Perkelahian, kekerasan, balap motor yang berisik, pembunuhan, dan segala peristiwa ekstrim yang ada tidak lantas membangunkan si 'burung'. Sepertinya ini adalah sebuah alegori bagaimana kesadaran perlawanan dan kemerdekaan manusia bisa dibungkam dan ditidurkan sekian lama oleh dan di tengah praktek kekerasan, meskipun merupakan kebutuhan vital manusia dalam kehidupan.
Pada akhirnya, film garapan Edwin ini dapat dinilai telah paripurna mengangkat sebuah karya sastra penting ke medium seluloid populer. Hal-hal yang dulu dianggap tabu, tak layak, dan tak nyaman, semua hadir di sini bukan tanpa maksud. Sisi kehidupan manusia Indonesia era tersebut dalam film ini adalah kisah kerakyatan yang konon dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan, namun tidak didokumentasikan secara terbuka. Â
Menikmati film Seperti Dendam, seperti menikmati sebuah menu makanan yang telah lama dilarang dan disembunyikan resepnya. Rasanya cukup membuat terkejut, pahit, dan mungkin ekstrim, namun tetap ada sejumput manis nostalgia tersembunyi dan pelan-pelan melingkupi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H