Mohon tunggu...
intania sahara
intania sahara Mohon Tunggu... Freelancer - Intania Sahara

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sejuta Pesona di Wae Rebo

26 Oktober 2017   13:45 Diperbarui: 29 Oktober 2017   23:07 3282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kasih Ibu Sepanjang Masa, nyanyian kami pagi ini

FLORES -Perpaduan 7 rumah berbentuk Kerucut yang terletak di Flores, Nusa Tenggara Timur, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai  Nampak begitu menawan.  

Kampung Adat, Desa Wae Rebo tersembunyi di lereng gunung Manggarai di tengah hutan belantara, dikelilingi oleh bukit - bukit, dan kerap diselimuti kabut berada di tengah hutan belantara. 

Perjalanan  trekking akan ditempuh  sejauh 9 km  dengan ketinggian 1.200 meter diatas permukaan laut dapat ditempuh selama 4 - 5 jam waktu normal tergantung kondisi fisik  masing - masing. Saya bersama teman saya Cindy dan guide kami mas Syahril, tiba di detik - detik terakhir,  dengan waktu yang tersisa kami bersyukur bisa sampai sebelum gelap. Apalagi kontur  jalan berlika liku dan menanjak sehingga kami membutuhkan tenaga yang ekstra untuk mencapai kesana.

Untuk teman -teman yang ingin ke Desa Wae Rebo berdasarkan perjalanan kami, memulai trekking di pagi lebih baik, pertama udara pagi jauh lebih segar untuk berjalan kaki, dan yang terpenting perjalanan lebih aman dan santai. 

Semua lelah itu sesaat sirna ketika pertama kali menjajaki kaki  ke  plantaran Desa Wae Rebo. Suara kicauan burung, jangkrik, dan gong gongan anjing yang terdengar bersahabat kian mendekat, saya merasakan ketenangan dan kedamaian yang utuh,  menyatu dan intim dengan alam sekitar.

7 rumah Desa Wae Rebo
7 rumah Desa Wae Rebo
Seekor anjing berlari lari kearah kami, senyuman dari penduduk dan beberapa turis asing nampak di wajah mereka. Perasaan kagum bercampur dengan haru. Ketika saya melihat sebagaian pengunjung  desa ini adalah turis asing. Sebagai bukti Desa ini dihargai dimata mancanegara.

Bercengkrama pagi
Bercengkrama pagi
Bermalam Di  Desa Wae Rebo

Sampai di atas kita akan bertemu dengan sebuah pepak. Pepak ini dibunyikan untuk menyambut para tamu yang pertama kali datang ke desa ini.

Sebelum memulai berkatifitas, kami memasuki rumah  adat Niang Gendang, rumah utama kepala suku. Rumah ini tempat di adakan Upacara Waelu'u sebagai pertanda tamu yang baru datang. Bersama Kepala Suku Bapak Alex, kami akan melakukan ritual untuk menghormati para leluhur yang ada di desa ini,  dan berdoa bersama sehingga aktifitas para tamu  selama disini berjalan baik dan lancar.

Kami menginap di salah satu 7 rumah Penduduk, bersama dengan pengujung lainya.  7 rumah ini diantaranya adalah  Rumah Utama Niang Gendang, Niang Gena Pirung, Niang Gena Jintam, Niang GenaMaro, Niang Gena Mandok, Niang GenaJekong, Niang Gena Ndorom.

Filosofi Bentuk Rumah

7 Rumah ini sangat unik dan membuat selalu membuat kita terpanah untuk melihatnya, fondasi tiang berbahan kayu, bagian atapnya terbuat dari serabut dan ilalang yang dianyam menambah kehangatan didalam rumah.

Ditengah - tengah halaman terdapat rumah panggung (Compang) berbentuk bulat. Bentuknya serupa dengan Rumah di desa wae rebo pun yang memiliki bentuk melingkar dengan ikatan - ikatan kayu seperti tiga dimensi.

 Bagi masyarakat wae Rebo yang menetap di kampung elok NTT. Rumah bukan sekedar rumah, Rumah adalah bagian dari mereka yang banyak memiliki arti. Yaitu Sebuah kesatuan persatuan yang damai bagi kehidupan.

Penghuni kampung Wae rebo ditinggali oleh penduduk yang sudah lanjut usia dan anak- anak yang belum sekolah. Bagi mereka  keseimbangan dalam hidup sangat penting, segala sendi kehidupan mereka terpola pada satu pusat yakni pola lingkaran terpusat. Pola ini dapat kita lihat di kampung dan halaman rumah wae rebo. Ditengah halaman rumah terdapat tumpukan batu berbentuk bulat yang disebut dengan compang. Compang adalah pusat kehidupan untuk menjaga kampung ini.

Saat ini, usia Desa Wae rebo mencapai 1080 tahun dari 19 generasi, satu rumah diisi oleh 8 kartu keluarga dan jumlah penduduknya hampir 800 orang.

Penduduk di Desa ini sangat menghormati sosok ibu tercermin pada 9 sembilan tiang yang menahan fondasi rumah, artinya selama 9 bulan adalah waktu yang reproduktif untuk melahirkan anak. Ibu adalah guru terbaik. 

Ibu sedang menumbuk kopi
Ibu sedang menumbuk kopi
Menjelang Malam, udara semakin dingin, tapi secangkir Kopi asli flores dan teh dihidangkan dengan khidmat. Jamuan makan malam, nasi jagung, sambal hijau, dan ayam juga disiapkan untuk kami dan pengujung lainnya. Makan malam kala itu membuat kami mengenal  satu sama lain, tidak ada perbedaaan suku, ras dan budaya semua mengalir sederhana.

Ngriung Bareng
Ngriung Bareng
Didalam rumah wae rebo, pengujung dapat membeli oleh - oleh Khas Flores seperti kain etnik , kopi flores, dan aksesori yang unik.

unik dan etnik karya penduduk Wae Rebo
unik dan etnik karya penduduk Wae Rebo
Sebelum beristirahat, kami memutuska untuk mencari udara segar di halaman rumah penduduk.  Taburan  cahaya bintang  kami abadikan dengan potret foto dari mas yudi  dan  koh tria kawan, teman baru yang kami kenal di desa wae rebo. Sang semesta  mengakrabkan kita.

Photo By : Yudi Christiawan
Photo By : Yudi Christiawan
Awal Mula Rumah Wae Rebo DiKenal

Di Pusat Informasi sekaligus tempat persinggahan terakhir yaitu Desa Denge,  saya diberikan waktu untuk  berbincang dengan Pak Blasius Monta. Beliau adalah Warga Flores Asli yang bekerja sebagai Guru SD sekaligus penanggung jawab untuk para penggunjung yang ingin Desa Wae Rebo.

Pak Blasius yang lahir dan penduduk asli di sini merupakan salah satu orang pertama yang memperkenalkan Wae Rebo kepada masyarakat. Beliau menceritakan kisah dan harapannya tentang Desa yang penuh dengan keunikan ini. 

Bermula dari senang foto dirumah sendiri, pada tanggal 26 Februari 2002, foto itu di pajang di sebuah hotel di Ruteng namanya Hotel Rima, kebetulan saat itu ada tamu yang ada di hotel itu dari Labuan Bajo menuju Kelimutu yang tertarik dengan hasil karya fotonya.  Awalnya iseng - iseng saja.Saat itu tidak ada niat untuk menjadikan foto itu sebagai objek wisata

Leluhur masyarakat wae rebo yang pertama datang dari Kampung Todo adalah suku nomaden, masyarakat Wae Rebo hidup dari bertani dimasa lalu mereka bertanam jagung, ubi talas. Lalu akhirnya mereka hanya menanam kopi. Dari hasil penjualan kopi mereka melengkapi kebutuhan.

Selama proses bercocok tanam di desa ini, tanaman bertumbuh subur, bahkan tidak ada gangguan dari hama dan  hewan liar. Setelah itu para leluhur memutuskan untuk membangun sebuah tempat tinggal dan mengisi hari - hari untuk bekerja disini terutama produk yang unggulnya adalah kopi.

"Bagi kami wae rebo adalah rumah kami, tempat mata pencarian kami, yang unsur budaya nya harus selalu dijaga dan terpelihara. Jagalah Budaya kami ini, terutama para pengujung agar berkenan mengikuti aturan disini. Misalnya saja, batas untuk berkunjung ke Desa kami ini jam 6 sore, diluar itu kami tidak bisa menerima tamu karena ritual juga tidak bisa dilakukan malam hari.

"Dulu 15 tahun yang lalu kehidupan kami bahagia, sebelum desa ini banyak diminat masyarakat luar dan turis asing. Jangan sampai kebahagiaan yang sederhana ini hilang karena sekarang untuk menginap di desa wae rebo, pengunjung mesti bayar. Harga  yang dibayar oleh setiap pengujung adalah untuk makan mereka selama diatas, karena penduduk desa wae rebo juga mesti membeli bahan dapur untuk dimasak.

Selain digunakan untuk tempat tinggal desa ini juga sebagai tempat melakukan acara adat seperti melakuakan ritual kelahiran, pernikahan dan kematian. Adapun kegiatan yang dilakukan rutin setiap tahun acara tersebut disebuat dengan Penti setiap 16 November. Penti merupakan upacara adat untuk mengungkapkan rasa syukur para warga Wae Rebo.  Biasanya setelah upacara Penti, warga akan menggelar Tarian caci . Tarian caci ini mengandung makna, dimana dalam menghadapi persoalan hidup kita tidak boleh menyimpan dendam dan amarah walau pun telah disakiti.

Desa Wae Rebo di pelosok NTT dengan sejuta keelokannya, selalu merindukan kedatangan kita, Sudah menjadi tugas kita untuk menjaga dan mempertahankan kultur budaya yang masih asli ini.  Desa Wae Rebo juga tempat yang bersejarah sehingga menjadi warisan budaya dunia oleh UNESCO pada tahun 2012.

Cerita Kita
Cerita Kita
Hari kami semakin berwarna  dan bermakna ketika kami bermain bersama dengan adik - adik kecil kami yang berada di Desa Wae Rebo, meskipun keberadaan kami masih asing untuk mereka. Kebahagiaan itu datang di saat mereka mau menerima kita.

Saya, kamu, kita adalah sama
Saya, kamu, kita adalah sama
Bahagia nan sederhana
Bahagia nan sederhana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun