Halo, pembaca setia Kompasiana! Pada artikel kali ini, saya akan membahas jaminan HAM yang paling sering dilanggar oleh negara maupun individu. HAM adalah Hak Asasi Manusia. HAM merupakan anugerah dari Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia sejak manusia berada di dalam kandungan. Hak ini meliputi hak hidup, hak milik, dan hak kebebasan. HAM dijamin oleh negara di dalam UUD 1945.
Pasal 28D ayat 1 berbunyi, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum". Atau dengan kata lain, pasal ini menjelaskan tentang keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang juga tercantum pada sila keempat Pancasia.
Maka, dengan jaminan HAM itu, manusia tidak perlu merasa takut atau cemas karena semua orang dianggap sama di mata negara dan mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Korupsi, pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, dan segala perbuatan hina lainnya akan ditindak oleh hukum secara tegas dan mendapatkan hukuman bagi pelaku dengan setimpal. Seperti Tuhan yang tidak pernah membeda-bedakan umat-Nya, bukan? Maka, itulah enaknya hidup di Indonesia.
Namun, berhentilah bermimpi. Seringnya, teori tidak sejalan dengan praktik, ekspetasi tidak sesuai dengan realita, dan kenyataan tidak seindah mimpi. Sistem hukum di Indonesia, diangkat oleh uang, uang, dan uang.
Coba kita lihat, nenek Asyani yang dituduh mencari 7 kayu jati 15 cm, dituntut 5 tahun penjara. Sedangkan, Mardijo, Ketua DPRD Jawa Tengah, terbukti menilap uang APBD Rp 14,8 Miliar dihukum percobaan 2 tahun penjara. Ada pula, pelajar SMK bernama Aal yang masih berusia 15 tahun dihukum 5 tahun penjara karena mencuri sandal jepit milik polisi. Sedangkan, Angelina Sondakh yang korupsi Rp 12,58 Miliar dihukum 4,5 tahun penjara.
Di mana jaminan HAM yang "katanya" memberikan perlakuan yang sama di hadapan hukum?
Sebelum dijatuhi hukuman, korban dan pelaku kejahatan akan dibawa ke sidang. Di suatu sidang, akan ditemui hakim, jaksa dan pengacara. Ketika pihak tersebut memiliki tugas yang berbeda.
Jaksa bertugas melakukan penyidikan, membuat berkas tuntutan dan kemudian menuntut terdakwa dengan tuntutan tersebut di sidang. Selain itu setelah putusan di sidang, jaksa jugalah yang bertugas melakukan eksekusi, misalnya menjebloskan terpidana ke penjara atau melepaskannya dari tahanan.
Sementara itu tugas pengacara adalah memberi pendampingan hukum, membela dan memastikan bahwa seorang kliennya mendapat perlakuan hukum yang layak. Bila dalam penyelidikan terjadi tekanan atau paksaan kepada terdakwa, maka pengacaralah yang berkewajiban menunjukkan hal tersebut ke persidangan.
Sedangkan, tugas Hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan semua perkara yang diajukan dalam sidang tersebut. Putusan bisa bermacam-macam, bisa mengabulkan permohonan pengacara untuk dibebaskan atau bisa mengabulkan tuntutan jaksa sehingga diberikan hukuman kepada terpidana.
Berdasarkan posisinya juga terdapat perbedaan. Hakim saat ini statusnya adalah penjabat negara, yang secara administrasi masuk ke ranah judikatif, dibawah Mahkamah Agung RI.
Sementara itu, seorang jaksa adalah pegawai negeri sipil yang secara administratif masuk ke ranah eksekutif, di bawah Kejaksaan Agung RI.
Sedangkan pengacara adalah orang perseorangan yang telah mendapat izin melakukan praktek hukum dan telah disumpah sebagai advokat. Dengan kata lain, hakim dan jaksa adalah aparatur negara sedangkan pengacara adalah swasta.
Mari kita buka kartu saja. Klien harus mengatakan segalanya yang sesungguhnya ke pengacara. Tetapi, pengacara yang seharusnya memberikan pernyataannya agar kliennya mendapat perlakuan hukum yang layak, malah menjadi pengacara yang berusaha menutupi dosa klien jika klien melakukan kesalahan. Ditambah lagi, klien pasti memberikan upah yang "lebih" dari upah standar pada umumnya untuk menutup dan mengendalikan mulut pengacara agar bicara sesuai keinginan klien, klien dinyatakan tidak bersalah, dan klien bebas dari hukuman.
Sedangkan, jaksa dibayar oleh negara dengan upah yang tidak bisa ditawar lagi, tidak seperti pengacara. Maka, logikanya, jika jaksa tidak berprofesional maka jaksa akan seenaknya sendiri karena jaksa tidak mendapat angka uang yang diingankannya. Sebagai contoh, jaksa digaji oleh negara sebanyak x, tetapi pengacara dibayar oleh klien sebanyak 5x. Pasti, yang mendapatkan uang lebih, dia yang akan bekerja lebih, bukan? Kasarannya, uang tersebut adalah sogokan.
Lalu, jika diberikan kasus sebagai berikut : A adalah pejabat negara yang telah melakukan korupsi. Kemudian, A mencari pengacara yang terkenal sudah sering menang dalam beberapa kasus. A menceritakan segalanya kepada pengacara dan meminta agar pengacara dapat mengurangi hukumannya atau bahkan lolos dari hukuman. Sehingga, pengacara meminta upah lebih sebagai uang tutup mulut. Misalnya, pengacara meminta upah sebanyak 60 juta. A menyetujui asalkan ia bisa bebas dan tidak menanggung kesalahan yang dibuatnya. Jaksa, yang tidak professional, hanya mau berjalan jika ada uang, dan tidak pintar, maka akan kalah. Bisa juga, jika jaksa pintar pun, pengacara mau memberikan uang ke hakim sebagai sogokan sehingga ia dan kliennya bisa menang. Kesimpulannya, masalah bukan diatasi, tetapi malah disembunyikan. Lantas, kapan Indonesia dapat lepas dari segala kemunafikan ini?
Itulah mengapa hukum di Indonesia tidak pernah benar. Karena kuatnya uang, keadilan dihapuskan. Mereka yang kaya semakin dipandang dan diagungkan, sedangkan mereka yang rakyat jelata semakin tertindas? Untuk apa mereka yang berpendidikan S1, S2, hingga S3, tetapi tidak memiliki moral? Make sense kah?
Saya berharap, generasi saya dan kita semua saat ini dapat menghapus "dosa" negara ini, menegakkan keadilan, serta membangun Indonesia yang lebih baik.
AMDG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H