Mohon tunggu...
Alya Militania
Alya Militania Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Selamat membaca dan terima kasih telah berkunjung!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Mengenal Sosok Bu Atun, Nenek Pedagang Cilok Murah Senyum

10 Januari 2022   09:07 Diperbarui: 10 Januari 2022   12:12 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senyuman terlihat diwajah Bu Atun yang memakai masker saat berjualan cilok di siang hari (Dokpri)

“Hati saya senang ketika bisa berjualan seperti ini walau cuma dagang cilok. Yang penting halal, kiasannya juga ada uang jajan lah untuk saya,” ujar Bu Atun, penjual cilok sekitaran utara UMY, Senin (13/12) kemarin.

Cilok adalah salah satu street food yang paling sering kita jumpai dimana saja dan biasanya gampang untuk menemukannya di depan sekolah.

Walaupun simpel, makanan khas Sunda yang terbuat dari tapioka ini termasuk banyak digemari oleh berbagai usia dan kalangan.

Bu Atun mulai berjualan cilok pukul 9 pagi setiap harinya di sebelah utara UMY.

Siang terik itu dengan berpeluh dan masker yang longgar, Bu Atun dengan semangat menceritakan kisah hidupnya. Senyum tak pernah surut dari raut mukanya yang seperti mensyukuri apa yang dilakukannya sekarang.

“Ini aku cuman jualin, kalau bikin sendiri tidak mampu. Juragan yang punya ciloknya ada di sana,” terangnya sambil menunjuk rumah yang berwarna hijau.

Sesekali penjual cilok berusia 63 tahun ini menghentikan pembicaraannya untuk melayani pembeli. Tangannya yang keriput itu dengan cekatan membuka panci yang berisi cilok dan memasukkannya ke wadah plastik untuk pembelinya.

Selain itu, Bu Atun juga membiarkan orang-orang untuk numpang berteduh di bawah payungnya yang lusuh itu.

Bu Atun memiliki 3 orang anak yang telah berkeluarga. Anak dan suaminya pun menetap di Prambanan meninggalkan Bu Atun yang mengais rezeki seorang diri di Bantul.

“Orangtua yang harusnya memberi uang ke anak, jadi saya sendiri tidak enak kalau mendapatkan uang dari mereka,” ujarnya.

Telah satu tahun sejak Bu Atun memilih untuk berjualan cilok demi menghidupi kebutuhannya.

Usut punya usut, Bu Atun sempat menjadi asisten rumah tangga selama 5 tahun. Namun dirinya yang sudah tua renta ini tak sanggup lagi melakukan pekerjaan rumah sehari-hari.

“Jadi pembantu susah, saya bangun itu jam setengah enam. Nanti, anak majikan saya masuk kamar jam 9. Habis itu saya tidak tidur, gosok (menyetrika),” keluhnya.

Setelah orangtua Bu Atun meninggal dunia, nenek yang sudah tua ini memikul beban untuk mencari pekerjaan lain selain asisten rumah tangga.

Untungnya tidak lama setelah itu, ada sosok dermawan yang menyarankannya untuk bergabung ke yayasan dan akhirnya berjualan cilok.

Pemilik senyum yang tak pernah pudar ini mengaku enjoy berjualan cilok, suatu pekerjaan yang mengharuskannya untuk tetap berdiri menjaga dagangan dan berinteraksi dengan pembeli.

“Saya senang berjualan cilok dibanding hanya diam bengong saja dirumah. Ada pekerjaan lah,” ungkapnya.

Kegiatan berjualan Bu Atun selesai pukul 9 malam. Saat sedang ramai pembeli, Bu Atun bisa berjualan sampai jam 10 malam. Ketika jualannya sudah habis, Bu Atun menuntun gerobak ciloknya ke rumah juragannya.

Setelah itu, dengan beralaskan sendal jepit lusuh, nenek yang telah berjualan cilok seharian ini harus berjalan kaki sejauh setengah kilo untuk sampai di kontrakannya yang berada dekat pasar Gamping.

Dari pengakuan Bu Atun, hasil berdagang ciloknya sudah bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Bahkan ada yang beliau sisihkan untuk tabungan masa depannya kelak.

Sebagian dari hasil jualannya juga dipakai lagi untuk membiayai ongkos beliau balik ke Prambanan dua minggu sekali untuk berkumpul dengan keluarganya.

Ternyata rasa berkecukupan dan syukurnya itulah yang menjadi kunci beliau tetap sehat dan awet muda.

Bu Atun menerangkan bahwa dirinya tidak ingin ikut-ikutan saat orang lain sudah ada motor, rumah dan sebagainya. Beliau hanya melihat kondisi dan kemampuannya sampai dimana.

“Kalau kemampuan saya hanya sampai makan, ya makan aja. Kalau hidup dan berpikir untuk harus menyesuaikan dengan masyarakat, itu yang berat,” tutupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun