Di depan rumah pak RT, orang-orang kumpul beramai-ramai setelah mendengar kabar kematian 4 warga akibat dibunuh orang tidak dikenal. Riuh pertanyaan tertumpah ruah di halaman sekitar rumah itu.
"Ada apa?"
"Ada apa?"
Pertanyaan itu terus berulang-ulang.
Awalnya, seorang lelaki 37 Tahun, bertudung, membahui cangkul, di tangannya tergenggam golok, ia mengenakan pakaian compang-camping--baju dan celana yang biasa Ia kenakan ketika hendak jalani aktivitas keseharian--berjalan menuju tempat mengais isi lambung perutnya dan keluarga tercinta, Denis.
Dalam perjalanan itu, Ia memulai aktivitas dengan riang, berjalan sembari bersiul, sesekali mendesis lagu kesukaannya: "Fatwa Pujangga". Â
Ia terus berjalan sambil bernyanyi, tak lama nada suaranya mulai perlahan  menurun tidak sekeras seperti awal memulai nyanyian, saat itu, Ia berhenti sejenak, perjalanannya tergaggu oleh bercak darah di atas bebatuan jalanan.
Ia berjongkok di situ, lalu dipandanginya bercak itu lamat-lamat seakan tak percaya itu darah; ia mengulurkan tangannya, jemarinya memggerayangi ruas jalan, menyentuh bercak itu, lalu jari-jari itu, Ia parkirkan di depan cuping hidung, aroma amis masuk menembus ubun-ubun.
"Ini darah" katanya pada diri sendiri.
Ia terus mengulangi perkataan itu,
"Ini darah" katanya berulang kali sambil berdiri.
Melihat hal itu, ia coba membuang pandang ke depan, ternyata darah yang ia sentuh tidak hanya di situ saja. Di depannya bercak-bercak darah itu membentuk barisan, "sepertinya ada sesuatu, aku lihat dulu," batinnya.
Denis mengikuti petinjuk darah itu, berjalan terus, terus dan terus, darah itu membawanya ke semak belukar, Ia masuki belukar itu dengan rasa tidak nyaman, degup jantungnya mulai terasa kencang--pukulan dalam dadanya membuat dia jadi ragu ikuti arah itu, tapi diberanikan dirinya.
Di tengah belukar itu, Denis berdiri sejenak menenangkan dirinya, kemudian ia berjalan lagi, dan lagi, Ia dapati sebatang pohon yang sudah roboh dipenuhi darah membentang di dalam semak-semak itu, Ia beranikan dirinya maju selangkah demi selangkah, dan ...
Di tempat tujuan itu, Ia tersentak, terguncang oleh kepanikan yang mulai menghiasai diri, saat itu, Ia melihat sesuatu yang tidak bisa Dia ucapkan dengan kata-kata, bahkan ketika mulutnya berkomat-kamit, tak ada bunyi yang keluar, bebas dari kungkungan tenggorokannya.
Namun ketika kepanikan terus menggucangnya, suara keras muntah dari mulutnya akibat ketakutam menghampiri.
"MMMAAAAYYYYAAAATTT" teriaknya terbata-bata.
***
4 orang yang terbaring kaku dan saling menindih antara satu dengan lainnya itu, tubuh mereka dipenuhi ceceran darah. Denis lantas menenangkan dirinya, kemudian memindahkan satu per satu supaya tidak saling menindih.
Darah yang memenuhi ke 4 tubuh tak bernyawa itu masih segar tercium, "sepertinya baru hilang nyawa --terbunuh--sebelum aku temukan mereka." Dengung Denis.
Dia ingin melapor namun takut menjadi saksi l, Â ketika nanti insiden itu bertandang ke telinga polisi. Ia terus berpikir keras untuk memecahkan masalah tersebut.
"Lapor gak ya!" Serunya dalam hati.
Dia duduk dalam semak belukar itu, memandangi keempat mayat tadi dengan tatapan nanar sembari akalnya terus bekerja, begitu ekstra cepat, Ia berpikir lalu dipilahnya satu dua ide dalam kepala bertudungnya untuk memutuskan mau diapakan keempat mayat itu. Namun jalan pikirnya alami kebuntuan. Dia pasrah dan mengalah untuk beritahu hal itu ke Lurah sekitar.
Karena tak ingin menanggung sendiri, Denis lari meninggalkan perkakasnya menuju rumah pak Lurah. Tak lama dia sampai di sana, menggedor pintu rumah Lurah beberapa kali. Dari dalam terdengar suara perempuan  menyahut.
"Siapa, Pagi-pagi begini sudah gedar gedor pintu orang?" Ucap bu lurah kesal akibat gedoran pintu oleh Denis.
"Saya, Denis, Bu Lurah" jawabnya.
Pintu rumah itu dibuka, didepannya, Denis sudah tak sabar kabari berita duka itu ke pak Lurah.Â
"Di mana pak lurah bu?" Tanya Denis saat pintu terbuka dan dipandanginya ibu lurah.
"Bapak masih tidur"
"Tolong bangunin bu, penting bangat ni"
"Ada apa sih?"
"Bangunin aja dulu bu, pak lurahnya. Nanti juga ibu bakal tahu ada apa!"
Perempuan itu lalu ke kamar intim mereka, ia bangunkan suaminya, lalu kembali lagi ke depan pintu, persilahkan Denis masuk dan duduk di di ruang tamu. Tak lama, pak lurah keluar dengan melilitkan sarung di pinggangnya yang hampir melorot.
"Ohh... Denis toh"
"Iya, pak Lurah"
"Ada apa, Den?"
"Begini pak,tadi pagi saya hendak ke kebun, di jalan saya temukan bercak darah, lalu saya ikuti, bercak darah itu mengantarkan saya ke semak belukar, di sana saya tersentak dan kaget..." Ia berhenti sejenak lalu menelan ludah, tubuhnya dipenuhi keringat jagung.
"Terus apa?" Tanya pak Lurah tak sabaran.
"Teruss.. teruss." Ia gemetar.
"Kamu kenapa, Denis?"
Denis lalu cepat-cepat tenangkan dirinya kemudian kemabli bercerita.
"Terus saya melihat banyak darah di dalam semak-semak itu, saya membuka semak-semak dan ternyata ada 4 tubuh tak bernyawa saling tertindih."
Mendengar hal itu, pak Lurah terkejut karena ini kali pertama kejadian tersebut ada di wilayahnya. Pak Laruh lantas bergegas ke kamarnya dan menggantikan pakaian, usai itu Ia kemudian meminta Denis membawanya ke tempat itu.
Di sana, pak lurah menyaksikan apa yang sudah diceritakan oleh Denis. Dia lantas menyuru denis menelantangkan keempat mayat itu, dan "Hah!" Pak Lurah terkejut, karena keempatnya ia kenal betul, mereka adalah warganya pada RT X, Pak Lurah lantas menyuru Denis memanggil beberapa orang dan mengambil gerobak untuk mengangkut keempat mayat itu.
Lelaki 37 tahun itu kemudian lari ke kampung memanggil beberapa lelaki yang Ia temukan di jalan sesuai perintah pak lurah, lalu kembali lagi ke tempat mayat-mayat itu berada.
"Coba angkat mereka ke gerobak" kata pak Lurah ketika Denis dan beberapa lelaki sampai.
"Ayo mari kita angkat" sahut Denis
"Ayo, ayo" lainnya.
Keempat mayat itu lalu dibawa ke RT yang disuru pak Lurah, di depan rumah Pak RT, mayat-mayat itu ditaruh.
Tidak lama setelah itu, orang-orang sekitar situ mulai beramai-ramai mengerumuni depan rumah pak RT, menonton mayat-mayat itu seperti film di bioskop sembari bergumam.
"Laporkan ke polisi"
"Iya, laporkan ke polisi"
Mendengar riuh sahutan itu, pak RT keluar dari rumah bersama istrinya, lalu di depan rumah mereka melihat sudah ramai, kemudian terdengar suara ada yang berteriak kepadanya.
"Tanggung jawab pak RT, mereka warga kita"
Karena bingung dengan keramaian ditambah teriakan itu, pak RT berjalan ke kerumunan, di sana, Ia dapati tubuh dipenuhi darah dan sudab tidak bernyawa, di antara mayat-mayat itu, ada yang terkena sayatan golok pada leher, ada yang di kepala, juga pada beakang.
Melihat itu,Pak RT gemetar tak tertahankan, tubuhnya dibanjiri keringat serupa hujan mengiyurinya, sedang istrinya kebingungan melihat suaminya, Pak RT terus gemetar, nafasnya menjadi tidak normal, degup jantungnya kencang dan bunyinya terdengar ditelinga orang-orang.
"Pak RT kenapa?" Pertanya terus dilontarkan
"Pak RT kenapa?"
Tapi pak RT terus seperti itu, dan... "ah cuma mimpi" katanya kala tersentak dari tidur panjang dan didapati tubuhnya dipenuhi keringat.
Tanah Beta
Ambon, Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H