Mohon tunggu...
Tania Widyastuti
Tania Widyastuti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi di Jerman

Saya orang yang suka menulis, tapi malas membaca. Ironis ya kehidupan. Tapi semoga dengan banyak menulis membuat saya semakin termotivasi untuk membaca 😊. Hobi saya adalah berpikir dan shopping hehe. Lalu saya memiliki interest untuk semua tema dan topik pembicaraan karena saya suka belajar sesuatu yang baru, apalagi yang belum pernah saya ketahui sebelumnya.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Enak Ya Makan Rendang, Eh tapi Jangan Kebanyakan

23 Januari 2022   19:00 Diperbarui: 23 Januari 2022   19:17 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto by Mareile Mattlage (2)

Saat saya pertama kali sampai di Jerman, tidak bisa dipungkiri satu per satu Culture shock mulai menghampiri saya. Dengan kata shock, seakan membuatnya terkesan heboh, padahal ada beberapa yang memang mungkin membutuhkan waktu untuk terbiasa dan mengerti, tetapi ada beberapa hal lain, yang lebih kearah: "Okay, ini beda sih sama di Indonesia".

Jadi pada kesempatan kali ini saya mau bahas tetang VEGAN dan VEGETARIAN di Jerman. Berdasarkan Statista(1), jumlah penduduk Jerman yang mengadopsi gaya hidup diatas, jika ditotal, kurang lebih ada 7,5 juta manusia. Bisa dibilang itu hampir 10% dari jumlah penduduk atau dengan kata lain setiap 1 dari 10 orang mereka tidak mengkonsumsi daging atau bahkan semua produk turunan hewani.

Awal-awal di Jerman, waktu itu saya sangat takjub dengan kenyataan bahwa hampir disemua restoran atau bahkan kantin kampus, pasti selalu ada section atau pilihan untuk vegan/vegetarian. Di lingkaran pertemanan saya saat kuliah, yang waktu itu kurang lebih 10 orang, ada 1 teman saya yang vegan dan 1 yang vegetarian. Bayangin kalau di Indonesia, orang mengadopsi vegan/vegetarian umumnya karena alasan kesehatan. Bahkan dalam ingatan saya, saya tida memiliki kenalan yang vegan/vegetarian selama di Indonesia.

Walaupun saya sendiri tidak menjalankan diet vegan/vegetarian, tapi entah kenapa, saya merasa seperti ada benang yang mengikat antara diri saya dengan "fenomena" ini. Bagi saya ini fenomena 😄.

Awalnya saat saya berpikir: orang Jerman itu mungkin karena sudah mencapai standard hidup tertentu dan hidup juga sudah lebih makmur, tenaga dan pikirannya pun perlu disalurkan untuk hal-hal yang lain. Ibarat kata kalau sudah tidak ada masalah dibidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi, sepertinya butuh sesuatu yang lain untuk dipermasalahkan, dipikirkan, dan dicari solusinya. Kalau engga, hidup bakal monoton donk. Makanya hak asasi hewan pun menjadi concern bagi kebanyakan orang Jerman.

Lah disisi lain, negara-negara seperti Indonesia atau negara berkembang lainnya, boro-boro mau mikirin makhluk hidup lain, masih banyak masyarakatnya yang kadang ngga tahu besok mau makan apa, alias kehidupan sendiri saja tidak pasti.

Jadi diawal, saya bukannya mengkritisi atau tidak setuju dengan diet ini, karena ini kan pilihan hidup orang masing-masing. Tapi saya hanya merasa lucu aja. Dibelahan dunia lain, masih ada orang-orang, orang loo, manusia, yang hidupnya itu diperlakukan kaya hewan. Tapi dibelahan dunia lain, ada tempat dimana hewan saja sudah mulai diperhatikan kemaslahatannya. Begitu timpangnya dunia yang kita tinggali ya.

Tidak jarang para aktivis, mereka berdiri di tengah kota dan menggunakan topeng lalu memegang TV untuk memutarkan Video, mengenai jahatnya manusia yang membunuh anak ayam karena tidak bisa dimanfaatkan.

Tapi intinya kalau karena alasan kasihan sama binatang, saya merasa saya kurang bisa tersentuh untuk sampai bisa merubah perilaku saya. Mungkin karena saya juga biasa saja kali ya sama binatang, jadi rasa empati itu tidak terlalu muncul.

Tapi seiring berjalannya waktu, saya juga mulai belajar bahwa ada alasan lain mengapa kita harus memikirkan ulang, pilihan makanan yang kita konsumsi, yaitu karena Climate Change. Berdasarkan data dari EPA(3), Agrikultur, Hutan dan Penggunaan Lahan lainnya itu telah menyumbang 24% emisi karbon. Bahkan lebih tinggi dari yang disumbangkan oleh transportasi (14%). Di sinilah saya mulai galau.

Saya pun mulai mencari informasi dan saya menemukan, bahwa daging dan produk turunannya sangat tinggi emisi karbon karena untuk megembangbiakkan hewan, kita memutuhkan lahan yang pada akhirnya membuat manusia memilih untuk mengorbankan hutan untuk dijadikan peternakan. Belum lagi untuk membesarkan hewan ternak ini dibutuhkan air dan bahan pangan yang banyak. Untuk mendapatkan makanan hewan dibutuhkan lahan lagi (misal untuk menanam jagung).

Jadi bisa dibilang, kenapa kita ngga langsung makan jagungnya aja, dari pada jagung dikasi makan ke sapi terus sapinya baru kita makan. Belum lagi lahan hutan yang berkurang, membuat jumlah pohon semakin sedikit, ini juga harus dihitung sebagai kontribusi pada climate change.

Pada akhirnya setelah galau yang cukup panjang. Saya menyadari bahwa saya harus berubah. Karena ini bukan hanya tentang diri saya dan hewan, tapi ini juga tentang seluruh makhluk hidup yang ada di bumi. Jika climate change dibiarkan terus berlanjut, maka yang musnah bukan cuma manusia, tapi juga bumi dan seluruh isinya. Belum lagi anak cucu kita yang menderita karena mereka lah yang merasakan dampak akumulasi dari climate change.

Tapi kalau saya harus jadi vegan/vegetarian, kok saya tidak sanggup ya 🤣. Lahir sebagai orang Indonesia, dengan kuliner yang begitu beragam dan enak-enak 😘👍🏼👍🏼, membuat saya tidak sanggup untuk give up makan daging. Akhirnya saya pun sampai disatu titik, bahwa mengurangi itu masih lebih mending, dari pada tidak ada action sama sekali.

Jadi instead of tiap hari makan daging atau sehari 3x makan menu daging, bisa dikombinasi dengan menu vegan/vegetarian. Juga jenis daging memiliki dampak emisi karbon dengan tingakt yang berbeda-beda. Terus kadang saya juga suka berpikir, bahwa manusia itu suka take everything for granted. Apalagi kalau harganya murah, manusia memiliki tendensi untuk buang-buang. Dari situ saya jadi mengingatkan diri untuk lebih bijak dalam perilaku konsumsi saya.

Di suatu siang, saat saya selesai makan, terbesit di benak saya:

"Jaman dulu, bisa makan daging itu privilege. Ya karena harga daging kan mahal. Sekarang meskipun harga daging murah, tapi buat saya bisa makan daging itu juga privilege. Karena untuk setiap kilo daging yang kita makan, ada emisi karbon yang dikeluarkan dan itu berdampak buruk untuk planet kita."

PS: mungkin bagi kalian yang tertarik untuk menginformasi diri, sejauh apa dampak pilihan makanan kita dan apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi emisi karbon dari segi pola makan, bisa baca artikel dari New York Times di link berikut ini.

https://www.nytimes.com/interactive/2019/04/30/dining/climate-change-food-eating-habits.html

Sources:

  1. https://de.statista.com/infografik/24000/anzahl-der-vegetarier-und-veganer-in-deutschland/
  2. https://www.westfalen-blatt.de/owl/kreis-minden-luebbecke/luebbecke/die-meisten-schauen-schnell-weg-1302308
  3. https://www.epa.gov/ghgemissions/global-greenhouse-gas-emissions-data

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun