Yang namanya sakit, adalah suatu kondisi yang tidak bisa kita ketahui atau bahkan hindari.
Bagi orang-orang yang sudah bekerja, situasi seperti ini akan dianggap double merepotkan jika bekerja di tempat/perusahaan yang memotong gaji kita di saat tidak bisa masuk bekerja. Bagaikan pepatah: sudah jatuh masih ketimpa tangga pula.Â
Tapi di jaman yang sudah lebih berkembang saat ini, kesejahteraan karyawan pun juga sudah lebih diperhatikan. Mungkin hal-hal tersebut hanya berlaku bagi karyawan toko kecil atau yang tanpa kontrak. Bisa dibilang perusahaan yang notabennya sudah besar pasti memberikan cuti sakit bagi karyawannya.
Berdasarkan website LinovHR, di Indonesia sendiri sudah ada peraturan undang-udang yang mengatur masalah hak cuti tersebut. Jadi teman-teman tidak perlu khawatir lagi ya kalau gaji kalain akan dipotong gegara tidak masuk kerja akibat tidak enak badan. Namun, peraturan dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya bisa berbeda-beda.Â
Misal ada perusahaan yang mengijinkan karyawannya untuk bisa ijin sakit selama satu hari, dimana cuti sakit ini akan dipotongkan dari cuti tahunan yang jumlah minimalnya adalah 12 hari dalam setahun.Â
Di sisi lain, ada juga peraturan yang telah ditetapkan di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003: bagi yang mengalami sakit parah atau berkepanjangan (dengan keterangan dokter) juga masih bisa mendapatkan gaji 100 persen selama empat bulan pertama, lalu empat bulan berikutnya menjadi 75% dan semakin lama semakin sedikit, bahkan adanya kemungkinan untuk di PHK setalah 16 bulan sakit.
Lain cerita kalau masalah percutian di Jerman. Di Jerman sendiri, dilansir dari finanztip.de, karyawan biasanya mendapatkan jatah cuti tahunan atau jatah Urlaub sebanyak 30 hari atau setara dengan 6 minggu (mayoritas pekerjaan di Jerman bersifat 5 hari kerja dalam seminggu). Selain itu juga ada jatah tersendiri untuk cuti sakit yang jumlahnya 30 hari.Â
Menariknya, jika penyebab karyawan sakit atau berhalangan untuk bekerja ada beberapa, maka jatah cuti sakit pun akan disesuaikan. Contoh, Bapak A mengalami kecelakaan pada hari terakhir bulan Februari dan harus beristirahat di rumah selama 30 hari, maka Bapak A masih akan mendapatkan gajinya meskipun tidak bekerja.Â
Lalu kemudian Bapak A mengalami burnout (kelelahan mental akibat pekerjaan) pada bulan April dan harus beristirahat di rumah selama 10 hari, maka Bapak A juga masih akan mendapatkan gaji full. Hal ini bisa terjadi, karena penyebab sakit atau berhalangan hadirnya dianggap berbeda.
Di sisi lain, seorang karyawan juga mendapat jaminan akan terus digaji, meskipun hari sakitnya melebihi 30 hari. Hal ini bisa terjadi, karena pihak asuransi yang akan mengambil alih proses pembayaran gaji.Â
Dilansir dari website asuransi TK.de, pihak TK akan men-take over sebanyak 78 minggu atau setara 390 hari dalam periode 3 tahun dan tidak dipengaruhi dari berapa banyak penyebab tidak hadirnya. Contoh, Ibu B mengalami sakit tipes dan harus menjalani perawatan di rumah sakit dan juga recovery di rumah. Proses itu memakan waktu 40 hari. Maka Ibu B akan terus mendapat gajinya, 30 hari dari perusahaan dimana ia bekerja dan 10 hari dari perusahaan asuransi.
Setelah melihat kedua sistem cuti di atas, bisa dibilang lebih enak menjadi karyawan di Jerman, ya. Jatah cuti tahunan dan cuti sakit bisa dibilang sangat memadahi. Bahkan jika sakitnya kurang dari 3 hari, beberapa perusahaan tidak mengharuskan untuk memberikan surat keterangan dokter. Jadi kalau misal ada karyawan yang masuk angin, mereka hanya perlu memberikan kabar ke atasan dan otomatis gaji tidak akan terpotong.
Ini belum lagi bahas tentang cuti hamil dan cuti parenting yang kalau di total-total bisa 3 tahun di Jerman. Di satu sisi, pemerintah Jerman terlihat inging memberikan kesejahteraan yang maksimal bagi rakyatannya. Namun di sisi lain, ada sifat dasar manusia yang suka mengexploitasi dan memanfaatkan keadaan untuk menguntungkan diri sendiri.
Dari pengalaman pribadi penulis yang bekerja part time di Jerman, peraturan-peraturan ini bisa dibilang memiliki potensi untuk merugikan pihak tertentu dan menguntungkan pihak lainnya.Â
Mengapa bisa begitu?
Karena orang jadi mudah sekali untuk bolos "sakit", padahal sebenarnya itu hanya alasan aja untuk memulai lebih awal weekend mereka. Karena di Jerman, kamu tidak harus bener-bener tepar, yang sampe tidak bisa berdiri dari kasur, untuk bisa dianggap sakit kalau dalam hal bekerja. Kamu pegel-pegel aja itu sudah jadi alasan yang cukup untuk bisa ijin sakit. Dari sini, terkesan kalau perusahaan adalah pihak yang paling dirugikan ya. Kalau bisa dibilang, sebenarnya sih perusahaannya itu bodo amat.Â
Mereka itu punya dananya kok. Kalau itu emang sebegitu merugikan, mungkin mereka lebih milih tutup aja dari pada rugi. Kalau masih jalan sampai detik ini, berarti perusahaan masih untung kan, meskipun harus mengakomodir karyawan-karyawan yang kaya gitu.Â
Jadi, pada akhirnya yang jadi korban adalah orang-orang yang kerja di hari itu. Karena kekurangan orang, bisa dibilang yang dateng kerja hari itu harus lembur supaya kerjaan selesai. Emang sih kalau lembur itu tetep digaji lebih, tapi kan lebih enak jadi yang "sakit", tinggal leyeh-leyeh di rumah, tapi juga tetep digaji. Bisa dibilang ini kaya orang nyolong tapi tidak bisa dihukum.
Dari sini penulis belajar sih. Mungkin orang-orang yang suka bolos itu, tidak akan kena sanksi tertulis atau pidana. Tapi jelas sanksi sosial ngga akan terlewatkan. Kalau mereka suka egois, rekan kerja pasti akan kehilangan respek.
Source:
Linovhr
Test.de
Tk.de
Aok.de
Igmetall.de
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H