Mohon tunggu...
Tony Herdianto
Tony Herdianto Mohon Tunggu... Freelancer - Suka kopi dan jajanan

saya senang membaca dan sedang belajar menulis . senang menanam pohon atau kembang . mendengarkan musik . mencoba selaras dengan alam menyatu secara harmoni.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Hujan

6 Mei 2020   09:06 Diperbarui: 6 Mei 2020   09:10 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sudah aku mengerti sejak aku, istri dan anakku naik motor ke Sedati. Hari itu cuaca cerah berawan, lalulintas lengang keceriaan sepanjang jalan. Memang naik motor adalah pilihan terbaik saat sekarang terlebih jalan yang kami lalui bukan jalur utama. 

Maka kehadiran angkutan umum laksana pungguk mencumbui rembulan. Namun satu hal roda berputar dengan ban dalam yang sekarat. Sengaja aku biarkan biar kempes dengan sendirinya. Istriku sudah mengingatkanku agar tekanan ban ditambah dipinggir jalan.

Telah ku susuri dan tengok kanan kiri, ya sebatas itu sampailah kumandang adzan Maghrib. Ban habis tekanan segera kudorong saja biar lekas diselesaikan oleh dokter ban yang buka praktek depan pom bensin pinggir jalan raya. Segera kusambar ada ban dalam belakang, mereka menjawab ada. Hatiku pun lega tiada terkira, kebaikan itu masih ada senyampang mau mencari.

Selesai sudah ban dalam belakang diganti, kini motor kuarahkan ke barat dengan laju yang sebisa-bisanya motor melangkah. Aku tak pernah memaksa motorku untuk akselerasi tinggi, pertimbangannya keselamatan anak dan istri. Sesudah mendekati sebuah area masjid di kota B, kubelokkan ke arah masjid tunaikan sembahyang.

Malam mulai merangkak tanda waktu terus bergerak. Ku hidupkan  lagi mesin bensin ini dengan halus kutinggalkan pelataran masjid mengaspal lewat jalan raya pos. Truk,bus dan ribuan kendaraan lalu lalang malam itu. Bagai sebuah benda yang mengitari orbit mereka saling menjaga agar tak keluar lintasan garis marka.

Sesudahnya motorku melaju diatas jembatan kali Porong, ini menjadi batas dua kabupaten yang aku lalui. Jalanan masih ramai dengan pemotor dan pengendara lain, sesekali penyeberang jalan. 

Arah tidak berubah ke Utara sampai nanti ada penunjuk jalan alternatif. Disitu aku kemudian berkelok-kelok timur ke Utara ke timur terus ke Utara. Mentok sampailah di rumah adik dan keponakanku.

Aku terharu setelah sekian lama kesibukan masing-masing. Aku, adikku juga papaku bersenda gurau seperti saudara yang sangat dirindukan. Malam itu kami larut dalam kebahagiaan yang sungguh membuat kami tertegun. 

Mengapa jarak antara ruang dan waktu masih menjadi ganjalan. Setelah itu patutlah aku dalam samudra bantal dan guling kapuk menyusul anak dan istriku yang sudah berwisata duluan ke alam mimpi.

Pagi-pagi sekali aku bangun dan kubasuh wajahku yang kusam ini. Segera sesudahnya kutunaikan dua rakaat saat subuh. Belum selesai anakku sudah bangun mendekat padaku merajuk manja minta dibelai punggungnya.

Sambil dzikir kugaruk-garuk punggung si kecil. Selesai berdzikir aku dan si kecil jalan jalan keliling komplek perumahan tempat adikku menjadi salah satu kontraktornya. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan yang indah sungguh memanja mata serta kokok ayam dan kicauan burung burung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun