Mohon tunggu...
Kebijakan Pilihan

Memahami Politik Populis Gatot Nurmantyo (1)

7 Juni 2018   12:00 Diperbarui: 7 Juni 2018   12:17 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: breakingnews.co.id)

Disadari atau tidak, dalam satu dekade terakhir, dinamika politik nasional kita banyak diwarnai oleh politik populis. Hal ini ditandai dengan kemunculan tokoh-tokoh di luar partai politik yang cenderung mengandalkan jaringan relawan. Kalaupun pada titik tertentu mereka mendekatkan diri atau menggandeng partai politik, itu tak lebih sebagai pemenuhan syarat administratif saja.

Contoh paling sederhana dari tokoh-tokoh ini adalah Basuki Tjahaja Purnama dengan Teman Ahok-nya, Ridwan Kamil, dan yang terbaru adalah Gatot Nurmantyo, eks Panglima TNI yang kini membangun jaringan relawan "Selendang Putih Nusantara". Koordinator Selendang Putih Nusantara Rama Yumatha, seperti dikutip Tempo, mengatakan bahwa Gatot Nurmantyo tetap konsisten untuk menjadi calon presiden di Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019.

Pembentukan Selendang Putih Nusantara mengingatkan kita pada fenomena Teman Ahok. Ketika itu, Teman Ahok mengumpulkan 1 juta KTP warga DKI Jakarta untuk meloloskan Ahok menjadi calon independen dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Langkah tersebut amat strategis, setidaknya karena dua alasan. Pertama, mengamankan tiket Ahok untuk maju dalam Pilgub GKI Jakarta. Kedua, menaikkan posisi tawar Ahok saat bernegosiasi dengan partai politik sekaligus menekan partai agar segera mendeklarasikan dukungan terhadap dirinya.

Pada saat bersamaan, hampir semua lembaga survei, ketika itu, mengatakan bahwa Ahok adalah calon gubernur paling populer. Bagi partai politik, mendukung calon yang berpeluang terbesar untuk menang tentu saja menggiurkan.

Bagaimana dengan Gatot Nurmantyo?

Survei Indo Barometer, April lalu, menunjukkan bahwa Gatot mengungguli semua kandidat lain sebagai calon wakil presiden.

"Hasilnya Gatot Nurmantyo unggul dengan 12,5%. Kemudian disusul Anies Baswedan dengan perolehan 9,3%," ujar Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari dalam paparannya di Hotel Atlet Century, Jakarta Pusat, Selasa (22/5/2018), dilansir detik.com.

Posisi ketiga diisi Jusuf Kalla dengan (7,9%). Kemudian disusul Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Muhaimin Iskandar. Survei oleh Lingkaran Survei Indonesia bahkan menunjukkan adanya "Gatot Effect". Survei ini mengajukan pertanyaan 'Jika Partai Gerindra/PKB/Demokrat mengajukan Gatot Nurmantyo sebagai capres, partai mana yang akan dipilih dalam Pemilu Legislatif 2019?

"Hasilnya, Gerindra naik menjadi 19,80%, Demokrat naik jadi 16,50%, PKB juga jika mencalonkan Gatot suara PKB menjadi naik hingga 15,80%."

Data-data ini, sekalipun hanya bersifat sementara, tentu tak bisa diabaikan begitu saja oleh partai politik di luar pendukung Joko Widodo. Sebab, mereka sendiri belum punya calon kuat yang bisa menandingi popularitas Jokowi selaku petahana. PKS-Gerindra-PAN-PBB, yang kemungkinan membentuk Koalisi Keumatan, misalnya, tak punya tokoh populer selain Prabowo Subianto.

Sayangnya, popularitas Prabowo seperti sudah mentok, dan butuh tokoh lain yang bisa mengangkatnya. Di sinilah kemudian muncul dilema, apakah mungkin Gatot mau menjadi calon wakil presiden bersama Prabowo, atau sebaliknya?

Gatot bukan berarti tak punya titik lemah. Pertama dan utama adalah dia tak punya partai, dan tak mungkin maju sebagai calon independen karena konstitusi tak memungkinkannya. Apakah tak mungkin Gatot akhirnya bergabung dengan partai politik? Secara pribadi, saya pesimistis terhadap kemungkinan ini. Yang paling mungkin adalah Gatot bergabung dengan partai sesudah dilantik menjadi presiden.

Apa pun skenarionya --apakah Gatot bergabung dengan partai politik atau partai politik akhirnya setuju mencalonkan dia menjadi presiden-- kita bisa melihat situasi Gatot dari 2 sisi:

Pertama, dia adalah tokoh populer yang bukan kader atau anggota partai politik, tetapi berpotensi dicalonkan sebagai presiden atau wakil presiden. Kedua, Gatot sangat paham bahwa partai politik adalah jalan satu-satunya untuk mendapatkan tiket pencalonan menjadi presiden dan wakil presiden, tetapi dia masih bisa melepaskan kontrol partai politik ketika menang dalam Pilpres 2019.

Mengapa Gatot Nurmantyo tiba-tiba populer? Bagaimana peluang Romahurmuziy, Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, Agus Harimurti Yudhoyono, Chairul Tanjung, Mahfud MD, dan lain-lain. Dikusi akan kita lanjurkan pada seri tulisan berikutnya. Saya mau tidur siang dulu. Hehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun