Mohon tunggu...
Riri Tangahu
Riri Tangahu Mohon Tunggu... dosen -

Selanjutnya

Tutup

Money

Pasar Rakyat Beraroma Khas, "Menghidupi" Banyak Rakyat

27 Januari 2017   21:27 Diperbarui: 27 Januari 2017   21:28 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasar rakyat atau pasar tradisional diketahui secara umum sebagai tempat penjual menjajakan dagangannya dan pembeli mencari kebutuhannya. Beragam kebutuhan pembeli, tersedia di pasar rakyat. Mulai dari bahan pangan mentah seperti beras, ikan, sayur-sayuran, buah-buahan, rempah-rempah. Bagi pembeli yang berniat membeli kebutuhan sandang, di beberapa pasar juga menyediakannya. Bagi pencinta kue-kue tradisional khas daerahnya, juga bisa ditemukan di pasar rakyat. Ternyata, banyak sekali ya yang bisa kita beli di pasar. Sekali jalan, satu tujuan, semua kebutuhan dapat terpenuhi. Selain itu, harga yang ditawarkan di pasar ini, boleh dibilang relatif lebih murah dibandingkan yang ditag di pasar modern. Harganya pun boleh dinego.

Namun demikian, terdapat beberapa masalah yang sering ditemui di pasar rakyat. Di antaranya, pasar rakyat identik dengan tempat yang becek, bau, sehingga terkesan agak kumuh. Selain itu, tindakan kriminal seperti pencopetan dan perkelahian, sering juga dijumpai di sana. Tentu saja, hal ini jika tidak disikapi, menjadi hambatan ketertarikan masyarakat untuk berbelanja ke pasar rakyat.

Apalagi jika dilihat perkembangan perekonomian saat ini, pembeli ditawari pilihan yang lebih menjanjikan. Kebutuhan-kebutuhan yang tadinya dengan sekali jalan satu tujuan bisa dipenuhi di pasar rakyat, juga sekarang sudah banyak ditemui pasar-pasar modern berwujud gedung-gedung yang bersih, dilengkapi fasilitas pendingin (AC), barang-barang yang dijual ditata rapi sesuai jenisnya, lengkap dengan tagharga. Tentu saja, harganya relatif lebih mahal dan tidak bisa ditawar. Namun, sepertinya banyak konsumen yang lebih memilih untuk berbelanja di pasar-pasar modern. Kenapa? Ya, karena lebih menjanjikan dalam hal keamanan dan kenyamanan. Pembeli tidak perlu dirisaukan dengan tempat yang becek dan bau. Minim tindak kriminalitas. Kalau memang ada yang mencoba untuk usil, khawatir dipantau CCTV. Inilah kekurangan dari pasar rakyat.

Sebenarnya, kalau kita mau berkorban sedikit, tak apalah sejam dua jam menghirup ”aroma khas” pasar rakyat, sembari berdoa tidak ada yang berniat mencopet kita. Kenapa? Mari kita renungkan sejenak. Petani kita, baik itu petani pangan (misalnya padi, jagung), maupun petani hortikultura (sayur-sayuran dan buah-buahan), demikian pun nelayan—setelah mereka panen, kemana hasil panennya dijual. Ya, tentu saja ke pasar rakyat. Nah, kalau kita segan berbelanja ke pasar rakyat, bagaimana nasib hasil panen pertanian mereka, bagaimana nasib petani kita, bagaimana nasib nelayan kita. Okelah kalau mereka petani besar, yang (mungkin) bisa bekerja sama dengan pasar modern untuk memasok hasil panen, kalau mereka petani kecil, bagaimana?

Khusus di keluarga saya, alhamdulillah dari dulu hingga sekarang, rajin mainke pasar rakyat walaupun hanya sekali seminggu. Ibu dan bapak saya, setiap minggu pagi, selalu mengajak kedua adik saya yang masih kecil, pergi ke pasar. Tujuan mereka ada dua, pasar ikan (di Gorontalo disebut pelelangan) dan pasar sentral atau ke pasar sabtu (nama pasar rakyat di Gorontalo). Kebetulan sekarang di rumah saya hanya ada ibu, bapak, adik saya kelas 4 SD, dan adik bungsu baru berumur 3 tahun. Saya sendiri paling lama menetap 2 minggu di rumah, sisanya di rumah mertua. Nah, jika kebetulan hanya berempat saja, maka adik-adik sekalian diajak ke pasar.

Kebetulan yang sudah menjadi rutinitas ini, menurut saya merupakan bentuk pengenalan terhadap eksistensi pasar rakyat kepada generasi muda penerus bangsa, khususnya kepada adik saya. Dengan demikian, mereka menjadi familiar dengan pasar. Kembali ke belasan tahun silam, waktu itu saya masih duduk di bangku SD kelas 3. Ibu yang waktu itu menjadi guru Bahasa Inggris di sekolah kami, berkesempatan untuk berjualan makanan di kantin sekolah. Demi terwujudnya hal ini, saya sebagai anak sulung dari tiga bersaudara (waktu itu, sekarang lima), harus rela mengorbankan sedikit waktu bermain sore untuk belanja keperluan jualan ibu. Ya, benar sekali, setiap sore saya harus ke pasar untuk membeli mie basah, beberapa ikat sayur sawi, dan tahu. Kadang-kadang juga membeli kecap, saos tomat, minyak goreng, rempah-rempah, dan kertas pembungkus nasi (berwarna coklat dan bagian dalam ada lapisan kertas minyak), jika persediaan bahan-bahan ini habis. Semua kebutuhan ini, bisa saya temukan di pasar.

Selain itu pula, jika misalnya di rumah akan diadakan syukuran atau mungkin persiapan ramadhan dan lebaran, ibu saya tetap memprioritaskan belanja kebutuhan di pasar. Karena pasti belanjaan untuk keperluan ini cukup banyak, sehingga akan lebih murah kalau belinya di pasar, apalagi kalau sudah punya penjual langganan. Walaupun demikian, bukan berarti kami tidak pernah belanja kebutuhan dapur di pasar modern.

Aktivitas pekerjaan ibu saya yang seringkali mengharuskan ibu bekerja di hari liburnya (sabtu dan minggu), bisa menjadi penghalang untuk pergi ke pasar rakyat. Sehingga, beberapa kali ibu singgah di minimarket dekat rumah kami, untuk membeli kebutuhan dapur (ikan, sayur, rempah-rempah). Pasar yang menjadi langganan tempat ibu belanja, agak jauh dari rumah kami.

Sebenarnya, tidak begitu jauh dari rumah, ada dua pasar tetapi hanya beroperasi pada hari selasa dan jumat, dan tentu saja beroperasinya terbatas hingga siang hari. Disebut dengan pasar selasa dan pasar jumat. Ini juga merupakan kekurangan dari pasar rakyat (khusus di tempat saya). Hanya beroperasi di hari tertentu (hari kerja) dan hingga siang hari saja.

Dulu (sebelum menikah), saya sering ikut ibu ke pasar rakyat. Saya juga sering ke pasar modern. Intensitas saya bertemu teman sebaya saat ke pasar rakyat dan ke pasar modern, jika dibandingkan, maka lebih intens saat ke pasar modern. Hal ini membuat saya berpendapat, bahwa generasi muda sekarang, lebih tertarik ke pasar modern daripada ke pasar rakyat. Apalagi sekarang saya punya bayi, tentu saja belanja kebutuhan dapur ke pasar rakyat sambil menggendong bayi, akan terasa kurang nyaman dan aman dibanding ke pasar modern.

Namun demikian, saat ini memang sudah ada penetapan tentang revitalisasi pasar yang ditangani langsung oleh dinas perdagangan. Di daerah saya (Gorontalo), dinas perdagangan sudah mulai bekerja untuk merevitalisasi pasar, dalam hal ini membuatkan tempat yang lebih layak bagi penjual dan pembeli berinteraksi, lantai pasar berbahan ubin, dan penerangan yang cukup. Dengan demikian meminimalisir kesan kumuh yang selama ini menjadi “identitas” pasar rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun