1. Tidak ada sistem absen
Secara umum, sistem kuliah di Jerman tidak mengenal konsep "absen". Jadi pelajar dianggap sudah cukup mandiri untuk menentukan apakah mereka akan hadir ke kelas/lecture tertentu. Disini ngga ada ceritanya nitip absen ke temen ya ✌️ hehe . Yang penting mereka sudah daftar mata kuliah secara online, sisanya itu hak istimewa mereka. Tidak jarang mahasiswa kabur atau bahkan tidak pernah hadir sama sekali ke suatu lecture/latihan tertentu, dengan alasan sebagai berikut: "kelasnya pagi banget", "duh dosennya bosenin banget deh", "dosennya ngga jelas cuy ngajarnya".
Pada dasarnya, cara untuk mendapatkan credit di Jerman adalah dengan lulus ujian mata kuliah tersebut. Jadi selama ujian lulus, ya mission accomplished. Jadi ingat cerita dari teman (sesama orang Indonesia) sewaktu awal kuliah: "iya tan, waktu crucial dateng kuliah itu ada 2. Pertama dan terakhir. Pertama, untuk melihat ini mata kuliah secara garis besar bakal bahas apa dan gimana dosennya. Terakhir, buat cari kisi-kisi sebelum ujian"
Tapi ini tidak berlaku untuk semua hal ya. Ada kegiatan-kegiatan tertentu yang memperhitungkan kehadiran sebagai syarat kelulusan untuk mata kuliah tersebut, misal: beberapa seminar atau kelas bahasa.
2. Tidak ada UTS, hanya UAS
Kalau di Indonesia kita ujian 2x dalam satu semester, tapi lain ceritanya kalau di Jerman. Disini kami hanya ujian sekali dalam satu semester. Ini menurut saya adalah suatu tantangan tersendiri. Karena tidak ada UTS, bahan yang harus dipelajari jadinya lebih banyak, tapi yang keluar cuma 10 nomer 😁. Ya kalau lagi apes, keluar soal tentang tema yang kita kurang paham.
3. Mahasiswa adalah makhluk bebas
Bisa dibilang kami itu memiliki kebebasan untuk melakukan apapun yang "kami inginkan". Misal makan saat lecture atau bahkan mau pacaran (cth: kissing) juga boleh. Saya sendiri ngga pernah melihat langsung (dan semoga ngga perlu lihat), tapi kata temen-teman (sesama orang Indonesia), ada banyak kok mahasiswa yang pacaran dan dosennya pun biasa aja. Tapi tetap aja, mau sebebas-bebasnya, kalau hal yang dilakukan itu dirasa menggagu, maka dosen/teman kuliah juga pasti akan menegur.
Selain bebas dalam bertingkah laku, orang Jerman juga bebas dalam menentukan outfit kuliah. Kalau di Indonesia, kampus itu kan konotasinya institusi formal. Jadi sudah seharusnya kita pakai pakaian yang sopan saat ke kampus. Tapi kalau di Jerman, kita punya kebebasan masing-masing dalam berpakaian. Apa lagi kalau musim panas, yang namanya celana pendek dan tanktop bertebaran dimana-mana. Sandal jepit pun juga masuk dalam daftar, bahkan ada yang nyeker juga (biasanya kaum-kaum hippie). Selain gaya berlibur, gaya berpakaian bak next top model juga ikut meramaikan jagad fashion di kampus. Bajunya lapis-lapis atau bajunya sexy, pakai sepatu high heels dan yang pasti make up tebal.
Saya pribadi punya pengalaman unik slash lucu. Jadi di semester dua, ceritanya waktu itu lagi musim panas, ada satu dosen nih yang outfitnya cukup menarik. Atasan pakai kemeja tapi bawahnnya pakai celana boxer . Celana boxer! Buat aku yang orang Indonesia ini, kombinasi outfit itu terasa cukup mind blowing ya 😆. Pingin foto sih waktu itu, tapi takut kena masalah data privacy. Disini bisa dibilang, ngga cuma mahasiswa doank yang makhluk bebas, begitu pun juga dosennya (walau ngga semua ya).
Awal-awal saya cukup shock, lihat orang pakai baju ke kuliahan kok serasa pergi liburan. Tapi setelah beberapa tahun disini, saya jadi sadar. Di Jerman itu AC bukanlah hal yang lazim kaya di Indonesia. Jadi di rumah atau bahkan tempat sekelas kampus pun juga ngga ada ACnya. Bisa dibayangin kan kalau misalnya di kelas yang isinya 100 orang, itu panas dan pengapnya kaya gimana. Sekarang jadi maklumlah kalau misalnya orang-orang ke kampus kaya mau pergi ke pantai.
PS: pengalaman temen, ada dosen perempuan dia, yang pas ngajar ngga pake BH 🤣🤣🤣 jadi bikin salah fokusss.
4. Kuliahnya cuma 3 tahun
Kalau di Indonesia, pada umumnya minimal kuliah adalah 4 tahun. Tapi kalau di Jerman bisa dibilang cukup bervariasi (6-8 semester). Tergantung dari jurusannya dan jenis kampusnya, tapi di kebanyakan jurusan minimal kuliahnya itu 3 tahun. Hal ini sebenarnya cukup masuk akal, karena di Jerman mahasiswa itu hanya fokus dengan jurusannya. Jadi kami ngga perlu belajar agama (anyway disini banyak orang yang atheis), PPKN, sejarah, bahasa dll. Lalu kalau di Indonesia, mahasiswa dituntut untuk aktiv organisasi. Kalau di Jerman bisa dibilang sepi organisasi. Ikut organisasi itu bukanlah sebuah keharusan karena tidak menambah kredit, tapi lebih untuk mengisi CV.
Hal ini sebenarnya cukup mengakomodir mahasiswa asing yang harus Studkoll dulu selama 1 tahun sebelum kuliah. Jadi in the end waktu kuliahnya sama kaya di Indonesia yaitu 4 tahun kalau lulus tepat waktu.
5. Kuliahnya molor
Kalau di Indonesia, kebanyakan mahasiswanya itu lulus tepat waktu (feeling saya 😄😄). Kalau ada yang molor pun, mungkin jumlahnya tidak terlalu banyak (semoga begitu 😄). Mungkin sehabis baca nomor 4, kita bakal mikir, wah mahasiswa di Jerman harusnya lulus tepat waktu juga donk karena sistem kuliahnya lebih efektif dan efisien. Tapi lucunya, di Jerman situasinya malah terbalik. Berdasarkan data dari statisca.com, angka kelulusan tepat waktu S1 di univeristas hanya 38% dan di Fachhochschule 79%. Angka di Fachhochschule bisa lebih tinggi karena sekolahnya lebih "mudah", lebih banyak praktek ketimbang teori dan pihak kampus (bisa dibilang) lebih memonitor mahasiswanya.
Molornya kuliah di Jerman pun bervariasi, bisa 1 sampai bahkan bertahun-tahun.
- Selain berkuliah, orang Jerman biasanya juga sambil kerja part time. Kalau di Indonesia, saat masih kuliah mayoritas dari kita ya sehari-hari isinya hanya untuk kuliah. Mungkin ada beberapa yang bekerja part time, tapi saya rasa tidak banyak. Kalau di Jerman kerja part time itu adalah hal yang wajar. Karena disini gajinya juga lumayan menjanjikan (10€/jam). Alasan mengapa mahasiswa bekerja pun ada macam-macam: bisa jadi hanya sekedar menambah uang jajan atau untuk menopang biaya hidup karena mungkin orang tua kurang mampu, dll.
- "Libur" kuliah atau cuti kuliah atau Urlaubsemester. Saat mahasiswa mengambil Urlaubsemester, tandanya mereka sudah tahu bahwa di semester itu mereka tidak akan aktif berkuliah dikarenakan alasan tertentu. Oleh karena itu mereka tidak perlu membayar semester fee secara full. Jadi mereka membayar uang semesteran cuma untuk mempertahankan status studentnya. Dan mereka juga sebaiknya mengambil Urlaubsemester, biar ngga dikira malas-malasan.
- Tidak jarang mahasiswa cuti kuliah dengan alasan untuk berlibur. Bisa dibilang orang Jerman itu sangat menikmati hidup dan mereka itu experience oriented. Misal nih kalau kita pergi liburan, mungkin yang penting buat kita cuma foto aja sama landmark di kota atau negara tersebut. Tapi beda cerita kalau buat orang Jerman. Buat mereka, bukan berapa banyak foto atau tempat yang dikunjungi, yang penting, melainkan bagaimana experience selama disana. Makanya orang Jerman kalau liburan itu lama banget. Dan ini juga ada hubungannya dengan point di atas, banyak mahasiswa yang kerja part time untuk persiapan dana liburan mereka.
- Urlaubsemester karena magang atau volunteer. Kalau di Indonesia kita bisa magang kapanpun selama kita bisa dapat tempat magangnya (baik berbayar/tidak). Kalau di Jerman agak berbeda ceritanya, karena magang atau Praktikum itu identik sebagai job untuk mahasiswa yang terdaftar di kampus. Hal ini ada kaitannya dengan kenyataan bahwa mahasiswa itu tidak perlu bayar pajak penghasilan. Oleh karena itu jika perusahaan membuat iklan lowongan magang (berbayar), mereka akan cenderung menghindari orang yang sudah lulus. Makanya sangat penting untuk melakukan Praktikum di tengah-tengah kuliah.
6. Berguguran satu persatu
Seperti point-point di atas. Di Indonesia, kalau orang sudah kuliah, ya biasanya akan dilanjutkan hingga selesai. Walaupun ada juga beberapa yang harus berhenti di tengah jalan karena alasan tertentu. Berdasarkan detik.com, angka putus kuliah di Indonesia berada di 7%. Sedangkan angka putus kuliah di Jerman berdasarkan wikipedia mencapai 33% di tahun 2014. Angka yang cukup fantastis ya.
Kalau opini saya pribadi, buat orang Indonesia kuliah itu bagaikan pattern kehidupan (walaupun belum semua orang memiliki kesempatan untuk berkuliah). Tapi kalau bisa kuliah, ya pasti kuliah lah sehabis lulus SMA. Kalau ngga kuliah kita mau ngapain? Apakah kita sudah siap memilih jalan untuk tidak kuliah? Apa nanti kata orang tua, keluarga besar, teman dan masyarakat? Apakah nanti kita bisa langsung dapat kerjaan? Siapa yang bayarin biaya bulanan? Dari kegaluan-kegalauan itu lah bisa tercermin kenapa orang Indonesia kebanyak memilih kuliah selama mampu.
Kalau orang Jerman, mereka adalah individu yang relativ lebih cuek dan suka mengejar atau pursue passion mereka. Menurut saya, hal ini bisa terjadi karena sistem pemerintahan di Jerman sudah sangat bagus dan tentu saja keuangan pemerintah yang kuat. Sebagai warga negara Jerman, orang tidak perlu khawatir lagi dengan kehidupan mereka (ada asuransi, ada bantuan dari pemerintah). Jadi kalau mereka menganggap kuliah sudah tidak worth it lagi, ya ngapain harus dijalani? Disini banyak opsi lain yang bisa dilakukan, misalnya Ausbildung atau mencari kerja. Makanya ngga heran kalau dari satu semester ke semester berikutnya, jumlah mahasiswa di berbagai jurusan itu pasti selalu berkurang.
7. Siapapun bisa jadi teman kuliah
Yup benar, siapa saja bisa duduk dibangku kuliah sebelah kita (ibu hamil, opa oma, tante om).
Kalau di Indonesia, biasanya teman kuliah itu ya teman sebaya, atau orang yang setahun lebih tua/lebih muda. Adapun juga bapak/ibu yang berkuliah, tapi biasanya mereka S2 atau S3. Kalau di Jerman siapa pun bisa berkuliah selama masih memiliki keinginan untuk itu. Sebenarnya di Indonesia, siapa pun juga bisa berkuliah, tapi coba kalian bayangkan, kalau ada orang umur 40 tahun dan punya anak 4, apakah mereka masih mau berkuliah S1 di usia segitu dan di tengah situasi kehidupan seperti itu?
Lain cerita kalau di Jerman. Dulu ada sesama rekan kuliah yang memenuhi deskripsi di atas. Waktu itu saya begitu takjub dan memberanikan diri untuk bertanya kenapa dia memutuskan untuk kuliah setelah sekian lama. Jawabannya: ya karena setelah ia pikir-pikir lagi, berkuliah adalah sebagai bentuk self-actualize. Dia udah kerja, udah jadi mama dengan anak-anak yang wonderful, tapi kok rasanya masih ada yang kurang ya? Nah itulah alasan yang memotivasi dia untuk terjun lagi ke dunia perkuliahan.
Jadi di Jerman adalah hal yang umum kalau orang kuliah tidak sesuai dengan usia yang "seharusnya". Ada juga mahasiswa yang bawa bayi/anak ke lecture.
8. Bafög
Kalau di Indonesia, pada umumnya biaya kuliah dan biaya hidup saat berstatus mahasiswa adalah tanggungan orang tua.
Di Jerman sendiri biaya kuliah di universitas negerinya terbilang sangat terjangkau karena mendapat subsidi dari pemerintah. Besaran semester fee yang dibayarkan itu tergantung kota dan tahun kuliah. Kalau berdasarkan pengalaman saya, di tahun 2021 di kota Göttingen saya membayar kurleb 390€ (setara 6,3 juta rupiah) untuk satu semester. Dengan membayar semester fee, saya juga otomatis mendapatkan fasilitas transportasi bus di dalam kota dan juga bisa mengakses kereta regional ke seluruh kota yang ada di provinsi Niedersachsen (disebut Semesterticket).
Meskipun semester fee sudah terbilang sangat murah (bahkan lebih murah dari universitas di Indonesia), pemerintah Jerman juga masih memberikan kemudahan untuk mahasiswa-mahasiswa yang kurang mampu. Jadi mahasiswa bisa mengajukan pinjaman/hutang ke pemerintah untuk membiayai kehidupan sehari-hari mereka (sewa appartment, konsumsi dll). Nah pinjaman ini disebut Bafög.
Pinjaman ini tidak memiliki bunga dan dikembalikan dengan cara dicicil jika mahasiswa tersebut sudah bekerja. Dan jika seorang mahasiswa berhutang cukup banyak, maka angka maksimal yang harus dikembalikan hanya 10.000€ saja. Jadi misal total biaya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan studi adalah 11.000€, maka mahasiswa tersebut cukup membayar 10rb saja.
9. Tidak ada senioritas
Yup ini sangat benar sekali. Disini kami semua itu setara, ngga ada yang namanya kakak kelas atau adik kelas. Bahkan dosen pun tidak melakukan praktik senioritas. Kalau di Indonesia mahasiswa akan takut dengan dosen atau adanya konsep "dosen selalu benar". Kalau disini terbalik 180°. Mahasiswa bisa saja berdebat dengan dosen, selama mahasiswa memiliki alasan/argument yang kuat mengenai pendapatnya. Dosen juga bisa dihujat habis-habisan pada saat evaluasi di akhir semester (misal: dikomplain karena dianggap ngga bisa ngajar). Jadi di akhir semester, pasti selalu ada quisioner evaluasi mata kuliah dan dosen pengajarnya. Disitu mahasiswa bisa memberi kritik, pujian dan saran perbaikan. Bentuk penyampaiannya pun tidak hanya secara tertulis, tapi juga bisa disampaikan secara langsung kepada yang bersangkutan.
Tapi sebenarnya ngga perlu nunggu sampe waktu evaluasi. Dalam praktik sehari-hari banyak mahasiswa yang memberikan feedback atau saran ke dosennya. Misal power pointnya kurang jelas atau bisa minta upload powerpointnya lebih cepat. Dan si Dosen akan dengan senang hati menerima hal tersebut.
Aku pernah diceritain sama temenku. Jadi temen dia (3 orang) ngelawan satu dosen saat mereka field trip ke hutan. Jelas pasti selama berdebatan itu suasana menegang. Tapi kata temenku, setelah perdebatan selesai, ya mereka biasa aja satu sama lain. Disini aku merasa, mereka cukup profesional. Walaupun kesannya mereka kaya "ngelawan", tapi sebenarnya begitulah cara mereka mengutarakan dan mempertahankan argument mereka. Yang pasti orang Jerman dididik, kalau mereka punya argument, mereka harus bisa membuktikan kalau argument itu benar. Jadi bukan asal ngomong aja.
Tapi aku pribadi punya pengalaman yang berbeda. Jadi ceritanya, aku ada seminar. Nah yang ngebawain seminar itu adalah orang Denmark, jadi bisa dibilang bahasa Jerman dia agak ngga jelas. Suatu hari dia melontarkan suatu pertanyaan dan temanku yang menjawab. Lalu jawaban temanku ini sepertinya tidak terlalu benar. Tentulah si dosen menyanggah jawaban dia (dengan cara yang baik loh). Yang aku kaget adalah, temenku kaya ngga terima kalau jawaban dia disalahkan. At that moment, entah kenapa, aku merasa kalau temenku ini merasa dia lebih superior dari pada dosennya gitu. Dia kaya ngotot kalau jawaban dia itu masih relevant dan blablabla. Sedangkan dosennya sendiri mungkin susah juga jelasinnya karena dia terbatas juga bahasanya. Jadi pada akhirnya si Dosen kaya "mengiyakan". Yang aku ngga habis pikir disini adalah, kenapa orang harus segitunya cuma untuk hal gak penting. Aku pribadi malah merasa, temenku sudah kelewat batas. Ya mungkin karena aku masih kental dengan kultur asia 😂😂. Sebenarnya semua akan lebih indah kalau kita bisa di tengah-tengah. Jadi kita bisa perpendapat, tapi masih dalam ranah yang sopan 😊.
Semoga melalui tulisan ini, teman-teman jadi bisa ada gambaran bagaimana situasi kuliah di Jerman :) Saya pribadi merasa, setiap negara atau universitas memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Tinggal pintar-pintarnya kita melihat dan memanfaatkan sisi positifnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H