Mohon tunggu...
Tania Salim
Tania Salim Mohon Tunggu... Guru - Guru

Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bersatu Dalam Kedamaian

30 Juni 2024   16:56 Diperbarui: 30 Juni 2024   17:02 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Lina menyenggol tangan kiriku dengan lembut, " Ada apa, Nia? Kok kamu menangis?" katanya berbisik, takut dimarahi orang sebioskop.

     Aku tak sanggup berkata apapun karena air mataku menetes terus tanpa dapat kucegah.

     Aku seperti terhipnotis oleh film yang sedang kami tonton, seolah-olah akulah tokoh utama dari film tersebut, yakni sang Nenek yang sedang menderita kanker usus dan sedang meratapi perasaan sakit yang amat sangat sehingga lebih memilih mati daripada hidup dalam kondisi kesakitan yang tak tertahankan olehnya.

     Sejenak anganku melayang ke masa lima tahun yang lalu, tahun 2019. Tahun di mana Covid-19 mewabah di berbagai penjuru dunia dan mengakibatkan kematian dadakan dan dalam jumlah yang besar di mana-mana.

     Pada tahun itu juga aku terdeteksi menderita kanker nasofaring. Segumpal daging tumbuh di lubang pangkal hidungku yang mancung tanpa diundang.

     Masa menjalani pengobatan yang melelahkan jasmani dan batin, namun tidak sampai menggunakan sesuatu seperti sandal/sepatu sebagai tanda bahwa sang Pasien sedang menunggu gilirannya, seperti yang muncul di layar lebar, yang menyebabkan para penonton tertawa dan sekaligus menyadarkanku di mana diriku saat ini.

     Pikiranku kembali ke film yang penuh makna yang tersirat. Seru banget!

     Kisah kehidupan sang Nenek dilanjutkan dengan perebutan harta warisan beliau berupa sebuah rumah peninggalan almarhum suaminya yang sedang ditempatinya seorang diri walaupun anaknya ada 3 orang, dua lelaki mengapit seorang anak perempuan yang telah menjadi janda beranak satu.

     Cucu sang Nenek sudah tamat SMA dan menurut pemikiran sang Nenek, cucunya orang yang malas, yang kerjanya  hanya duduk di depan komputer setiap hari.

     Kesedihan sang Nenek tak terbendung ketika mengetahui bahwa bukan hanya anak-anaknya saja yang menginginkan harta warisan tersebut hingga rela gontok-gontokan, tetapi sang Cucu yang sangat disayanginya juga menipunya dengan berpura-pura baik mendampinginya sejak dia sakit tetapi mencoba menjual rumah tersebut via online.

     Akhirnya Nenek membulatkan tekad untuk memberi pelajaran kehidupan kepada sang Cucu sebelum meninggalkan dunia yang fana ini, terutama tentang berbakti kepada orang tua dan menjaga hubungan kekeluargaan agar tetap erat meskipun Beliau telah tiada. Paling tidak, semua anggota keluarga mau berkumpul dalam rangka berziarah ke makamnya.

     Di akhir cerita, sang Nenek berhasil mewujudkan impiannya lewat cucunya. Ternyata selama ini sang Nenek menabung uang secara rutin untuk masa depan Cucunya, dan sang Cucu yang telah memahami keinginan sang Nenek tercinta, rela menggunakan dana tersebut untuk bisa memakamkan neneknya di tanah pekuburan yang layak, yang memungkinkan keluarganya untuk berkumpul pada saat berziarah ke kuburan neneknya demi menyatukan anak cucunya dalam damai walaupun sang Nenek telah tiada.

     " Untung filmnya happy ending ya, Lina. Sebab kalau tidak, aku harus menanggung malu keluar dari bioskop dengan mata yang sembab," bisikku kepada teman nobarku.

     " Hahaha...," kami tertawa bareng.

    

Kisah nyata dariku sebagai seorang pendidik dan juga penyintas kanker nasofaring. Semoga bermanfaat bagi para pembaca tersayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun