Mohon tunggu...
Riri Tangahu
Riri Tangahu Mohon Tunggu... dosen -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Takdir Terakhir

20 Februari 2017   08:46 Diperbarui: 21 Februari 2017   12:47 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemudian Andre pamit pulang, dengan raut wajah yang menyiratkan kebahagiaan, seperti baru saja memenangkan sesuatu. Tidak salah, kali ini dia memenangkan hati orang tuaku.

Singkat cerita, aku dan Andre sudah saling mengenal 6 tahun lalu. Kami kuliah di jurusan yang sama—kedokteran umum. Sebenarnya kami beda kelas, tapi karena tertaut dengan kegiatan literasi kampus, belum lagi pertemuan organisasi sesama mahasiswa daerah asal, membuat kami semakin dekat.

Selama menjalin hubungan, aku dan Andre lebih banyak menghabiskan waktu dengan kuliah, dan mengurus kegiatan literasi. Belum lagi, Andre juga aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa. Sangat jarang tampak berjalan berduaan, karena memang dari awal, sudah berkomitmen untuk memprioritaskan masa depan. Bukan berarti hubungan ini bukan masa depan, hanya saja semua ada waktunya. Begitu yang diucapkannya, selalu.

Pemikirannya yang seperti inilah yang membuatku yakin, bahwa hubungan ini patut diperjuangkan. Usia kita hanya terpaut beberapa bulan, tapi kedewasaan berpikirnya, jauh di atasku. Andre bukan lelaki yang suka basa-basi. Dia bukan tipe lelaki yang suka mengumbar kata-kata mesra. Namun bukan berarti pula dia tidak bisa romantis. Di sela-sela kesibukan kami, dia sering sekali menghadiahi  tangkai-tangkai mawar. Kadang setangkai, dua tangkai, kadang mawar merah, kadang pula mawar putih. Tak heran, rumah kontrakanku waktu kuliah dulu, penuh dengan mawar. Ya, mengingat masa itu di masa sekarang, cukup membuat luka. Apalagi kenyataan yang tidak seindah harapan. Menghadirkan kembali kenangan, ternyata tidak seindah mawar-mawar itu.

Dan, setelah tujuh tahun tidak pernah saling menyapa, hari ini harus duduk bersebelahan. Entah disengaja atau tidak, tiba-tiba saja dia menjadi tamu di acara launching novel pertamaku. Tujuh tahun waktu yang kuperlukan untuk bisa mencapai hari ini. Harapan-harapan selalu hadir selama tujuh tahun terakhir. Dan hari ini, dia merusak seluruh harapan. Mungkin mudah saja baginya bersikap tenang, duduk bersebelahan dengan wanita yang namanya pernah terukir bersama di dalam undangan pernikahan. Wanita yang pernah dia sematkan cincin tunangan di jari manisnya. Wanita yang dia tinggalkan diam mematung di altar pernikahan sesaat sebelum pemberkatan pernikahan, dan ditonton ratusan tamu undangan.

Ah sudahlah, mungkin saja dia sudah lupa pernah menoreh luka. Melihat senyumnya membuatku muak. Sejak hari itu, tujuh tahun yang lalu,  mawar-mawar tidak lagi indah buatku. Menawarkan keindahan dipandang, namun setelah mendekat, durinya menusuk. Persis seperti dirinya.

Dia tidak tahu, bagaimana hari-hari yang kujalani selama tujuh tahun terakhir ini. Alih-alih mengurusi perasaanku yang seratus persen hancur, aku harus menguatkan diri mengurus ayah yang terkena serangan jantung tepat beberapa detik setelah dia menutup pintu gereja yang seharusnya menjadi saksi lahirnya pasangan baru dengan ikatan suci.

Jangan salah, aku sedang tidak menyalahkanmu atas semua kejadian ini. Mungkin, tidak—pasti inilah takdir Tuhan buatku. Hanya saja, jangan salahkan aku jika hari ini, aku memilih diam. Ya, menurutku diam lebih baik untuk saat ini.

Tanganku sibuk menandatangani novel-novel untuk penggemar, sementara pikiranku melayang ke ingatan saat kita masih bersama, ingatan tujuh tahun lalu, ingatan yang membuat perih. Ingatan-ingatan ini membuat kepalaku sakit, namun berusaha menguasai diri. Samar-samar terdengar, perwakilan dari penerbit bercuap-cuap di microphone  tentang maksud kedatangannya sebagai kandidat calon gubernur, tentang salah satu misi memajukan dunia literasi.

Entahlah, apa ini disengaja atau tidak, tapi aku yakin, pasti ini sudah takdir Tuhan. Setelah tujuh tahun, kita dipertemukan kembali. Namun bukan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan masa lalu.

“Maaf, Angel,” tidak disangka tiba-tiba Andre memulai pembicaraan, lirih—setengah berbisik. Aku diam, sambil terus melayani permintaan penggemar. Beberapa penggemar melirik ke arah kami. Mungkin saja ada yang sempat mendengar. Aku tidak peduli. Tidak peduli dengan permintaan maafnya, tidak peduli dengan rasa penasaran penggemar tentang kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun