Mendengar kata 'kriminologi', sering kali persepsi yang muncul dalam benak orang awam adalah hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan detektif, penyelidik, polisi, atau bidang lain yang tugasnya menangkap penjahat. Â Namun, apa sih sebetulnya kriminologi itu? Lalu, bagaimana dengan ilmu kriminologi forensik? Seperti apa perannya di Indonesia?
Dilihat secara bahasa, kata kriminologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kejahatan. Kriminologi pun termasuk ke dalam salah satu disiplin ilmu pengetahuan ilmiah.Â
Sebagaimana ungkapan W. A. Bonger (1970, dalam Mustofa 2010) yang menyebut kriminologi sebagai "ilmu pengetahuan yang menyelidiki kejahatan seluas-luasnya".Â
Kriminologi tidak hanya membahas kejahatan dengan sekadarnya saja, tetapi juga membahas berbagai lapisan aspek di dalamnya, seperti gejala sosial kejahatan, perilaku menyimpang, ciri-ciri pelaku dan korban kejahatan, sistem peradilan pidana, reaksi sosial yang dibentuk oleh kejahatan, dan sebagainya.
Dengan demikian, berbagai aspek bahasan tersebut mengarahkan kriminologi sebagai suatu pendekatan mempelajari kejahatan yang sifatnya multidisiplin.
Sama halnya dengan kriminologi, istilah 'forensik' pun kerap dilabeli sebagai suatu pekerjaan membedah mayat korban kejahatan atau visum sebagai pembuktian di pengadilan. Meski begitu, forensik sejatinya memiliki arti yang lebih luas.Â
Agar suatu tindakan dapat diproses di pengadilan, tentu ia harus bisa dibuktikan sebagai suatu kejahatan. Di sinilah ilmu forensik hadir, yakni sebagai proses pembuktian untuk membuat terang kejahatan supaya lebih mudah terungkap.Â
Melalui metodologi ilmiahnya, ilmu forensik dapat menghasilkan alat bukti sah dan terpercaya guna merekonstruksi kasus, membantu pengungkapan kasus oleh aparat penegak hukum, menentukan kepastian hukum, menyelesaikan sengketa, dan lainnya.
Tentunya, kriminologi forensik sendiri berhubungan dengan penggunaan metode ilmiah forensik sebagai pembuktian tindak kejahatan.Â
Di Indonesia, ada beberapa bidang yang akrab digunakan untuk menerangkan suatu kasus di pengadilan, antara lain:
- kedokteran forensik,
- psikiatri forensik,
- toksikologi forensik,
- digital forensik,
- psikologi forensik,
- linguistik forensik,
- grafologi forensik,
- antropologi forensik,
- akuntansi forensik, dan sebagainya.
Sebagai contoh, antropologi forensik memiliki peran besar dalam kasus bom bunuh diri yang terjadi di dua hotel di Jakarta pada 2009 lalu. Melalui identifikasi potongan tubuh yang ditemukan di lokasi terjadinya kejahatan, dapat diketahui siapa pemilik bagian tubuh tersebut, apa jenis kelaminnya, berapa usianya, dan lainnya.Â
Tidak hanya itu, dapat digunakan pula metode analisis DNA, sidik jari, dan rekam perawatan gigi (odontologi) korban/pelaku untuk membantu identifikasi selanjutnya.
Contoh lainnya adalah kasus pemalsuan dokumen yang ingin dibuktikan di pengadilan. Dalam hal ini, ilmu grafologi forensik tepat digunakan untuk menganalisis orisinalitas tulisan hingga tanda tangan seseorang. Ilmu ini mampu menganalisis tulisan manusia yang sifatnya unik untuk memetakan profil pelaku kejahatan, maupun sebagai alat bantu ilmu psikologi untuk mengungkap kejahatan.
Dengan demikian, tiap-tiap bidang ilmu forensik tersebut memiliki fokusnya tersendiri, serta penggunaannya pun akan disesuaikan kembali berdasarkan dengan jenis kejahatan, barang atau alat bukti yang diperlukan, hingga identitas pelaku atau korbannya.
Referensi:
Mustofa, M. (2010). Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Bekasi: Penerbit Sari Ilmu Pratama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H