejutan kehidupan yang sebelumnya mereka belum pernah rasakan. Sehingga wajar saja sekarang sudah mulai banyak yang menyeimbangkan dimana sang pemuda yang berkecukupan turun ke ranah miskin belajar dan berempati sekaligus menyadarkan pemuda-pemuda yang tidak berkecukupan untuk sadar akan pentingnya pendidikan dalam mernaikkan titah level mereka di kancah kesejahteraan kelak.
Hidup manusia hanya berada dikisaran 65 tahunan, sehingga siklus itu yang dimaksud anak sekolah menengah atas tadi tidak dapat terlihat dengan jelas. Kita beralih ke usianya yang lebih panjang, yakni peradaban atau sebuah Negara. Untuk mencapai sebuah masa kejayaan, Negara butuh sekitar 2-3 abad untuk menjadi Negara adi daya atau maju lah. Namun dinamika menuju kejayaan tidak mestinya berupa garis lurus yang mulus hingga mencapai puncak.
Dua insan tadi mneganalogikan kesjahteraan tersebut dalam sebuah siklus kesejahteraan. Namun penulis menjelaskannya dalam bentuk gelombang transversal. Saat Indonesia di jajah, sebelumnya kenyamanan meraka belum pernah terusik dalam kehidupan kerajaan, kecuali adanya penyerangan dari kerajaan lain.Â
Namun kemudian Indonesia secara massif diusik kenyamanan mereka hidup dan bersosial oleh penjajah yang semena-mena. Ini menjadi kondisi titik nadir (lembah dalam gelombang transversal) Indonesia saat pribumi diberlakukan tidak selayaknya manusia. Anak-anak pada masa ini, selanjutnya disebut Gen-1 (generasi 1) merasakan pedihnya kehidupan dan melihat secara langsung penderitaan orang tuanya. Mereka berada dikondisi lembah pada gambar diatas.
Kenyamanan yang terusik paling tidak menimbulkan sebuah keresahan oleh sebagian manusia yang cerdas namun tidak berpendidikan (barangkali) saat itu. Gen-1 yang merasakan melaratnya hidup tadi seiring bertambahnya waktu tumbuh besar hingga menjadi pemuda. Kita mengenal pemuda ini adalah yang hidup di masa sekitar kemerdekaan. Puncak perjuangan mereka yang bermimpi memerdekakan Indonesia terwujud,namun masyarakat sebenarnya belum sejahtera sepenuhnya. Tetapi sudah lebih baik dari masa mereka kecil dulu. Sehingaa otomatis putera – puteri mereka,Gen-2, lahir di saat menjelang kemerdekaan atau setelah kemerdekaan.Â
Gen-2 tidak merasakan kehinaan dan penderitaan seperti yang dialami orang tua mereka. Namun mereka merasakan susahnya perekonomian dan kesejahteraan Negara yang baru merdeka. Gen-2 merasakan susahnya mencari sesuap nasi yang kini barangkali menjadi rimah makan bagi Gen-5 atau Gen-6. Kesejahteraan hidup Indonesia mulai bangkit dan mencapai puncaknya (Puncak pada gelombang trasversal) ketika Gen-2 ini memegang tampuk estafet (kekuasaan pemerintah) yang diberikan dari Gen-1 (masa Orde Baru, dengan mengabaikan sisi kebebasan berpendapat yang terbatas).Â
Kita coba saja berkeliaran di pasar yang pedagangnya sudah sepuh, tanyakan mereka lebih senang berdagang atau sejahtera di masa reformasi sekarang atau Orde Baru, kita sudah bisa menebak jawabannya (atau silahkan buktikan sendiri). Sehingga bisa kita tarik benang merah bawah puncak pada gambar diatas adalah pada Masa Orde Baru dengan beberapa pengabaian.
Namun Gen-3 secara general merasakan kehidupan berkecukupan yang akan menjadi titik tolak kelalaian mereka. Kita bisa bawa perbandingannya dengan menganggap Gen-2 memiliki masa kecil yang tidak berkecukupan dan Gen-3 memiliki masa kecil yang berkecukupan. Perbedaan efek mereka kedepannya sudah dijelaskan diatas. Gen-3 akan menjadi inisiator yang membawa bumi pertiwi ini menuju lembah nadir itu nanti. Kini itu belum sampai, namun tanda-tandanya sudah mulai terlihat. Siklus atau trend inilah yang dua insan sekolah menengah atas tadi pikirkan. Mereka menebak bahwa Indonesia kelak akan kembali ke titik nadirnya, namun pastinya dengan warna yang lebih berbeda. Sesimpel itu.
Tinggal pilihan kita sebagai Gen-X (dimana X>3) yang menentukan kemna arah gelombang itu bergerak. Kita juga yang memilih apakah akan menjadi pemain atau penonton di dinamika kesejahteraan ini. Saat trendini benar-benar terjadi, penonton hanya akan bertepuk tangan (sindiran) dan menggunjing di tengah kegagalan para pemain. Sebaliknya , saat trend ini dipatahkan, yang merasa paling puas dan merasakan indahnya kemenangan adalah para pemain di garda terdapan. Penonton memang tetap bertepuk tangan, hanya porsi kesenangan mereka berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H